Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perang Medang - Sriwijaya [Novel Nusa Antara]

21 Maret 2020   20:06 Diperbarui: 21 Maret 2020   20:19 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak membawa senjata cadangan, jumlah korban pada pasukan Limawijaya terus bertambah. Pasukan yang pada awal mulanya dimaksudkan untuk membantu Unggun Krama untuk melakukan pengepungan, kini malah balik terdesak ke atas bukit. Seperti melihat pasukan Medang di sisi kanan tidak berfungsi, pos pertahanan Sriwijaya mengirimkan pasukan dalam jumlah besar ke sisi sebelah kanan. Joko Wangkir menundukkan kepalanya. Raut mukanya menunjukkan penyesalan diri.

Salahkulah ini. Kegagalan kedua sayap di pertarungan ini merupakan kesalahanku. Aku bertanggung jawab.

Sang panglima baru saja membuka pedang dari sarungnya dan hendak mengikuti pertarungan yang berlangsung, ketika ia melihat di kejauhan para prajurit berkuda membentuk formasi seperti panah. Joko Wangkir menghitung lima formasi panah berdiri di depan pos pertahanan Sriwijaya. Apakah ini wajrawyuha? Persenjataan lengkap berada di genggaman tangan para prajurit: tombak, pedang, golok, belati, dan tameng. Tidak beberapa lama, pasukan tersebut berlari sangat kencang di atas kuda menuju garis pertempuran Kerajaan Medang dan Sriwijaya. Terjangan yang dilakukan membuat garis pertahanan pasukan Medang hancur obrak - abrik, meninggalkan para prajurit berdiri tanpa formasi. Mereka kini tercerai berai, bertarung hanya untuk mempertahankan diri atau menghabisi musuh. Pasukannya tidak lagi melihat dimana kaki mereka berjejak, perhatian mereka tertuju pada warna baju dan celana orang di sekelilingnya.

Oh, tidak. Ini benar -- benar wajrawyuha.

Joko Wangkir membeku. Pikirannya berkecamuk. Rencana yang telah ia susun mengalami kegagalan sepenuhnya. Kini pertahanan antara dirinya dan istana Medang hanyalah rakyat Dieng. Rakyat Dieng, tanpa kemampuan bertempur dan bertarung.

Sang panglima menatap area pertarungan dengan tatapan kosong. Dari matanya ia melihat sebuah formasi panah kembali terbentuk, hanya satu buah namun kali ini dengan jumlah prajurit yang lebih banyak. Persenjataan lengkap juga dimiliki oleh para prajurit tersebut. Mereka berlari dan menerjang, sekarang lebih mudah dan lebih cepat, menuju medan pertempuran. Mereka menuju ke arahku, cepat ambil posisi, Wangkir. Wangkir!

Joko Wangkir berdiri mematung. Ia hanya bisa bergeming melihat pasukan panah menembus medan pertempuran. Pasukan panah melewati para prajurit yang bertarung, menyingkirkan orang -- orang di hadapannya, terus melaju menuju tempat Joko Wangkir. Sang panglima tidak berbuat apa -- apa ketika pasukan itu melaju di sampingnya. Pasukan panah berlari kencang, bagaikan kilat yang mengguntur di siang hari, menuju arah selatan. Joko Wangkir menoleh ke belakang. Puluhan rakyat berusaha untuk menerjang menuju pasukan panah, namun tidak membuahkan hasil. Sebaliknya, tebasan pada leher dan hujaman tombak di tubuh mereka menjadi pemandangan yang mengerikan. Joko Wangkir menyaksikan dengan matanya sendiri, warga sipil telah menjadi korban perang. Sesuatu yang mencolok kini menarik perhatiannya. Seseorang memakai sari kuning dengan sanggul di kepalanya, mengendarai kuda di tengah -- tengah pasukan panah.

Balaputradewa! Mereka menuju ke arah istana! Tunggu, akan kukejar!

Joko Wangkir baru akan menaiki kudanya dan mengejar Balaputradewa, ketika ia melihat di kejauhan sebuah formasi panah kembali terbentuk di pos pertahanan Kerajaan Sriwijaya. Pikirannya berlomba dengan cepat.

Aku sendiri tidak akan berguna untuk menghentikan mereka. Lagipula masih ada Raka Saputro di istana. Lebih baik aku disini untuk berkorban.

Sebuah suitan hadir dari mulut Joko Wangkir. Tangannya menunjuk ke arah formasi panah di pos pertahanan musuh. Ketiga ksatria mendengar suitan Joko Wangkir dan mengerti maksudnya. Mereka mengendarai kuda masing -- masing, berlari menerjang pasukan di sekitarnya untuk bertemu dengan pasukan panah. Unggun Krama, Limawijaya, dan Iyang Taslim berhasil menghentikan para prajurit di dalam formasi panah. Joko Wangkir kini ikut dalam pertarungan dengan menghabisi pengendara terdepan di fomasi panah. Pedangnya melibas kepala sang kuda sebelum menewaskan pengendaranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun