Bukankah proses di DPR sudah cukup?
Proses di DPR penting, tapi berbeda tujuan. Pembahasan DPR lebih politis tarik ulur kepentingan fraksi, lobby, dan kalkulasi elektoral. Penelaahan sejawat berbeda ia memeriksa logika, data, dan kelayakan substansi naskah akademik. Keduanya sama-sama penting, tapi tak bisa saling menggantikan.
Anggap saja seperti membangun gedung peer review adalah uji desain dan kekuatan struktur sebelum pembangunan, sedangkan pembahasan di DPR adalah tahap negosiasi siapa yang membangun, berapa lantai, dan bagaimana tampilan akhirnya.
 Apakah ini wacana realistis?
Sebagian orang khawatir penelaahan sejawat akan memperlambat proses legislasi. Tapi mana yang lebih baik sedikit lebih lama, atau cepat tapi berkali-kali direvisi karena substansi lemah?
Proses telaah sejawat juga tak selalu harus serumit publikasi ilmiah di jurnal internasional. Bisa dibuat mekanisme nasional forum penelaahan naskah akademik melibatkan pakar lintas kampus, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga riset independen. Yang penting, ada uji substansi oleh pihak di luar penyusun.
Langkah ini perihal tanggung jawab
Undang-undang bukan karya sastra, bukan pula hanya dokumen politik. Ia mengikat hidup jutaan orang, bahkan generasi yang belum lahir. Menyusun naskah akademiknya bukan sekadar formalitas, tapi bagian dari tanggung jawab intelektual dan moral.
Kalau artikel jurnal kecil saja wajib diuji sejawat, masa dasar bagi undang-undang bisa lolos tanpa pernah dipertanyakan?
Bukankah lebih baik undang-undang dibangun dari fondasi yang kuatdiperiksa, dikritik, dan diperbaikidaripada hanya lahir dari kompromi cepat atau, lebih buruk lagi, titipan kepentingan?
Karena sekali disahkan, pasal undang-undang tak Cuma jadi deretan kata. Ia bisa mengubah hidup, membatasi hak, atau memberi celah untuk disalahgunakan. Dan semua itu, sebenarnya, sudah dimulai sejak tahap yang sering kita lupakan, yakni naskah akademik.