Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

The Loyal (Cerpen Rohani)

11 Juli 2021   15:06 Diperbarui: 11 Juli 2021   15:20 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

THE LOYAL (Yang Setia)

"Limfonos, lambat sekali datangmu, kawan?"

"Iya, maafkan aku, Sosteus, tadi ibuku sedikit menghambatku di rumah."

"Apa katanya?"

"Jauhi kerumunan di Kapernaum, nanti kau tidak bisa pulang."

Sosteus menggelengkan kepala, "Lalu apakah kau memberitahu ibumu bahwa kita justru akan mendatangi kerumunan itu?"

Limfonos memukul kepala Sosteus, "Aku tidak sebodoh itu, Sosteus. Lagipula kita belum terlambat, bukan?"

"Tenanglah, Limfonos. Masih ada yang lebih parah darimu. Si konyol Alurim itu." ucap salah seorang lainnya.

"Alurim sepertinya tidak akan mendapat ijin dari ibunya. Sama seperti ibumu itu, Limfonos, ibunya tidak suka keramaian. Takut akan timbul kerusuhan." ujar Sosteus.

Limfonos menanggapi, "Jika hanya bertiga, bagaimana kita akan membawa teman kita di tandu kelak? Tidak akan seimbang."

"Tenanglah. Itulah gunanya kami mengajakmu, Limfonos. Badanmu yang besar itu tentu akan ada gunanya sekarang. Kau berada di belakang nanti, sementara aku dan Sosteus di bagian depan."

"Jangan bermain -- main, Filipus. Bagaimana jika Octavian terjatuh?"

"Maka, jatuhlah, toh ia sudah tidak bisa berjalan lagi." ujar Filipus.

"Hush, diamlah kalian. Kemungkinan itu tidak akan terjadi. Tapi, kau tentu benar -- benar menyaksikan bahwa orang itu bisa menyembuhkan penyakit, bukan?" tanya Sosteus.

"Tentu saja, Sosteus. Alurim bersamaku beberapa hari yang lalu. Ah, sayang sekali ia belum datang."

"Dan kalian menyaksikan orang bernama Yesus itu mengusir roh -- roh jahat di dalam rumah ibadat?"

"Jangan pura -- pura tidak tahu, Sosteus. Kau sendiri mengenal Hermanus, bukan? Di mana dia sekarang? Apa masih suka keluyuran di tepi Danau Galilea? Tidak, kawan, ia sudah berada di dalam rumah ibadat setiap hari, memuji dan memuliakan nama Tuhan."

Sosteus mengangguk -- angguk. "Lalu, apakah kau yakin ia bisa memulihkan penyakit yang diderita oleh Octavian?"

"Tentu saja, Sosteus. Apa kau tidak mendengar berita akhir -- akhir ini? Orang itu bisa menyembuhkan segala penyakit! Ia adalah utusan dari Allah sendiri. Berasal dari Bapa, seperti itulah kata -- kata yang sering kudengar dari orang -- orang."

"Ada alasan mengapa orang -- orang banyak selalu mengikuti-Nya, Sosteus. Selain penyembuhan, kata -- kata pengajaran yang diucapkan-Nya juga menurutku adalah kebenaran. Ia kerap mengkritik ahli Taurat dan orang Farisi. Senang aku mendengar-Nya." tambah Filipus.

Sosteus menjentikkan jari, "Ah, semakin tinggi keinginanku untuk melihat diri-Nya."

"Ah, ayah dan ibu Octavian sudah datang. Mari kita bantu. Cepat!"

Tiga orang sahabat, Limfonos, Sosteus, dan Filipus segera menghampiri rombongan orang yang membawa tandu. Sebagian besar terdiri dari remaja berumur belasan, semuanya adalah saudara -- saudari Octavian sendiri. Kedua orang tua Octavian mengucapkan terima kasih.

"Terima kasih, anak -- anak. Apakah kalian yakin ingin melakukan hal ini? Kudengar kerumunan di rumah Midas semakin membesar."

"Ah, tenang saja, bu, kami akan membawa Octavian ke hadapan-Nya. Orang ini harus sembuh, bukankah begitu, sobat?"

Octavian hanya bisa tersenyum lemah di pembaringan, "Yang kupunya hanya iman, kawan."

"Lalu, bagaimana ini? Alurim belum datang. Kita tinggalkan saja?" tanya Limfonos.

"Tidak ada cara lain, Limfonos. Kau harus mengisi posisinya. Kecuali kalau kau rela salah satu dari saudara Octavian atau ayahnya yang sudah tua itu untuk ikut membawa tandu."

Limfonos menahan napas, "Baiklah, aku kuat. Kita pergi sekarang. Yang penting Octavian harus sembuh."

"Semoga kerumunan di rumah Midas tidak sebanyak dugaan kita. Tempat itu sempit sekali. Semakin siang, orang akan semakin banyak."

"Lebih baik kita berangkat sekarang." ucap Filipus yang disambut kedua temannya.

Di tengah jalan, Limfonos mengajak Octavian berbincang -- bincang, "Bagaimana, sobat? Apakah kau sudah tidak sabar untuk memakai kakimu lagi?"

Octavian hanya tersenyum, "Aku harap mukjizat itu nyata, Limfonos."

"Kau pasti sembuh, Octavian."

Octavian juga menggenggam kedua lengan temannya, "Terima kasih, kawan -- kawan. Sudah membawaku yang menyusahkan ini. Semoga saja Yesus benar -- benar bisa menyembuhkanku."

"Diamlah, Octavian, jangan gelisah. Jangan banyak omong. Lihat di depan sana, orang semakin banyak." ujar Filipus.

"Benar, semakin banyak orang." sambut Sosteus.

"Jangan lewat situ, kawan, jalan sudah tertutup."

Ketiga orang tercekat dengan ucapan itu, yang kemudian mengambil salah satu ujung tandu. "Kita lewat sini."

"Alurim! Dari mana saja kau?"

"Aku sudah datang lebih dulu. Sudah kuramalkan keramaian ini. Aku menduga Limfonos bisa mengisi posisiku, dan ternyata benar. Sebagai gantinya sedari tadi aku mencari -- cari jalan kosong. Mari, kawan."

Ketiga orang itu pun mengikuti tuntunan Alurim. Namun naas jalan yang dituju Alurim pun sudah tertutup.

"Sial, di sini pun sudah tertutup. Limfonos, tolong pegang ini dulu, aku mau mencari jalan. Luar biasa."

Sementara Alurim menghilang di balik kerumunan, Sosteus berdecak kagum melihat orang -- orang yang semakin bertambah dari seluruh penjuru kota Kapernaum.

"Luar biasa, nabi seperti apakah Yesus itu? Ia mampu menghimpun seluruh penduduk Kapernaum!"

Tidak beberapa lama Alurim kembali. Namun, langkahnya lesu. Ia hanya menggeleng.

"Semua jalan sudah dipenuhi orang. Jalan depan, jalan utama, juga jalan kereta. Aku tidak paham mengapa tabib bernama Yesus itu memilih rumah Midas. Rumah itu kecil, juga terletak di tengah -- tengah."

"Ya, hendak bagaimana lagi." Sosteus pun tertunduk lesu.

Filipus hendak menenangkan Octavian yang sudah ingin menangis sebelum Limfonos berkata, "Ini ujian bagi iman kita. Alurim, kau melupakan satu jalan lagi. Jalan atap!"

Ketiga sahabat itu menatap atap secara bersamaan, dan hanya Limfonos yang tersenyum, "Benar, jalan atap. Bukankah rumah itu terletak di tengah -- tengah? Kita bisa menyeberangi beberapa celah, jika hati -- hati."

Alurim menanggapi, "Kau benar, Limfonos. Coba aku cek dulu, mana tempat yang paling nyaman untuk naik."

Filipus menggeleng -- geleng, "Jangan tidak masuk akal, Limfonos. Bagaimana nanti kita bisa turun ke hadapan Yesus? Bukankah ada banyak orang?"

"Kita tidak perlu turun, Filipus, cukup Octavian saja."

"Tidak mungkin, bagaimana caranya..."

Ucapannya terputus oleh Alurim yang sudah kembali. "Cepat, cepat! Aku menemukan rumah Yonsen ternyata masih kosong. Posisinya nyaman, ada tangga pula. Kudengar juga Yesus sudah hampir selesai. Cepat, kawan, sebelum Ia pergi ke tempat lain."

Keempat serangkai pun segera melanjutkan tugas mereka. Keempatnya menaiki tangga, beralih dari rumah ke rumah, melewati setiap celah, hingga akhirnya menemukan rumah Midas sebagai tujuan mereka. Dari atas, sebuah pemandangan yang tidak menyenangkan terjadi. Rumah itu, bahkan ruas jalan, setiap jengkalnya sudah dipenuhi oleh manusia yang berdesak -- desakan. Keempatnya tahu bahwa tidak mungkin untuk menurunkan Octavian memasuki pintu rumah Midas.

Filipus menghela napas, "Bagaimana ini? Kita sudah sampai sini, sungguh sayang kita tidak bisa bertemu dengan Yesus."

"Apa boleh buat, Filipus. Setidaknya kita sudah berusaha." sambut Sosteus.

"Tidak apa, kawan. Nampaknya aku memang harus merelakan kakiku ini."

Sosteus menggeleng, "Tidak, tidak, Octavian, kita akan mengikuti orang bernama Yesus itu ke mana pun dan memohon kepada-Nya bagi kesembuhan kakimu. Aku jamin itu. Namun, tidak untuk saat ini."

Sementara itu Alurim sudah menjelajah ke seluruh penjuru atap dan hanya menggeleng, "Tidak ada celah sedikit pun. Tidak ada."

"Kata siapa, Alurim? Lihat ini."

Dengan kekuatannya yang besar, Limfonos lalu membongkar kayu -- kayu yang menutup atap rumah Midas, menimbulkan kehebohan. Teman -- temannya tidak sempat menghalanginya. Sosteus pun menghardik Limfonos.

"Bagus, Limfonos. Sekarang semua orang melihatmu. Bagaimana caramu menurunkan Octavian ke bawah sana?"

"Sudah kubilang, Sosteus, kita tidak perlu turun. Sekarang bantu aku."

Teman -- temannya terkejut ketika Limfonos merobek bajunya dan membuatnya seperti gulungan kain. Alurim mengerti. Ia pun melepaskan bajunya dan membantu Limfonos membentuk jalinan. Awalnya Sosteus dan Filipus ragu, namun akhirnya mengikuti. Keempatnya membentu jalinan ikatan di keempat penjuru tandu Octavian.

Limfonos tersenyum, "Apakah kalian siap, kawan?"

Ketiga sahabatnya mengangguk. Bersama -- sama, mereka menurunkan Octavian melalui celah yang dibuat oleh Limfonos. Pemandangan yang tercipta sungguh mengherankan, namun dapat dipahami oleh khalayak ramai. Beberapa orang sahabat melakukan segala cara agar temannya mengalami mukjizat kesembuhan oleh tabib segala tabib.

Dan sang Tabib pun hanya bisa menghela napas. Sebelum berkata Ia melihat ke atas, menyaksikan teman -- teman Octavianus, dan menatap Octavian. Ia tersenyum.

"Hai, anak -- Ku, dosamu sudah diampuni."

Octavianus membalas senyum Yesus. Ia merasakan tubuhnya dialiri oleh hawa hangat. Perlahan -- lahan ia bisa menggerak -- gerakkan kakinya. Ia yakin bahwa mukjizat telah hadir dalam dirinya. Namun, ternyata kisah penyembuhannya belum usai. Di sebelah kiri, ia menyaksikan muka -- muka yang ditekuk dan tidak setuju dengan ucapan Yesus. Para ahli Farisi. Yesus pun lalu berkata.

"Mengapa kamu berpikir begitu dalam hatimu? Manakah lebih mudah, mengatakan pada orang lumpuh ini: Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan: Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalan? Tetapi, supaya kamu tahu, di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa."

Yesus pun memegang lengan Octavian, "Kepadamu Kukatakan, bangunlah, angkatlah tempat tidurmu, dan pulanglah ke rumahmu."

Octavian pun menggerakkan kakinya keluar dari tandu dan menjejak di tanah. Beberapa orang terpekik, lainnya bersorak kegirangan. Ia membereskan tandunya dan berjingkrak kegirangan. Sambil menuju pintu keluar, Octavian bersenandung memuliakan Allah. Beberapa orang di sekitarnya mengikutinya. Ia merasa bahagia bahwa dirinya telah mengalami kesembuhan.

Di pintu, keempat sahabatnya sudah menanti. Octavian merasa semuanya berwajah serupa. Seluruhnya berwajah seperti malaikat. Semuanya juga bersenandung. Dan keseluruhannya memuliakan Allah.

Kisah lain dapat dilihat di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun