Mohon tunggu...
t. ernayuni
t. ernayuni Mohon Tunggu... Sekedar Menulis Kata

Suka nulis hasil nyuri waktu ketika rebahan dan ngelamun, daripada ngehalu mending corat-coret disini, ya kan? 😁😊📝

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen : Tiket 5A untuk Pulang

14 Oktober 2025   20:05 Diperbarui: 14 Oktober 2025   20:05 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto pribadi t.ernayuni

Udara pagi Purwokerto terasa lembab dan dingin. Aku Arina terbangun ketika alarm ponsel berbunyi pelan di meja samping kasur. Jam menunjukkan pukul empat lewat lima belas. Di luar, azan Subuh baru saja berkumandang dari masjid yang tak jauh dari rumah Bule Aini, adik Ibu aku, yang semalam resmi berangkat menunaikan ibadah haji. Rumah ini masih terasa lengang, seolah menyimpan gema langkah-langkah dan tangis haru semalam.

Aku duduk di tepi tempat tidur sambil menarik napas panjang. Ada semacam rasa kosong yang tersisa setelah seminggu berada di rumah Bule. Biasanya setiap pagi beliau sudah sibuk di dapur, menjerang air untuk teh hangat sambil memanggil, "Rin, sarapan dulu, nanti masuk angin." Tapi kini dapur sunyi. Aroma wedang jahe yang biasa menandai pagi di rumah ini pun tak ada.

Hari ini aku akan pulang ke Yogyakarta kota kelahiranku, tempat semua kenangan lama tersimpan, dari masa kecil hingga kuliah. Mas Adi, sepupuku yang selama ini menemaniku di Purwokerto, sudah memesankan tiket kereta Taksaka Pagi untukku. Kelas bisnis, katanya, biar nyaman, biar perjalanan dua jam setengah itu bisa kugunakan untuk membaca atau sekadar melamun.

Pukul lima lewat tiga puluh, Mas Adi dan istrinya Mbak alika sudah siap di ruang tamu, berjilbab krem dengan wajah cantik yang tampak lebih segar dari biasanya.

"Ayo, Rin. Takutnya nanti antrean masuk stasiun panjang," katanya.

Aku mengangguk, lalu menenteng koper kecilku ke luar rumah. Udara Subuh menusuk hidung, tapi langit mulai membiru di ufuk timur. Mobil meluncur pelan di jalanan kota Purwokerto yang masih sepi. Lampu-lampu jalan belum sepenuhnya padam, dan toko-toko masih tertutup rapat.

Kami sampai di Stasiun Purwokerto sekitar pukul enam kurang seperempat. Aku menatap bangunan tua berarsitektur kolonial itu dengan rasa nostalgia. Entah kenapa, stasiun selalu membuatku sentimental tempat pertemuan dan perpisahan bercampur jadi satu.

Sambil menyerahkan tiket digital di ponsel, aku berpamitan pada Mas Adi dan Mbak alika.

"Hati-hati ya, Rin. Nanti kabari kalau sudah sampai Jogja."

Aku tersenyum, memeluknya erat. "Siap, Mbak. Makasih ya udah nganterin."

Setelah melangkah masuk ke peron, kulihat kereta Taksaka sudah bersiap. Suaranya berat dan bergemuruh seperti nafas panjang sebelum berlari jauh. Aku mencari gerbong 1, kursi 5A seperti yang tertera di tiketku.

"Gerbong satu... oh, ini dia," gumamku, lalu naik tangga kecil ke pintu gerbong.

Begitu masuk, aku agak terkejut. Kursinya tampak biasa saja, dua-dua berhadapan, dan udara di dalamnya sedikit pengap. Tapi pikirku, mungkin beginilah kelas bisnis sekarang sedikit berbeda dari terakhir aku naik bertahun-tahun lalu. Aku duduk di kursi 5A, di dekat jendela, menaruh tas di rak atas, dan menarik napas lega. Akhirnya bisa duduk tenang setelah pagi yang sedikit terburu-buru.

Kereta mulai meluncur perlahan keluar dari stasiun. Dari jendela kulihat pepohonan, rumah-rumah kecil, dan sawah yang mulai diterpa sinar matahari pertama. Aku membuka novel yang kubawa, mencoba membaca beberapa halaman sambil sesekali mengintip lanskap hijau di luar.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, kereta berhenti di Stasiun Kroya. Aku masih asyik membaca ketika seseorang menepuk pelan bahuku.

"Maaf, Mbak..." suara itu pelan tapi tegas. Aku menoleh. Seorang pemuda berdiri di sebelahku, memakai jaket denim biru dan membawa ransel hitam. Wajahnya ramah tapi agak bingung. "Ini kursi saya, 5A."

Aku menatapnya balik, masih separuh tidak percaya. "Lho? Masa sih? Ini 5A, kan?"

"Iya, betul, tapi... ini gerbong ekonomi ekonomi, Mbak."

Aku spontan membeku. "Hah? ekonomi?!"

Dia tersenyum kecil, tampak menahan tawa. "Iya, ini gerbong ekonomi. Mungkin Mbak salah naik."

Aku buru-buru membuka tiket di ponsel.

Kelas: Eksekutif. Gerbong 1, Kursi 5A.

Lalu aku menatap papan di dinding gerbong: Gerbong 1E - ekonomi**

Ya Tuhan. Aku salah gerbong!

Refleks aku tertawa kecil, separuh malu, separuh bingung. "Astaga, pantes kok rasanya agak beda ya... hahaha."

Si pemuda ikut tertawa sopan. "Nggak apa-apa, Mbak. Masih bisa pindah, kok. Nanti kondekturnya lewat, tinggal bilang aja."

Aku bergegas meraih tas, wajahku panas seperti habis disinari matahari langsung. Orang-orang di sekitarku memperhatikan dengan tatapan geli. "Duh, salah gerbong aja bisa heboh begini," gumamku dalam hati.

Aku berjalan menelusuri gerbong dengan langkah kikuk, lalu mencari gerbong eksekutif di depan. Setelah berpindah, barulah aku menemukan suasana yang benar-benar berbeda: kursi empuk, pendingin udara lebih sejuk, dan aroma kopi dari penumpang di sebelah. Aku duduk di kursi 5A yang kali ini benar-benar milikku.

Saat kereta kembali berjalan, aku masih menahan senyum sendiri. Bayangan wajah pemuda tadi terus terlintas di kepalaku senyum tenangnya, caranya berbicara dengan sopan, bahkan sedikit logat Banyumas yang lucu di telinga.

Perjalanan menuju Jogja berjalan lancar. Di luar jendela, pemandangan sawah dan gunung menjelma seperti lukisan hidup. Aku bersandar sambil menatap ke luar, membiarkan pikiranku melayang-layang.

Tentang Bule Aini, yang kini sedang menempuh perjalanan jauh ke tanah suci. Tentang Ibu di Jogja, yang pasti sedang menyiapkan sarapan kesukaanku: nasi goreng kampung dengan irisan telur dadar. Dan tentang hidup yang lucu kadang kita merasa sudah di jalur yang benar, tapi ternyata salah "gerbong". Namun dari kesalahan kecil itulah, kita belajar arah yang sebenarnya.

Sekitar pukul sembilan lewat tiga puluh, kereta tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta. Begitu turun, udara Jogja langsung menyambut dengan aroma khasnya campuran antara panas aspal, kopi dari warung stasiun, dan semerbak gudeg dari kejauhan. Ada rasa hangat yang menelusup di dada, seperti pelukan tak kasat mata dari masa lalu.

Aku menatap langit Jogja yang biru, tersenyum. "Aku pulang," bisikku pelan.

Setelah mengambil koper, aku berjalan ke luar stasiun. Di tengah keramaian, langkahku tiba-tiba berhenti. Dari kejauhan, aku melihat sosok yang tak asing: jaket denim biru, ransel hitam. Pemuda tadi. Ia juga baru keluar dari kereta, terlihat sedang menelepon seseorang.

Tanpa sadar aku mendekat sedikit, sekadar ingin memastikan. Ia menoleh, lalu pandangan kami bertemu. Sekali lagi, senyum itu muncul.

"Mbak 5A yang salah gerbong, ya?" candanya.

Aku tertawa, kali ini lebih lepas. "Iya, maaf ya tadi sempat ganggu kursimu."

"Enggak apa-apa, malah lucu. Jarang-jarang ada orang salah gerbong tapi bisa santai begitu."

"Kalau panik nanti malah makin malu," jawabku sambil tersenyum.

Ia tertawa kecil. "Saya Dikta," katanya sambil mengulurkan tangan.

"Arina," balasku, menjabat tangannya sebentar.

Kami berjalan keluar stasiun bersama. Ternyata arah kami sama ke selatan, menuju Malioboro. Ia hendak menghadiri seminar di UGM, sementara aku akan pulang ke rumah di Kotabaru. Obrolan mengalir begitu saja, mulai dari cerita tentang Purwokerto, sampai makanan khas yang kami suka.

Sesekali aku menatapnya dari samping. Ada sesuatu yang hangat dalam caranya bicara tulus dan sederhana, seperti Jogja itu sendiri.

Kami berpisah di perempatan Malioboro. Ia melambaikan tangan sebelum menyeberang.

"Hati-hati di rumah, Mbak Arina. Jangan salah naik kereta lagi ya," katanya sambil tertawa.

Aku ikut tertawa, membalas lambaian itu. "Siap, Mas Dikta"

Langkahku kemudian menyusuri trotoar Malioboro yang mulai ramai. Di antara hiruk pikuk turis dan pedagang, hatiku terasa ringan. Aku memikirkan perjalanan ini betapa banyak kebetulan kecil yang kadang membawa senyum.

Mungkin hidup memang seperti naik kereta: kita kadang salah gerbong, salah duduk, atau bahkan salah arah. Tapi selama kita berani tertawa atas kesalahan itu dan terus melangkah, kita akhirnya tetap sampai di tujuan yang seharusnya.

Dan siapa tahu, di antara kursi-kursi yang salah itu, kita bisa bertemu seseorang yang membuat perjalanan menjadi lebih berkesan.

Aku menatap langit Jogja sekali lagi sebelum melangkah masuk gang menuju rumah.

Hari itu, aku tahu perjalanan pulangku bukan hanya tentang kembali ke kota kelahiran, tapi juga tentang menemukan cara baru untuk menikmati arah hidup yang tak selalu pasti.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun