Setelah melangkah masuk ke peron, kulihat kereta Taksaka sudah bersiap. Suaranya berat dan bergemuruh seperti nafas panjang sebelum berlari jauh. Aku mencari gerbong 1, kursi 5A seperti yang tertera di tiketku.
"Gerbong satu... oh, ini dia," gumamku, lalu naik tangga kecil ke pintu gerbong.
Begitu masuk, aku agak terkejut. Kursinya tampak biasa saja, dua-dua berhadapan, dan udara di dalamnya sedikit pengap. Tapi pikirku, mungkin beginilah kelas bisnis sekarang sedikit berbeda dari terakhir aku naik bertahun-tahun lalu. Aku duduk di kursi 5A, di dekat jendela, menaruh tas di rak atas, dan menarik napas lega. Akhirnya bisa duduk tenang setelah pagi yang sedikit terburu-buru.
Kereta mulai meluncur perlahan keluar dari stasiun. Dari jendela kulihat pepohonan, rumah-rumah kecil, dan sawah yang mulai diterpa sinar matahari pertama. Aku membuka novel yang kubawa, mencoba membaca beberapa halaman sambil sesekali mengintip lanskap hijau di luar.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, kereta berhenti di Stasiun Kroya. Aku masih asyik membaca ketika seseorang menepuk pelan bahuku.
"Maaf, Mbak..." suara itu pelan tapi tegas. Aku menoleh. Seorang pemuda berdiri di sebelahku, memakai jaket denim biru dan membawa ransel hitam. Wajahnya ramah tapi agak bingung. "Ini kursi saya, 5A."
Aku menatapnya balik, masih separuh tidak percaya. "Lho? Masa sih? Ini 5A, kan?"
"Iya, betul, tapi... ini gerbong ekonomi ekonomi, Mbak."
Aku spontan membeku. "Hah? ekonomi?!"
Dia tersenyum kecil, tampak menahan tawa. "Iya, ini gerbong ekonomi. Mungkin Mbak salah naik."
Aku buru-buru membuka tiket di ponsel.