Mohon tunggu...
Siti Rahmadani Hutasuhut
Siti Rahmadani Hutasuhut Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis puisi, cerpen dan opini sosial-hukum-budaya

Im interested in social phenomena, deep thoughts and mentality

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Prinsip Menjadi Diri Sendiri

19 Maret 2019   20:53 Diperbarui: 20 Maret 2019   00:29 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berapa persen saya memakai prinsip jadilah diri sendiri di kehidupan sehari-hari saya?

Menurut saya prinsip jadilah diri sendiri tidak selalu bisa diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan; sedikit terasa naif. Bagaimana bisa hanya menjadi diri sendiri di tengah banyaknya perbedaan di dunia ini? Dunia yang tidak sempit ini banyak hal yang harus dipelajari. 

Apabila saya berdiri hanya sebagai saya, bagaimana bisa orang lain selalu menerima saya? Setidaknya saya mampu memosisikan diri di beberapa keadaan tertentu untuk tidak menjadi diri sendiri agar suatu hubungan akan lebih mudah terjalin harmonis.

Bagaimana bisa menyatukan kebiasaan karakter dan prinsip yang berbeda dalam satu visi? Setidaknya dalam satu kelompok atau organisasi yang memiliki satu visi terdiri dari beberapa kebiasaan yang mirip atau memegang teguh satu prinsip yang memiliki nilai kesamaan disamping banyaknya prinsip berbeda lainnya; walaupun tidak persis sama, bukankah demikian tersebut terdengar lebih memungkinkan dalam satu visi yang sama?

Oleh sebab itu prinsip jadilah diri sendiri tersebut bagi saya tidak selalu bisa apabila dipakai sebagai saran untuk memotivasi seseorang yang hendak bersaing, berkolaborasi atau berinteraksi dengan berbagai hal yang ada di dunia. Di dunia yang tidak sempit tentang bagaimana belajar dan memahami berbagai perbedaan yang ada di dunia dan bagaimana pula menyikapinya, terkadang prinsip menjadi diri sendiri merupakan pilihan yang kurang tepat.

Oranglain, hanya karena kita menjadi diri sendiri apakah kita juga bermaksud meminta orang lain memahami kita? Menerima kita apa adanya? Memaafkan dan memaklumi kita? Saya pikir hidup seperti itu terlalu egois. 

Ketika oranglain tidak ingin berbisnis atau berteman dengan kita karena kita berdiri sebagai diri sendiri, lantas kita merasa dijauhi dan merasa serba kekurangan? Melimpahkan kemarahan kepada dunia, menyalahkan keadaan karena kita merasa sebagai korban?

Tidak, perbuatan tersebut terlalu kekanakan.

Untuk itu menjadi diri sendiri tidak selalu berakhir baik. Kita harus peka memosisikan diri dalam berbagai keadaan agar tidak terpuruk sendiri dengan cara mengurangi ego jati diri sendiri lewat pembelajaran dari berbagai aspek dan sudut.

Sesuatu yang harus ada dibalik dari prinsip menjadi diri sendiri bagi saya adalah kehati-hatian. Maka segala sesuatunya harus dipersiapkan, mulai dari rencana A ke rencana B ke rencana C ke rencana darurat sampai resiko terbesar dan terkecil serta kemungkinan-kemungkinan yang terjadi setelahnya.

Beberapa orang melarang saya untuk tidak terlalu berpikir panjang apalagi sampai berpikir paling buruk diantara semua kemungkinan. Mereka mengatakan saya terlalu cepat berkesimpulan atas hal yang tidak pernah bisa kita rencanakan atau hal yang belum pasti terjadi. Mereka berpesan untuk menikmati saja dulu yang sedang terjadi. 

Tidak bermaksud menyimpulkan, saya hanya menjawab beberapa kemungkinan-kemungkinan yang terjadi sebagai antisipasi. Bukan karena saya ingin menyiksa diri atau tidak percaya takdir Tuhan. Tapi semua itu semata karena kehati-hatian.

Sejauh mana akal manusia bisa sampai menerka segala kemungkinan terburuk? Saya tidak yakin bisa mengukurnya, karena akal manusia adalah ciptaan Tuhan. Semua ciptaan Tuhan tidak akan selesai diukur. Oleh sebab itu semampu saya memakai akal saya sejauh mana akal tersebut menggapai apa yang sedang saya pertanyakan atau pikirkan.

Contoh kecil kehati-hatian perlu digunakan dalam keseharian misalnya, apabila seseorang hanya menjadi diri sendiri tanpa memikirkan resiko dan hanya menikmati apa yang terjadi saat ini, bagi saya itu sebuah kesalahan. Seperti ilustrasi misalnya, suatu keadaan seorang wanita mencintai seorang pria yang tidak pernah dikenalkan kepada orangtua pun lelaki tersebut tidak mengetahui bahwa wanita tersebut mencintainya. 

Hanya karena beberapa kali wanita dan pria itu pulang bersama dan makan bersama, lantas wanita tersebut tidak membatasi sikap dengan dalil menikmati yang terjadi dan menjadi diri sendiri. 

Wanita tersebut dikenal sebagai wanita yang jujur, ramah, blak-blakan dan cerewet. Ketika wanita tersebut mendapati momen yang pas, mengutarakan perasaan dan membuntuti pria tersebut berbulan-bulan berharap pria itu akan memiliki perasaan yang sama karena keramahan yang telah menjadi diri sendiri dihadapannya. 

Bagaimana tanggapan pria tersebut? dia tetap baik dan semakin baik sehingga wanita tersebut salah paham dan membuat perasaan semakin tidak terkendali. Wanita tersebut menerobos meminta pria itu untuk menikahinya hanya karena pria itu bersikap baik padahal belum pernah menyatakan cinta dan menerima pernyataan cinta wanita tersebut. Pada akhirnya diketahui ternyata pria tersebut sudah bertunangan.

Apakah kamu yakin ilustrasi hanya sampai disana? Bisa iya bisa tidak. Coba pakai jawaban kedua, jika tidak. Pria tersebut kemungkinan akan tertawa menganggap konyol tingkah wanita tersebut dan bercerita kepada tunangannya. Satu tahun kemudian wanita tersebut menjabat sebagai salah satu menteri di Kementerian Indonesia atau duduk sebagai anggota DPR RI atau jabatan lainnya yang berpengaruh dalam sistem pemerintahan, lantas apakah ilustrasi tersebut berhenti? Bisa iya bisa tidak. 

Pria itu akan bercerita kepada rekan-rekannya bahwa wanita tersebut adalah orang yang konyol. Walaupun cerita itu tidak disebarluaskan olehnya, setidaknya kenangan konyol itu masih ada dalam pikiran dan menghiburnya sewaktu-waktu dia melihat wanita tersebut di televisi.

Memang ada benarnya, sesuatu yang terjadi di masa lalu hanya tertinggal di masa lalu dan sekiranya terkadang tidak perlu terlalu memikirkan masa depan atau masa kini ketika masa lalu tersebut hanya sebagai kenangan. Setiap yang terjadi sebagai kenangan; buruk atau baik hanya sebagai cerita pengalaman, benar adanya. 

Tentang perbuatan yang telah, sedang atau akan dilakukan pun tidak bisa terlepas dari penilaian oranglain dan kita tidak mampu mengatur harus bagaimana penilaian oranglain tersebut sehingga membiarkan mereka berpikir kita adalah orang konyol di masa lalu bukanlah masalah besar pun benar adanya.

Tapi menurut saya, lebih baik meninggalkan cerita pengalaman yang baik atau setidaknya bukan kenangan yang sembrono. Ketika masih bisa memilih pilihan yang lebih baik daripada harus bersikap sembrono, mengapa tidak?  

Hal yang seperti inilah salah satu yang perlu dijaga bagi saya, maka sebisa mungkin saya memanajemen waktu dalam kehati-hatian saya. Sehingga saya mampu meminimalisir kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat dari waktu-waktu yang saya miliki, saya tidak terlalu jauh menjadi gila ketika suntuk atau tidak terlalu lama bermalas-malas ketika senggang.

Contoh lain tentang menjadi diri sendiri, seperti ilustrasi seseorang dibesarkan bukan dari keluarga konglomerat maka seseorang tersebut tidak perlu bertingkah seperti konglomerat, seseorang itu hanya perlu menjadi diri sendiri. 

Seseorang yang terbiasa berbicara keras ditengah makan malam rekan kerja, seseorang yang suka memotret diri sendiri di tengah persembahan hiburan, menjadi seseorang yang terbiasa makan sambil mengeluarkan bunyi seperti desis ketika mengunyah di pesta ulangtahun teman anak konglomerat. 

Apakah harus seperti itu, menjadi diri sendiri? Bagi saya bisa iya bisa tidak. Apabila iya, apakah teman akan nyaman dengan kebiasaan seseorang itu dengan dalih menjadi diri sendiri di depan teman?

Tidak ada yang salah dengan seseorang tersebut, tapi keadaan mengharuskan seseorang itu memosisikan diri untuk tidak menjadi diri sendiri tapi menjadi sebagaimana kebiasaan di keadaan yang sedang terjadi. Setidaknya hal tersebut sebagai bentuk upaya agar hubungan saling nyaman satu sama lain.

Pemahaman tentang konsep menjadi diri sendiri tidak cukup hanya dengan ilustrasi yang telah dipaparkan di atas. Ilustrasi tersebut masih terlalu dangkal untuk mencakup keseluruhan pemahaman konsep. Ada banyak konsep pengaplikasian prinsip menjadi diri sendiri dalam berbagai keadaan dan sudut pandang. 

Berbagai konsep tersebut bukan sesuatu yang sederhana untuk diuraikan. Tapi penekanan yang saya maksud adalah tentang bagaimana menempatkan prinsip menjadi diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari hanya untuk membawa pengaruh yang lebih baik.

Sejauh ini apakah saya keliru memahami prinsip menjadi diri tersebut?

Ada dua versi yang menjadi pembeda memahami prinsip tersebut, pertama ketika pengertian atau pendefenisian atau pemahaman kata "menjadi diri sendiri" berbeda, maka cara pandang menggunakan prinsip tersebut pun beda pula. 

Kedua ketika pengertian atau pendefenisian atau pemahaman kata "menjadi diri sendiri" sama, tapi penarikan kesimpulan karena pilihan masing-masing melibatkan unsur perlu-tidak perlu atau unsur pilihan lainnya berbeda maka penggunaan prinsip tersebut pun berbeda.

Sikap hati-hati dalam mengambil keputusan atau bertindak dengan cara berpikir panjang yang didalamnya termasuk pertimbangan resiko, dampak, pengalihan dari kegagalan dan lainnya berarti mengatur diri sendiri dalam batasan terpola yang maksudnya untuk beberapa keadaan menjadi diri sendiri bukanlah pilihan yang bijak karena menjadi diri sendiri hanya baik diaplikasikan dalam pilihan-pilihan tertentu atau keadaan tertentu seperti misalnya dalam memilih karir, mewujudkan cita-cita, atau mungkin cara belajar atau berbagai keadaan serta pilihan lainnya.

Akhir kata, uraian ini hanyalah pendapat subjektif saya. Ada satu hal yang lebih baik daripada menjadi diri sendiri, yaitu menjadi bagian terbaik dari diri sendiri.

Sedikit saya sisipkan salah satu pengalaman nyata pribadi ketika mengalahkan bagaimana sebenarnya diri saya. Saya kurang nyaman dalam keramaian dan tidak begitu lincah bersosialisasi di masyarakat umum. Saya terbiasa melakukan apa saja yang menurut saya penting bagi saya dan sering mengabaikan apa saja yang menurut saya terlalu ribet misalnya seperti berbasa-basi atau mengobrol hal yang tidak perlu kepada oranglain.

Tetapi apakah bertahan dalam diri yang seperti itu memberi dampak baik yang lebih besar bagi saya? tentu saja tidak, karena hidup adalah untuk belajar berbagai hal. Maka beberapa kali ketika saya memikirkan untuk mencoba mengetahui, saya lakukan banyak hal yang sangat tidak sesuai dengan diri saya yang sebenarnya. 

Misalnya mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat seperti bakti sosial yang sangat tidak sesuai dengan diri saya sebenarnya. Saya tidak nyaman tidur beramai-ramai dalam satu ruangan, menyanyikan yel-yel kelompok sambil berjoget dan melambaikan tangan demi menghidupkan suasana kelas anak-anak, membujuk anak yang tidak mau makan, berbincang resep masak dengan ibu-ibu desa, menenangkan ibu yang menangis karena khawatir anaknya  akan  dikhitan, dll.

Saya mengikuti dua kali bakti sosial di tempat yang berbeda dalam tahun yang tidak berurut. Kegiatan tersebut dilakukan sekitar tiga hari empat malam atau lebih/kurang. Melewati satu hari saja bagi saya cukup sulit. Tapi apakah saya harus memanjakan diri saya untuk menjadi diri sendiri kala itu karena terlalu sulit? Tidak. Karena menjadi diri sendiri tidak selalu berakhir baik.

Diri saya yang sebenarnya, menolak melakukan semua hal tersebut dan memilih mengerjakan tugas, menulis cerpen/puisi/artikel sambil mendengarkan musik, atau baca buku. Terkadang bermasalas-malasan dengan berselancar di media sosial, atau menonton film/drama/talkshow/berita. Beberapa waktu berdiskusi tentang berbagai hal dengan kelompok pilihan, dll. 

Apakah hidup dengan melalukan hal yang saya sukai dengan menjadi diri sendiri saja adalah kesalahan? Tidak. Tapi hidup akan terus berjalan dan saya sebaiknya mempelajari ruang dan sudut lainnya.


Lantas apakah dengan mengalahkan bagaimana diri saya yang sebenarnya di suatu waktu memberi perubahan pada diri saya yang sekarang/sebenarnya? Sama sekali tidak. Saya tidak kehilangan bagaimana diri saya yang sebenarnya, tapi semua yang sudah terlewati ketika saya mengalahkan bagaimana diri saya yang sebenarnya justru memberi pelajaran baru untuk memahami sudut lain dunia dan hidup. 

Lalu apakah semua hal yang saya lakukan dengan mengalahkan diri saya yang sebenarnya adalah hal yang sia-sia? Tentu saja tidak. Kata guru Pkn kelas satu SMA saya, tidak ada yang namanya sia-sia. Saya setuju pendapat beliau, karena semua adalah pembelajaran, baik dari apa yang sudah dilakukan sendiri atau dari apa yang sudah dilakukan orang lain. 

Sebuah pribahasa yang saya kenal ketika SD mengatakan “bagaikan menegakkan benang basah” yang artinya perbuatan sia-sia. Bagi saya, bahkan ketika saya mencoba menegakkan benang basah, tentu saja itu tidak pernah menjadi sia-sia, tapi menjadi pelajaran untuk saya ketahui bahwa benar benang basah tidak akan bisa ditegakkan.

Kegiatan saya yang mengalahkan diri saya sebenarnya tidak pernah sia-sia, pengalaman itu dapat saya lihat dan rasakan nyatanya tentang bagaimana bersikap dan berucap serta suatu hari nanti menjadi bahan cerita kepada orang dekat saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun