Kelas: Eksekutif. Gerbong 1, Kursi 5A.
Lalu aku menatap papan di dinding gerbong: Gerbong 1E - ekonomi**
Ya Tuhan. Aku salah gerbong!
Refleks aku tertawa kecil, separuh malu, separuh bingung. "Astaga, pantes kok rasanya agak beda ya... hahaha."
Si pemuda ikut tertawa sopan. "Nggak apa-apa, Mbak. Masih bisa pindah, kok. Nanti kondekturnya lewat, tinggal bilang aja."
Aku bergegas meraih tas, wajahku panas seperti habis disinari matahari langsung. Orang-orang di sekitarku memperhatikan dengan tatapan geli. "Duh, salah gerbong aja bisa heboh begini," gumamku dalam hati.
Aku berjalan menelusuri gerbong dengan langkah kikuk, lalu mencari gerbong eksekutif di depan. Setelah berpindah, barulah aku menemukan suasana yang benar-benar berbeda: kursi empuk, pendingin udara lebih sejuk, dan aroma kopi dari penumpang di sebelah. Aku duduk di kursi 5A yang kali ini benar-benar milikku.
Saat kereta kembali berjalan, aku masih menahan senyum sendiri. Bayangan wajah pemuda tadi terus terlintas di kepalaku senyum tenangnya, caranya berbicara dengan sopan, bahkan sedikit logat Banyumas yang lucu di telinga.
Perjalanan menuju Jogja berjalan lancar. Di luar jendela, pemandangan sawah dan gunung menjelma seperti lukisan hidup. Aku bersandar sambil menatap ke luar, membiarkan pikiranku melayang-layang.
Tentang Bule Aini, yang kini sedang menempuh perjalanan jauh ke tanah suci. Tentang Ibu di Jogja, yang pasti sedang menyiapkan sarapan kesukaanku: nasi goreng kampung dengan irisan telur dadar. Dan tentang hidup yang lucu kadang kita merasa sudah di jalur yang benar, tapi ternyata salah "gerbong". Namun dari kesalahan kecil itulah, kita belajar arah yang sebenarnya.
Sekitar pukul sembilan lewat tiga puluh, kereta tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta. Begitu turun, udara Jogja langsung menyambut dengan aroma khasnya campuran antara panas aspal, kopi dari warung stasiun, dan semerbak gudeg dari kejauhan. Ada rasa hangat yang menelusup di dada, seperti pelukan tak kasat mata dari masa lalu.