Mohon tunggu...
Mohammad Thoriq Bahri
Mohammad Thoriq Bahri Mohon Tunggu... Lainnya - Analis Keimigrasian pada Direktorat Jenderal Imigrasi

Analis Keimigrasian pada Direktorat Jenderal Imigrasi, yang mencoba memberi warna dengan tulisannya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Resistensi Kedaulatan di Era Keterbukaan Keimigrasian

13 Mei 2020   14:38 Diperbarui: 26 Januari 2021   09:12 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Mathias P.R. Reding from Pexels 

Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia, menyimpan berbagai potensi baik pada potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Secara ekonomi, Indonesia merupakan negara yang memiliki Gross Domestic Product (GDP) nomor 16 (enam belas) terbesar di dunia, dengan total GDP Nasional sebesar US$932 Miliar.  

Potensi ekonomi dan sumberdaya baik alam maupun manusia yang luar biasa negara Republik Indonesia, membuat kedaulatan negara menjadi penting. Kedaulatan Negara kerap diidentikkan dengan suatu sifat atau ciri hakiki dari suatu negara, dimana negara tersebut memiliki wewenang untuk mengatur sebuah wilayah tertentu, tetapi mempunyai batas-batasnya, yaitu ruang berlakunya kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas- batas wilayah negara itu. Serbuan sumber daya asing yang hampir tak terbendung dewasa ini membuat sebuah pertanyaan tercetus, seberapa berdaulatkah kita di tanah air sendiri?

Mulainya Era Keterbukaan

Sejak diberlakukannya era pasar bebas oleh World Trade Organisation (WTO) pada tahun 2000, praktis banyak negara mulai mengimplementasikan kesepakatan Regional Trade Agreement (RTA) dengan negara lain, yang memiliki tujuan utama meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mobilitas sumberdaya mereka. 

Era keterbukaan ekonomi kawasan dimulai dengan pembentukan Uni Eropa, melalui Maastricht Treaty yang ditandatangani pada tahun 1993. Kesepakatan tersebut ditindaklanjuti melalui pembentukan mata uang Euro pada tahun 2002. Pencapaian penting dari integrasi ekonomi di kawasan Uni Eropa ini ditandai dengan diratifikasinya Lisbon Treaty pada tahun 2007 yang meningkatkan integrasi Eropa dengan menghilangkan batas-batas politik dan identitas negara dengan menjadikan Eropa menjadi satu komunitas ekonomi terintegrasi yang membebaskan lalu lintas kapital, barang jasa, dan sumber daya manusia diantara mereka. Integrasi ekonomi tersebut terbukti meningkatkan stabilitas ekonomi dan pemerataan kawasan, yang juga meningkatkan kekuatan geo politik Uni Eropa di kancah Internasional.

Langkah Uni Eropa tersebut tersebut diikuti oleh negara-negara ASEAN dengan membentuk ASEAN Community melalui ratifikasi Piagam ASEAN pada tanggal 15 Desember 2008. Ratifikasi piagam ini memiliki dampak yang besar terhadap kebijakan Keimigrasian di regional Asia Tenggara. Ratifikasi piagam ASEAN ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengesahan ASEAN Framework Agreement on Visa Exemption yang diundangkan pada tanggal 22 Mei 2009. Praktis semenjak disahkannya Peraturan Presiden tersebut, maka berlaku bebas visa untuk 10 (sepuluh) negara anggota ASEAN, dimana mereka bisa dengan bebas mengunjungi negara satu dan lainnya. 

Pembebasan Visa, Tepatkah?

Pembebasan Visa ini memberikan dampak positif secara regional, dimana sektor pariwisata adalah sektor yang paling terdampak. Kunjungan wisatawan mancanegara dari kawasan ASEAN dan Asia Pasifik menurut data BPS, hanya berkisar 4.917.083 wisatawan di tahun 2009, setelah 5 (lima) tahun berjalannya kebijakan pembebasan visa kunjungan, wisatawan dari kawasan tersebut meningkat menjadi 8.096.372 di tahun 2015. Peningkatan yang cukup signifikan tersebut meningkatkan share sektor pariwisata hingga 9 persen dari total Gross Domestic Product (GDP) Nasional. Melihat perkembangan positif dari tahun ke tahun, maka pada tahun 2016, diberlakukan Kebijakan bebas visa yang diterapkan terhadap 169 negara. 

Pembebasan terhadap 169 negara tersebut direalisasikan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 21 Tahun 2016. Tentu saja, terdapat berbagai dampak positif terkait dengan kebijakan pembebasan visa tersebut. Secara ekonomi, terutama pada sektor pariwisata, kebijakan tersebut memiliki dampak positif, dimana hanya dalam 1 (satu) tahun wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia meningkat yang awalnya hanya 11.519.275 di tahun 2016, menjadi 14.039.799 di tahun 2017. 

Bahkan, dikarenakan kemudahan prosedur Keimigrasian yang diberikan, skor kemudahan berbisnis Indonesia di kawasan ASEAN termasuk tinggi, mencapai 67,96 di tahun 2019 yang mengalahkan Filipina dan Kamboja, yang juga berdampak positif terhadap iklim bisnis dan investasi nasional. Secara makro, kebijakan bebas visa tersebut mampu mengerek pertumbuhan ekonomi nasional hingga diatas 5 persen. Kemudian, investasi dan penyerapan tenaga kerja juga semakin meningkat dengan adanya kebijakan tersebut, dimana pada tahun 2017 tingkat pengangguran hanya berkisar 5.5 persen.

Migrasi atau Ekspansi?

Masih terkait dengan sektor ketenagakerjaan, seperti diketahui bersama bahwa telah dilakukan perubahan peraturan terkait penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Pemerintah dalam waktu kurang dari dua tahun, telah merevisi Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No. 10 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing. 

Perbedaan dari dua peraturan terkait tersebut merubah ketentuan yang dimana sebelumnya bagi tenaga kerja asing diwajibkan harus berpendidikan minimal Sarjana (S1) menjadi ditiadakan, serta kewajiban kemampuan berbahasa Indonesia juga ditiadakan. Tidak hanya itu, ketentuan sebelumnya mewajibkan setiap satu orang tenaga kerja asing harus merekrut minimal 1 (satu) orang pekerja lokal juga ditiadakan. 

Penghapusan terkait dengan ketentuan tersebut menyebabkan resistensi dan kekhawatiran sendiri bagi masyarakat. Dimana dengan adanya berbagai kemudahan tersebut tentu saja jumlah tenaga kerja asing yang masuk ke wilayah Indonesia akan meningkat pesat. Sebagai gambaran, sesuai dengan data publikasi Kemenakertrans pada bulan Desember 2014 terdapat 68.000 tenaga kerja asing, sedangkan pada bulan April 2019 meningkat menjadi 95.335 tenaga kerja asing. 

Kemudahan investasi tersebut mendorong perjanjian kerjasama ekonomi antara Indonesia dan China pada pertemuan G20 di negara Jepang baru-baru ini. Perjanjian ini membawa angin segar pembangunan infrastruktur, dimana China menginvestasikan lebih dari 1000 Triliun Rupiah pada berbagai proyek pembangunan di tanah air. Tentu saja, kesepakatan tersebut diikuti dengan peningkatan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal china yang pada bulan Desember 2019 saja mencapai 32.209 orang, atau sebesar 33,7 persen dari total jumlah TKA resmi di Indonesia.

Melihat tingginya angka tenaga asing yang semakin membanjiri pasar tenaga kerja Indonesia, maka terdapat konsekuensi secara ekonomi, sosial, dan budaya. Meningkatnya angkat perkawinan campur yang dilakukan antara para pekerja asing dengan WNI menjadi salah satu dampaknya. Disisi lain, buka tidak mungkin perilaku serta akulturasi budaya yang terjadi antara budaya asing dan lokal akan terjadi, dan ikut menggerus eksistensi budaya lokal yang telah lama dilestarikan.

Kemudian, dengan terdapatnya kemudahan akses keluar masuk bagi WNA, tidak hanya Tenaga Kerja Asing yang masuk ke wilayah Indonesia, namun juga imigran ilegal yang semakin meningkat secara jumlah, maka tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat ancaman-ancaman keamanan nasional yang diakibatkan oleh keberadaan para pencari suaka dan pengungsi ini, terutama yang berstatus ilegal. Tercatat bahwa imigran ilegal (pencari suaka dan pengungsi) di seluruh Indonesia yang menurut data Direktorat Jenderal Imigrasi per 30 September 2016,  pencari suaka ada pada angka 3.112 orang, sedangkan pada tahun 2017 di periode yang sama mencapai 13.840 orang. Dimana dengan jumlah yang semakin meningkat tersebut, kecenderungan untuk berjejaring juga semakin tinggi, yang tentu saja eksklusivisme dan primordialisme akan muncul di antara kaum imigran ilegal dan warga masyarakat lokal. Tentu saja, dengan semakin membanjirnya warga negara asing, serta semakin eksisnya institusi sosial diantara mereka, maka peran negara akan semakin berkurang.

Resistensi Kedaulatan

Terkait dengan beberapa fakta diatas, dapat disimpulkan bahwa beberapa kebijakan terkait dengan Keimigrasian dianggap akan menjadi ancaman, terutama terkait fungsi Keimigrasian sebagai penegak hukum, dan pengamanan negara. Melihat tingginya angka keluar-masuknya orang asing, dengan berbagai kepentingan, menciptakan permasalahan baru terkait mekanisme kontrol serta pengawasannya. Celah keamanan tersebut akan menciptakan kondisi kontekstual yang dianggap dapat mendukung kegiatan-kegiatan kejahatan transnasional, dimana karena kemudahan untuk memasuki wilayah Republik Indonesia, maka potensi keamanan baik kejahatan narkoba, human trafficking, dan scamming semakin tinggi.

Posisi geopolitik Indonesia sebagai poros politik di Asia Tenggara pun dapat terancam dikarenakan terdapatnya banyak warga negara asing yang berpotensi melanggar ketentuan Keimigrasian, namun berasal dari negara yang dianggap memiliki kekuatan baik secara hukum maupun politik Internasional. Tentu saja, dengan adanya kekuatan tersebut, pemerintah negara asal pelanggar hukum Keimigrasian dapat dengan mudah melakukan intervensi pada proses hukum yang sedang berjalan.  Hal ini dapat mempengaruhi proses hukum yang sebagai contoh seharusnya dilakukan proses pro-justisia namun menjadi hanya dikenakan Tindakan Administratif Keimigrasian (TAK) berupa deportasi.

Kedaulatan bangsa, terutama di bidang Keimigrasian jelas terancam. Bahkan masalah terkait dapat berkembang menjadi masalah antar negara yang lebih rumit. Namun, disisi lain keberadaan masyarakat asing di tengah-tengah kita juga membawa berbagai dampak positif, mulai dari meningkatnya nilai investasi yang membawa tren positif pada peningkatan tenaga kerja, pertukaran budaya antar bangsa hingga transfer ilmu pengetahuan yang akan membawa bangsa kita menjadi bangsa yang kokoh dan mandiri. Pekerjaan rumah kita adalah, bagaimana membuat ekonomi bangsa semakin baik, dan disaat yang bersamaan keamanan terkait Keimigrasian terjamin?.

Bersama Merawat Kedaulatan Negara

Setelah menyimak berbagai fakta dan opini yang telah disajikan, maka harus terdapat sebuah solusi yang tepat guna menciptakan win-win solution bagi kedua belah pihak, yaitu bagi Pemerintah Republik Indonesia, dan bagi negara yang berkepentingan. Seperti diketahui bahwa Imigrasi memiliki fungsi pelayanan publik, penegakan hukum, keamanan negara, dan fasilitator pembangunan. Perspektif yang akan dibahas pertama adalah Imigrasi sebagai fasilitator pembangunan dan pelayanan publik sesuai dengan semangat pemerintah saat ini yang memprioritaskan kedua hal tersebut.

Imigrasi sendiri hingga saat ini sudah sangat baik dalam menempatkan diri sebagai representative agent, yaitu agen pembangunan yang melakukan fasilitasi layanan terhadap kepentingan investasi asing ke Indonesia. Dimana dengan layanan yang berbasiskan Informasi Teknologi (IT), maka slogan PASTI akan terwujud dengan paripurna. Namun, tentu saja sebagai representative agent, maka Imigrasi perlu melakukan sosialisasi dan pendekatan tidak hanya kepada WNI namun juga kepada masyarakat WNA yang tinggal di wilayah kerja Kantor Imigrasi terkait. Dimana langkah preventif ini akan semakin membuat para WNA yang berkepentingan sadar dan memahami hukum Keimigrasian di Indonesia, serta dapat saling mengingatkan apabila terdapat potensi penyimpangan diantara mereka. Hal ini menurut penulis sangat tepat dilaksanakan, karena banyak dari WNA memiliki berbagai perkumpulan dan acara rutin yang bersifat terbuka, maka disanalah Imigrasi harus hadir sebagai representasi dari Pemerintah Republik Indonesia.

Disisi lain, pada fungsi penegakan hukum dan pengamanan negara, diperlukan sinergi yang kuat antar berbagai pihak. Tim Pengawasan Orang Asing (TIMPORA) perlu diperkuat dengan pelibatan unsur-unsur dari grassroot, seperti RT, RW dan Kelurahan. Imigrasi sendiri berkewajiban memberikan bimbingan teknis serta prosedur singkat yang terangkum dalam sebuah media sosialisasi agar dapat dengan mudah dipahami oleh anggota TIMPORA yang berasal dari grassroot. Hal ini sangat penting dilakukan dikarenakan banyak sekali unsur grassroot yang belum memahami hukum Keimigrasian, dan belum mengetahui prosedur yang harus dilakukan apabila terdapat orang asing yang mencurigakan di wilayah mereka, dikarenakan ketidaktahuan tersebut, seringkali terjadi pembiaran.

Kemudian, masyarakat sendiri perlu dilakukan proses edukasi pelaporan orang asing yang dianggap berpotensi mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Hal ini sangat penting dilakukan dikarenakan masih banyak masyarakat yang belum memahami terkait dengan fungsi penegakan hukum Keimigrasian. Hal ini perlu dilakukan agar terdapat sinkronisasi informasi dan sinergi antara aparat pemerintah dan masyarakat. Sosialisasi sendiri dapat dilakukan melalui media elektronik, hingga pembukaan nomor aduan terintegrasi yang mempermudah masyarakat untuk melaporkan keberadaan orang asing yang berpotensi melanggar peraturan Keimigrasian.

Demikian, dengan sinergi yang kuat antara aparat pemerintah dan masyarakat, merawat kedaulatan dapat dilakukan dengan maksimal. Bukan saja kedaulatan yang terjaga, namun sumber daya baik ekonomi, sosial, dan politik baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri menjadi termanfaatkan secara maksimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun