Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Sarjana Hubungan Internasional. Pembaca, Penulis dan Analis Sosial.

Tertarik pada isu politik, hukum, filsafat dan dinamika global. Sesekali mengulas kultur populer dan review film.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengapa Naskah Akademik Pembentuk Undang-Undang Harus Diuji Seperti Karya Ilmiah?

1 Agustus 2025   11:11 Diperbarui: 1 Agustus 2025   11:09 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Naskah Akademik sebagai panduan pembuatan Hukum di Indonesia. (Image source: hariandewata.com) 

Dalam dunia akademik, setiap karya ilmiah yang serius harus melewati peer review. Ini bukan sekadar formalitas, tapi tahap kunci untuk memastikan ide, data, dan kesimpulan bisa dipertanggungjawabkan. Teman sejawat yang membaca akan mempertanyakan apa metodenya tepat? Apakah datanya valid? Apakah solusi yang diusulkan realistis? Adakah konflik kepentingan yang tak diakui?

Coba bayangkan kenapa artikel jurnal ilmiah tentang topik kecilmisalnya, pengaruh pola tidur pada kesehatan jantungbisa diuji berkali-kali, sedangkan naskah akademik yang melandasi undang-undang untuk 270 juta penduduk nyaris tak pernah disaring secara ilmiah?

Bukankah seharusnya semakin besar dampaknya, semakin ketat pula proses ujiannya?

 Manfaat konkret jika naskah akademik diuji sejawat.

Pertama, Kualitas argumentasi lebih kokoh. Penelaahan sejawat membuat penulis naskah akademik harus menyiapkan data lebih lengkap, argumentasi lebih tajam, dan solusi yang benar-benar relevan. Hasilnya bukan hanya tebal, tapi juga berbobot.

Kedua. Meminimalkan bias dan kepentingan tersembunyi. Reviewer independen yang tidak terlibat langsung dapat melihat potensi bias atau "titipan" pasal. Ini tak menjamin naskah akademik bersih total, tapi setidaknya ada mekanisme koreksi.

Ketiga, Transparansi dan akuntabilitas. Hasil telaah sejawat dapat dipublikasikan. Publik, akademisi, hingga media dapat membaca dan mengkritisi sebelum naskah akademik masuk ke pembahasan DPR.

Kempat, Membangun budaya ilmiah di proses legislasi. Undang-undang tidak lagi hanya dianggap produk kompromi politik, tapi juga hasil kajian ilmiah yang serius. Politik tetap penting, tapi basis keilmuannya tak boleh diabaikan.

 Risiko jika terus diabaikan

Tanpa penelaahan sejawat, naskah akademik rentan hanya jadi "pemanis" formalitas. Akibatnya, pasal-pasal dalam undang-undang lahir dari dasar rapuh data tidak akurat, masalah tidak terdefinisi jelas, hingga solusi yang keliru.

Contohnya? Lihat saja berbagai revisi undang-undang yang sering ditolak publik, tapi lolos cepat. Banyak yang akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi atau direvisi lagi hanya dalam hitungan tahun. Semua ini menandakan ada cacat serius di tahap awal perumusan naskah akademiknya tidak pernah benar-benar diuji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun