Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perang Medang - Sriwijaya [Novel Nusa Antara]

21 Maret 2020   20:06 Diperbarui: 21 Maret 2020   20:19 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ribuan prajurit.

Panglima perang Medang, Joko Wangkir, memacu perlahan kudanya melewati formasi pasukan Kerajaan Medang yang berbaris di kiri -- kanannya. Ia mengamati dengan seksama kesigapan para prajurit dan kelengkapan persenjataan yang mereka miliki. Prajurit muda memiliki pedang di pinggangnya serta belati di kakinya, sedangkan perwira dan komandan bebas memilih untuk menggunakan tombak, lembing, atau pedang. Kemampuan beladiri yang berbeda -- beda membuatku mengambil keputusan untuk membebaskan mereka.

Joko Wangkir menatap ke depan. Di hadapannya ombak dengan tenang menyapu ke atas daratan. Angin sepoi -- sepoi mengibas dedaunan pohon kelapa di Pantai Kalingga. Di sebelah kanannya berdiri istana Kalingga dengan keempat menara menjulang di pojok -- pojoknya. Sinar matahari senja memantulkan warna keemasan di permukaan laut.

Sungguh indah. Akankah ini menjadi lautan darah lusa nanti?

Seseorang di bawah pohon kelapa sedang menikmati air kelapa langsung dari batoknya. Joko Wangkir menghampirinya dan berharap orang itu segera berdiri, namun orang yang dimaksud tetap menikmati air kelapanya sembari menatap sang panglima.

"Kau ini beruntung. Luka lebam di kepalamu menjadi pengingat bagiku untuk tidak perlu menghajarmu lagi. Duduk sajalah, aku ingin membicarakan sesuatu."

"Apapun itu, panglima."

"Aku memintamu untuk menarik pasukanmu dari sini. Aku tahu kau ini adalah seorang yang sangat berani dan kau secara sukarela telah berjanji untuk menjadi pasukan terdepan. Tapi tidak perlu seperti ini. Tak perlu kau hadapi Sriwijaya di Pantai Kalingga. Iyang Taslim, Unggun Krama, dan Limawijaya sudah kuinstruksikan untuk mengatur barisan di dataran tinggi Dieng. Raka Saputro kusuruh untuk menjaga raja dan kotaraja. Bahkan Awan Senggana sudah menyiapkan pemuda -- pemuda desa seandainya pasukan kerajaan dikalahkan."

Anggabaya menggeleng.

"Mpu Panca berkorban di sebelah timur. Aku akan berkorban di sebelah barat. Seharusnya kau malu dengan dirimu sendiri, panglima. Harusnya kau berada di sini, bukan diriku."

"Tidak, Anggabaya, aku memiliki taktik yang lebih baik. Pasukan Sriwijaya tidak mengenal perbukitan Dieng. Kita bisa melakukan penyergapan mendadak di sana. Kau berada di sini, kau bunuh diri. Peran Mpu Panca berbeda. Kita berharap ombak ganas yang berada di daerah tebing terjal mengacaukan navigasi dan kemampuan bertempur pasukan laut Sriwijaya. Pasukan Mapala Senadi dan Harian Adhyaksa hanyalah pendukung saja."

"Kau meremehkan kemampuan bertempur pasukan laut Sriwijaya. Mereka akan mati!"

Kita semua akan mati. Joko Wangkir mendengus.

"Aku tidak ingin kehilangan kesabaran, Anggabaya," Joko Wangkir membuka pedang dari sarungnya dan mengarahkan kepada Anggabaya, "Kau akan mati jika tinggal disini. Aku sebisa mungkin mencegah pasukan andalanku mati konyol menuju nirwana. Aku perintahkan kau dan pasukanmu untuk angkat kaki dari sini dan mengikutiku."

Sambil melenguh, Anggabaya berdiri. Ia mengangkat satu tangannya dan memerintahkan anak buahnya untuk melangkah pergi dari dermaga Kalingga. Tangannya yang lain memegang batok kelapa, sesekali mengarahkan ke mulutnya.

Tidak akan kubiarkan pasukan andalanku mati konyol. Tidak ada satupun kekurangan dari prajurit bawahan Anggabaya ketika kuperiksa tadi. Tugasku memastikan mereka berfungsi dengan baik.

Joko Wangkir menatap istana Kalingga. Tidak ada tanda kehadiran orang di dalamnya. Bahkan kokokkan ayam pun tidak hadir di sana. Istana tersebut kosong melompong. Pintu istana terkunci dengan rapat.

Di mana Bupati Kalingga? Kabur karena takut? Itu bukanlah tabiatnya. Tapi melihat perumahan warga juga kosong melompong, aku menyerahkan nasib mereka ke tangan Batara Siwa.

Joko Wangkir bersama Anggabaya melangkah beriringan di atas kudanya. Mereka menuju ke arah selatan. Langit telah berubah menjadi gelap ketika mereka sampai di Pendopo Dieng. Awan Senggana bersama istrinya menyambut mereka.

"Selamat sore, bupati, Suciwati, salam bagi kalian semua."

"Salam bagi kalian semua, prajurit. Kulihat kau berhasil membujuk Anggabaya."

"Tidak membujuk, Senggana. Aku memaksanya. Ia hanya tidak ingin menambah luka lebam di mukanya."

Sebuah geraman hadir dari mulut Anggabaya.

"Sudahlah, panglima, Anggabaya. Mari ke meja makan. Hidangan sudah disiapkan. Teman -- temanmu sudah menunggu di sana."

Joko Wangkir, Anggabaya, dan Awan Senggana melangkah menuju ruang makan. Iyang Taslim, Limawijaya, dan Unggun Krama telah menunggu mereka di sana. Ketiganya berdiri dan memberi salam ketika melihat sang panglima memasuki ruangan.

"Kau lihat itu, Anggabaya, seperti itulah seharusnya seorang bawahan bersikap kepada atasannya."

Geraman lain hadir dari mulut Anggabaya.

Joko Wangkir memulai santap malamnya dengan mencomot pisang goreng. Anggabaya langsung memenuhi piringnya dengan sangu dan sepotong ayam bakar.

Sembari memamerkan deretan gigi putihnya, Awan Senggana berucap, "Aku sudah menyiapkan para pemuda desa dengan lembing -- lembing mereka. Aku berharap para pemuda Dieng dapat membantu."

Joko Wangkir membalas, "Sejujurnya aku tidak ingin menggunakan mereka, Senggana. Mereka tidak punya pengalaman dan pengetahuan bela diri. Tenang saja, dengan perhitunganku dan formasiku, musuh pasti akan tertumpas."

"Lucu, panglima, dulu kau tidak setenang ini. Ketika kita terakhir bertemu di ruang pertemuan istana, mukamu adalah yang paling menunjukkan ketegangan. Terlebih ketika Anggabaya ini membuat ulah."

Geraman ketiga hadir dari mulut Anggabaya di ruangan itu.

"Aku bukanlah petarung terhebat di Kerajaan Medang ini, kawan. Dan ketika sang petarung terhebat itu memberikan aku janji untuk menahan musuh, aku percaya padanya. Aku percaya ia memegang kata -- katanya."

"Mapala Senadi hanya mengandalkan pemuda desa, Wangkir. Sama denganku. Yah, kuharap pemuda desa Merapi lebih berkualitas dari para pemuda Dieng. Walaupun aku tidak yakin."

Iyang Taslim ikut berujar, "Jangan lupakan Mpu Panca di Laut Jawa. Ia tidak akan kalah."

Limawijaya juga menanggapi, "Betul, panglima, ucapanmu seakan -- akan pasukan Mpu Panca hanyalah tumbal bagi Kerajaan Medang."

Ia memang akan kalah. Dan mungkin mati.

"Bukan begitu. Sudah kubilang, aku menganggap pasukan Merapi dan Dieng adalah cadangan saja jika terjadi apa -- apa. Pasukan utama tetap kita: Joko Wangkir di darat dan Mpu Panca di laut."

"Dan bagaimanakah taktikmu lusa esok, panglima?" Awan Senggana bertanya.

Akankah kubicarakan dengannya? Beritahu sajalah.

"Unggun Krama sebagai ksatria terkuatku akan langsung menghadapi mereka di sebuah bukit yang menanjak, kira -- kira seribu depa dari desa paling utara pemukiman Dieng. Pasukan Iyang Taslim akan menunggu di belakang bukit selatan, sedangkan pasukan Limawjiaya akan berada di belakang bukit sebelah timur. Anggabaya, kau akan berada di bukit sebelah barat. Tunggu aba -- aba dariku saat akan melakukan serangan."

Gebrakan meja hadir dari seseorang bertubuh gemuk.

"Akulah yang akan menghadapi mereka langsung, panglima! Aku ksatria terkuatmu!"

Joko Wangkir menatap tajam Anggabaya, "Tidak. Duduklah, kunyah makanan di mulutmu itu hingga habis, baru bertutur kata."

Sekali lagi Anggabaya tidak dapat membantah atasannya.

"Kekuatanmu memang besar, Anggabaya. Namun, aku membutuhkan sebuah pasukan yang disiplin, yang mampu menahan musuh. Unggun Krama adalah ksatria terkuatku, pasukannya memiliki tingkat disiplin pertahanan yang tinggi. Kau, Anggabaya, akan mendobrak musuh dari arah kanan."

Awan Senggana menanggapi, "Aku memahami rencanamu, Wangkir. Unggun Krama di tengah tentu akan memakai formasi bertahan yang terkenal, cakrawyuha, sedangkan Anggabaya dan Limawijaya akan memakai formasi menyerang seperti garudawyuha atau makarawyuha."

Joko Wangkir mengangguk dan menggeleng, membuat Awan Senggana kebingungan, "Benar, bupati, pasukan Anggabaya dan Limawijaya akan memakai formasi makarawyuha, namun Unggun Krama tidak akan memakai cakrawyuha. Dataran Dieng terlalu luas untuk memakai formasi ini. Aku takut akan ada prajurit yang lolos dan menyebabkan kematian warga. Tidak. Unggun Krama akan memakai formasi bulan sabit untuk bertahan."

Awan Senggana mengangguk -- angguk, "Kau benar -- benar memikirkan keselamatan warga, Wangkir. Benar -- benar suatu tindakan terpuji."

"Sejujurnya perjalananku menuju Kalingga bukan hanya menarik orang ini dari sana. Aku ingin mengungsikan orang -- orang Kalingga dan membuatnya kosong. Tapi mereka bertindak lebih cepat dariku. Ini membantuku namun aku tidak mengerti. Apakah kau melihat mereka, Awan Senggana?

Awan Senggana menggeleng, "Bahkan aku tidak melihat sang bupati."

Di mana mereka itu?

Limawijaya berucap, "Panglima, aku ingin meminta sesuatu. Kuharap kau mendengarkan dan mengabulkan permintaan ini."

"Silakan, Limawijaya."

"Aku telah melatih para prajuritku dengan menggunakan tombak ganda, seperti jurus -- jurus andalanku. Aku harap kau memperbolehkanku untuk mempersenjatai para tamtama, perwira, dan komandan dengan tombak ganda."

Joko Wangkir berpikir sejenak. Permintaan yang diluar kebiasaan.

"Apakah semuanya nyaman menggunakan tombak ganda, Limawijaya?"

"Sebagian besar, panglima. Tidak semua."

"Kalau begitu persenjatai mereka yang nyaman dengan tombak ganda. Yang tidak, biarkan mereka bebas memilih. Apakah dapat diterima?"

"Baik, panglima. Perintahmu akan aku laksanakan."

***

Joko Wangkir menatap lapangan rumput luas di hadapannya. Lapang rumput itu sangat luas berupa dataran, namun melandai di sebelah barat, timur, dan selatan. Beberapa pohon tinggi menjulang hadir di lapang rumput. Selain pohon dan bongkah batu yang besar, tidak ada tempat bersembunyi di dataran itu.

"Unggun Krama, kau adalah kunci pertempuran ini. Bertahanlah selama mungkin. Pertahankan formasi pertarungan. Jangan biarkan musuh mendobrak. Hanya Iyang Taslim dan pasukan pemuda Dieng yang berdiri di antara kau dan istana Medang."

Unggun Krama mengangguk, "Tenang, panglima. Aku melakukan sesuai dengan ajaranmu. Aku menempatkan orang -- orang terkuat di barisan belakang dan sayap. Aku akan menerapkan taktik pengepungan. Terlebih, nanti ada Anggabaya dan Limawijaya."

Joko Wangkir tersenyum bangga, "Kau adalah ksatria terkuat dan terpintar. Seluruh harapan rakyat Medang ada di pundakmu. Baik, sekarang ambil posisi! Siwa bersamamu."

Unggun Krama sekali lagi mengangguk dan memacu kudanya menuruni bukit menuju pasukan. Para prajuritnya bersenjata lengkap, menggunakan pedang, tameng kayu, dan beberapa menggunakan pakaian besi. Beberapa di antara mereka menggunakan kuda, terutama para prajurit yang berada di samping pasukan.

Joko Wangkir melayangkan pandangannya ke kiri dan ke kanan. Sesuai dengan arahannya, pasukan Limawijaya dan Anggabaya tidak terlihat dari pandangan mata. Joko Wangkir harus memacu kudanya beratus -- ratus depa ke arah timur untuk memastikan pasukan Limawijaya sesuai dengan posisinya. Sang ksatria tepat berada di tempatnya dan mengangguk ketika melihat sang panglima.

Tanda dariku adalah ringkikan kuda. Kalian sudah terlatih mendengarnya.

Joko Wangkir kembali ke posisi awal dan menuju arah barat. Sekarang, si sumber masalah.

Anggabaya sedang memukul -- mukul tameng seorang prajurit ketika Joko Wangkir menghampirinya. Tidak seperti Limawijaya, ia menghampiri sang ksatria.

"Apa yang kau lakukan, Anggabaya?"

"Kau lihat sendiri, panglima. Aku sedang menguji ketahanan tameng prajurit. Aku memastikan mereka aman ketika menghadapi pedang maupun panah."

"Bukankah sudah kuuji berulang kali, Anggabaya? Tameng buatan kelompok Destrapura tidak memiliki kelemahan. Sudahlah, lihat, kau bahkan belum mengatur formasimu."

Anggabaya tersenyum, "Tenang saja, panglima. Dengan satu tangan aku bisa..."

Sangkakala berbunyi. Sial, mereka sudah datang? Mengapa sangat cepat?

"Cepat atur pasukanmu, Anggabaya, mereka sudah datang! Sial, mengapa cepat sekali?"

Anggabaya tergopoh -- gopoh membenarkan pakaian perangnya dan mengangkat tangannya untuk mengatur formasi pasukan. Joko Wangkir meninggalkannya dan memacu kudanya menuju tempatnya semula, bersama Iyang Taslim dan Awan Senggana.

Dari belakang bukit Joko Wangkir menyaksikan dengan seksama sembari memacu kudanya. Sebuah pasukan bertelanjang dada dan bercelana kain kuning dengan jumlah sangat besar berkumpul di sebelah utara. Para pemanah bersiap di belakangnya, sedangkan pasukan berpedang dan berkuda di depannya.

Pasukan ini besar sekali. Hampir dua kali dari pasukanku.

Para pemanah mengarahkan panahnya ke langit. Unggun Krama memerintahkan pasukannya untuk melindungi diri di dalam tamengnya. Ribuan panah meluncur di langit Jawa pada pagi itu layaknya ribuan jarum yang dikirimkan dewa dari langit. Di tengah hujan panah, para prajurit Medang berlindung di bawah tamengnya, berusaha untuk mempertahankan diri. Sebagian panah menusuk lengan, membuat pertahanan turun, dan menjadikan diri tidak berdaya ketika panah -- panah berikutnya menembus raga.

Kini giliran kita membalas.

Di belakang Unggun Krama, dua baris panjang pemanah bersiap untuk meluncurkan panahnya ke langit. Situasi berbalik, pasukan Sriwijaya kini bersiap memegang tamengnya di udara. Keadaan yang sama kembali terjadi, beberapa prajurit Sriwijaya tidak mampu menahan ribuan panah yang menerjang menembus pertahanan.

Pasukan panah Kerajaan Medang dan Sriwijaya bertukar serangan melalui panah, menandai mulainya perang besar di tanah Jawa pada waktu itu. Joko Wangkir harus menghitung lima putaran pertukaran serangan, sebelum Unggun Krama mengangkat tangannya. Ia memutuskan pasukannya untuk melaju perlahan menuju pasukan musuh, sembari mengangkat tameng. Ia menyadari bahwa pertukaran serangan melalui panah akan menguntungkan Sriwijaya, melihat jumlah korban yang ambruk di pihaknya lebih banyak.

Bagus, Unggun Krama, kau menyadari hal paling penting.

Melihat pasukan Medang mulai merangsek naik, pasukan berkaki Sriwijaya memberikan respon. Mereka mulai melangkah maju, semakin lama semakin cepat, dan pada akhirnya mereka berlari menerjang. Sebuah benturan besar terjadi di dataran tinggi Dieng, dengan matahari yang mulai meninggi sebagai saksi perang. Dentingan pedang beradu, teriakan musuh dan kawan terdengar nyaring. Pasukan pemanah menghentikan aksi mereka, tidak ingin panah menembus teman sendiri. Mereka mengeluarkan senjata lainnya dari pinggang mereka, beberapa mengeluarkan pedang, lainnya mengeluarkan belati, sambil mempertahankan tameng di tangan lainnya. Sebuah pertempuran hebat terjadi, dan seorang panglima memerhatikan dari jauh, menunggu saat yang tepat untuk melepaskan pasukan penyergapan.

Belum saatnya. Tunggu sampai mereka terpancing ke belakang.

Joko Wangkir memerhatikan pos pertahanan musuh. Sebagian besar pasukan belum ikut turun ke medang perang. Sebenarnya bukan itu yang ingin ia temukan. Aku tidak melihat pemimpin mereka. Dimana Balaputradewa dan Vijayasastra?

Para prajurit Kerajaan Medang terdesak ke belakang. Garis pertahanan pasukan Medang mulai melangkah mundur membentuk setengah lingkaran. Tidak ingin menyia -- nyiakan kesempatan, beberapa prajurit dari pos pertahanan Sriwijaya mengikuti teman -- teman mereka untuk mendesak pasukan Medang.

Belum, belum, tunggu beberapa saat lagi. Tunggu saat mereka menjejak tanah yang melandai.

Sesuatu yang tidak diinginkan Joko Wangkir terjadi. Sebuah pasukan dari arah barat muncul dan menerjang musuh di medan perang. Sang panglima terbelalak.

Pasukan Anggabaya memacu kuda dan berlari seperti pasukan yang kesetanan. Para prajurit Sriwijaya yang berada di sisi barat mengalami kepanikan. Sebagai hasilnya, pasukan Anggabaya berhasil menghunus leher dan menghujamkan pedang ke dada musuh. Sebagian besar pasukan Sriwijaya berhasil dikalahkannya. Ia menatap sang panglima dengan tatapan penuh kebanggaan. Sementara itu Unggun Krama menatap Joko Wangkir dari jauh dengan muka kebingungan.

Dasar bodoh.

Sebuah pasukan berkuda dan berkaki dalam jumlah besar dari pos pertahanan Sriwijaya menerjang menuju medan perang. Mereka tidak mengarahkan diri pada pertemuan garis antara Unggun Krama dan pasukan Sriwijaya, melainkan tepat menuju arah pasukan Anggabaya. Tidak berada dalam formasi terbaiknya, kini pasukan Anggabaya dikepung oleh musuh dalam jumlah besar. Berusaha menguasai keadaan, dari atas kuda ia mengayunkan pedangnya membabi buta untuk menembus formasi musuh. Usaha putus asanya berhasil, namun pasukannya bertarung penuh kesulitan untuk membebaskan diri. Selain itu kini pasukan -- pasukan berjumlah besar mulai dikirimkan pos pertahanan Sriwijaya menuju medan perang.

Tidak ada waktu lagi.

Joko Wangkir menarik tali kekang kudanya erat -- erat, menyebabkan sang kuda meringkik kesakitan. Ia memberi tanda kepada Iyang Taslim di belakangnya untuk ikut turun ke medan perang. Unggun Krama mulai melaksanakan formasi pengepungan. Namun, akibat kedatangan Anggabaya yang terlalu cepat, pasukannya di sayap kiri kesulitan untuk mengelilingi musuh. Pasukan Sriwijaya mulai mendesak pasukan Medang menaiki bukit. Sang ksatria berusaha untuk mempertahankan semangat prajurit dengan meneriakkan kata -- kata kedewaan, sembari mengayun -- ayunkan pedangnya memberantas musuh.

Pasukan Limawijaya dan Iyang Taslim mulai mengikuti pertempuran yang berlangsung. Dari belakang, Iyang Taslim mendukung garis pertahanan yang berusaha dipertahankan oleh Unggun Krama. Kedua ksatria bertempur dengan gagah berani. Joko Wangkir menyaksikan Unggun Krama memotong tangan musuh dan golok Iyang Taslim menembus tengkorak prajurit Sriwijaya. Kini pandangannya tertuju pada pasukan Limawijaya.

Tampilan berbeda ditunjukkan oleh pasukan Limawijaya. Sebagian besar dari mereka memakai tombak ganda, mengikuti keahlian sang pemimpin. Beberapa dari mereka bergerak lincah menghalau musuh. Limawijaya sendiri dengan gerakannya yang cepat memutar merobek tubuh musuh yang mengitarinya, menghabisi setiap orang yang ditemui oleh ujung tombaknya.

Lama waktu yang dibutuhkan Joko Wangkir mengamati pasukan Limawijaya. Sesuatu yang mengganjal pikirannya kini benar -- benar terjadi. Pada awalnya sang panglima tidak ingin mengijinkan Limawijaya untuk mempersenjatai pasukannya dengan tombak kembar. Senjata tombak kembar memiliki kesulitan tersendiri dalam pertarungan, terlebih ketika menghadapi banyak musuh. Jangkauan memang menjadi lebih lebar, namun kelebihan itu dibayar dengan jarak dekat. Dalam menghadapi musuh jarak dekat, senjata itu sulit digunakan. Hanya orang -- orang tertentu yang dapat menggunakannya pada jarak dekat, seperti Limawijaya. Terlebih jika badan tombak patah oleh musuh.

Perkataan Limawijaya meyakinkanku. Harusnya aku tidak mudah diyakinkan. Aku terlalu percaya pada ksatriaku.

Tidak membawa senjata cadangan, jumlah korban pada pasukan Limawijaya terus bertambah. Pasukan yang pada awal mulanya dimaksudkan untuk membantu Unggun Krama untuk melakukan pengepungan, kini malah balik terdesak ke atas bukit. Seperti melihat pasukan Medang di sisi kanan tidak berfungsi, pos pertahanan Sriwijaya mengirimkan pasukan dalam jumlah besar ke sisi sebelah kanan. Joko Wangkir menundukkan kepalanya. Raut mukanya menunjukkan penyesalan diri.

Salahkulah ini. Kegagalan kedua sayap di pertarungan ini merupakan kesalahanku. Aku bertanggung jawab.

Sang panglima baru saja membuka pedang dari sarungnya dan hendak mengikuti pertarungan yang berlangsung, ketika ia melihat di kejauhan para prajurit berkuda membentuk formasi seperti panah. Joko Wangkir menghitung lima formasi panah berdiri di depan pos pertahanan Sriwijaya. Apakah ini wajrawyuha? Persenjataan lengkap berada di genggaman tangan para prajurit: tombak, pedang, golok, belati, dan tameng. Tidak beberapa lama, pasukan tersebut berlari sangat kencang di atas kuda menuju garis pertempuran Kerajaan Medang dan Sriwijaya. Terjangan yang dilakukan membuat garis pertahanan pasukan Medang hancur obrak - abrik, meninggalkan para prajurit berdiri tanpa formasi. Mereka kini tercerai berai, bertarung hanya untuk mempertahankan diri atau menghabisi musuh. Pasukannya tidak lagi melihat dimana kaki mereka berjejak, perhatian mereka tertuju pada warna baju dan celana orang di sekelilingnya.

Oh, tidak. Ini benar -- benar wajrawyuha.

Joko Wangkir membeku. Pikirannya berkecamuk. Rencana yang telah ia susun mengalami kegagalan sepenuhnya. Kini pertahanan antara dirinya dan istana Medang hanyalah rakyat Dieng. Rakyat Dieng, tanpa kemampuan bertempur dan bertarung.

Sang panglima menatap area pertarungan dengan tatapan kosong. Dari matanya ia melihat sebuah formasi panah kembali terbentuk, hanya satu buah namun kali ini dengan jumlah prajurit yang lebih banyak. Persenjataan lengkap juga dimiliki oleh para prajurit tersebut. Mereka berlari dan menerjang, sekarang lebih mudah dan lebih cepat, menuju medan pertempuran. Mereka menuju ke arahku, cepat ambil posisi, Wangkir. Wangkir!

Joko Wangkir berdiri mematung. Ia hanya bisa bergeming melihat pasukan panah menembus medan pertempuran. Pasukan panah melewati para prajurit yang bertarung, menyingkirkan orang -- orang di hadapannya, terus melaju menuju tempat Joko Wangkir. Sang panglima tidak berbuat apa -- apa ketika pasukan itu melaju di sampingnya. Pasukan panah berlari kencang, bagaikan kilat yang mengguntur di siang hari, menuju arah selatan. Joko Wangkir menoleh ke belakang. Puluhan rakyat berusaha untuk menerjang menuju pasukan panah, namun tidak membuahkan hasil. Sebaliknya, tebasan pada leher dan hujaman tombak di tubuh mereka menjadi pemandangan yang mengerikan. Joko Wangkir menyaksikan dengan matanya sendiri, warga sipil telah menjadi korban perang. Sesuatu yang mencolok kini menarik perhatiannya. Seseorang memakai sari kuning dengan sanggul di kepalanya, mengendarai kuda di tengah -- tengah pasukan panah.

Balaputradewa! Mereka menuju ke arah istana! Tunggu, akan kukejar!

Joko Wangkir baru akan menaiki kudanya dan mengejar Balaputradewa, ketika ia melihat di kejauhan sebuah formasi panah kembali terbentuk di pos pertahanan Kerajaan Sriwijaya. Pikirannya berlomba dengan cepat.

Aku sendiri tidak akan berguna untuk menghentikan mereka. Lagipula masih ada Raka Saputro di istana. Lebih baik aku disini untuk berkorban.

Sebuah suitan hadir dari mulut Joko Wangkir. Tangannya menunjuk ke arah formasi panah di pos pertahanan musuh. Ketiga ksatria mendengar suitan Joko Wangkir dan mengerti maksudnya. Mereka mengendarai kuda masing -- masing, berlari menerjang pasukan di sekitarnya untuk bertemu dengan pasukan panah. Unggun Krama, Limawijaya, dan Iyang Taslim berhasil menghentikan para prajurit di dalam formasi panah. Joko Wangkir kini ikut dalam pertarungan dengan menghabisi pengendara terdepan di fomasi panah. Pedangnya melibas kepala sang kuda sebelum menewaskan pengendaranya.

Melihat formasi panah berhasil dihentikan, pos pertahanan Sriwijaya tidak lagi mengirimkan formasi yang sama. Sebagai gantinya, seluruh prajurit yang tersisa kini menerjang menuju medan pertempuran. Auman para prajurit Sriwijaya mengangkat semangat pertempuran di atas tanah Dieng.

Baiklah, ayo kita bertempur.

Joko Wangkir memberi tanda kepada ketiga ksatria untuk bertempur sepenuh hati dan mengeluarkan segenap kemampuan bertempur. Mereka tidak lagi bertarung dalam formasi, melainkan hanya melihat siapa kawan dan lawan. Joko Wangkir menyadari, dalam jenis pertempuran seperti ini yang berpengaruh adalah jumlah dan keahlian. Pasukan Medang kalah dalam kedua faktor tersebut. Namun apa boleh buat, kami sudah berada di sini, hanya bisa bertempur sekuat tenaga. Ada satu faktor lagi: tekad yang membara!

Joko Wangkir mengayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri mencari musuh. Tangannya bergerak cekatan menghabisi nyawa prajurit Sriwijaya, kakinya seperti menari lincah menghindari tebasan demi tebasan. Di kejauhan ia melihat Anggabaya mulai kewalahan menghadapi musuh. Sebuah luka dalam hadir di pundaknya. Dari belakangnya seorang prajurit Sriwijaya hendak menghujamnya dengan pedang. Joko Wangkir dengan cepat bergerak untuk menghabisi sang prajurit.

Joko Wangkir tertawa menyeringai, "Tidak dalam penglihatanku, ksatria."

Anggabaya hanya bisa tertawa miris dan menghabisi prajurit yang berada di hadapannya.

"Terima kasih, panglima. Mari kita bertempur!"

Sebuah panah melaju dengan kencang dan menembus mata kanan Anggabaya. Sang ksatria berlutut, tangannya mengacungkan pedangnya tinggi -- tinggi, sebelum roboh di permukaan tanah.

Tidak. Baru saja kuselamatkan. Oh tidak.

Joko Wangkir secara trengginas menghujam musuh -- musuh di sekelilingnya. Ia memang tidak pernah menyukai ksatrianya itu, namun bayangan salah satu prajurit terkuatnya meregang nyawa di hadapan matanya sendiri membuat jiwa sang panglima terlecut amarah. Ia melupakan segala ilmu bela diri yang ia miliki. Pedang mengayun dengan cepat di tangannya. Tebasan leher dan tusukan ia lakukan berulang -- ulang.

Pergerakan buas yang dilakukan oleh sang panglima membuat musuhnya memberikan perhatian lebih. Beberapa prajurit Sriwijaya meninggalkan musuh -- musuhnya untuk mengepung. Seorang prajurit dari sudut buta berhasil menebas baju kulit yang dikenakan Joko Wangkir. Sang panglima mengaduh kesakitan sebelum kembali mengambil posisi kuda -- kuda. Beberapa tebasan dan tusukan hadir dari pedangnya sebelum prajurit Sriwijaya lainnya berhasil melukai lengan kanannya.

Semakin sakit. Tuhan, kuatkanlah aku.

Gerakannya semakin bertambah lambat. Joko Wangkir menahan sakit di lengannya sekuat tenaga. Di kejauhan ia melihat Unggun Krama juga dikepung oleh para prajurit Sriwijaya. Joko Wangkir berusaha untuk membebaskan diri, namun tidak berhasil. Jika tebasan pedang berhasil ditahannya, serangan pukulan berhasil menembus pertahanan dan mendarat di kepala sang panglima. Darah segar mengucur dari kepala Joko Wangkir. Sebuah tebasan dari prajurit Sriwijaya lain hadir di kakinya. Kini kakinya terasa sangat sakit. Joko Wangkir tidak mampu berdiri, ia berlutut di hadapan musuh -- musuhnya, yang kini mengelilingi sang panglima.

Inikah akhirnya? Haruskah aku meregang nyawa disini? Wahai Batara Yama, terimalah nyawaku ini!

Joko Wangkir bersiap untuk menerima takdirnya ketika sebuah sangkakala berbunyi dengan sangat nyaring. Ia menyangka bahwa sudah berada di nirwana. Bunyi sangkakala itu adalah tanda kedatangannya di nirwana.

Sebuah gerombolan prajurit dengan memakai rompi kain berwarna hitam pekat menerjang menuju kerumunan dari perbukitan di arah barat. Ikat kepala bercorak cokelat hadir kepala mereka masing -- masing. Sebagian besar mengacungkan golok, sebagian lainnya mengacungkan sebuah senjata berbentuk seperti belati, namun berliku.. Keris.

Para prajurit menyeruak masuk menuju medan perang. Sasaran dari senjata mereka adalah pasukan Sriwijaya. Melihatnya, beberapa prajurit terlihat kebingungan dan panik, beberapa mulai terpecah konsentrasinya karena menghadapi musuh dari kedua sisi. Selain itu pertarungan yang sudah berjalan dalam waktu lama membuat para prajurit kelelahan. Hanya sedikit yang terlihat fokus dan mengambil posisi bertarung.

Joko Wangkir hampir tidak memercayai pemandangan yang tersaji di hadapannya. Musuh di sekelilingnya tercerai berai menghadapi pasukan berikat kepala. Ia berlutut sendirian, sembari memegang kepalanya yang berlumuran darah. Aku tidak tahu apakah ini darahku atau darah musuh. Yang jelas seluruh tubuhku sakit.

Pertarungan terus berlangsung hingga matahari berada di langit sebelah barat. Cakrawala sudah memerah ketika pedang menembus badan prajurit Sriwijaya terakhir di dataran tinggi Dieng. Joko Wangkir menyandarkan tubuhnya di bawah sebuah pohon menjulang tinggi. Di samping -- sampingnya para prajurit Medang berbaring kesakitan, beberapa lainnya membopong temannya menuju perkampungan untuk mendapatkan perawatan. Dua orang yang dikenalnya menghampiri sang panglima, dibelakangnya seorang wanita dan seorang pria berkumis yang tidak dikenalnya mengikuti. Wanita itu berumur paruh baya dengan mengenakan baju kulit berbulu, bertubuh besar, dengan hidung pesek dan muka oval. Sang pria memakai ikat kepala, di pinggangnya keris tersemat, kain seperti sarung melilit secara melintang di pundaknya.

"Panglima, apakah kau baik -- baik saja? Biarkan aku memeriksamu sebentar."

Iyang Taslim berlutut dan memeriksa luka yang diderita oleh Joko Wangkir.

"Di mana Limawijaya? Berapa banyak prajurit kita yang selamat? Semua tentara Sriwijaya mati? Adakah yang ditawan?"

Unggun Krama menenangkan sang panglima, "Cukuplah, tuan panglima. Singkat kata, kita memenangkan pertarungan di tanah Dieng ini. Limawijaya sudah tenang, panglima, raganya akan bersama kita kembali di lain waktu."

Oh, Limawijaya. Dan juga Anggabaya.

"Kau perlu mendapatkan perawatan, panglima. Ayo, mari kita menuju perumahan." Unggun Krama dan Iyang Taslim merangkul Joko Wangkir.

Joko Wangkir memerhatikan orang yang sedang berbincang di hadapannya. Keduanya kini menghadap Joko Wangkir dan tersenyum.

"Bagaimana, panglima? Nampaknya hari ini bukanlah harimu menuju alam baka."

Sebuah salaman hadir dari pria berkumis. Joko Wangkir menyambutnya dengan tangan yang berlumuran darah.

"Kemana saja kau, Iswana? Kupikir kau melarikan diri."

"Aku tidak pernah melarikan diri, panglima. Kau lihat, aku memanggil bantuan dari tanah seberang. Kau beruntung, Wangkir, pedang belum sempat menembus lehermu."

"Dan pria ini adalah...?"

"Salam kenal, panglima. Aku adalah Redian Lintarbumi, komandan perang Kerajaan Galuh di bawah Wikramadharmawan, panglima Kerajaan Galuh. Aku ditugaskan langsung oleh Manarah."

Joko Wangkir menunduk dengan sisa kekuatannya.

"Atas nama Samaratungga, raja Kerajaan Medang, aku ucapkan terima kasih atas bantuanmu."

"Terima kasih, panglima. Akan aku ucapkan salammu kepada Wikramadharmawan dan Raja Manarah. Walaupun itu tidak perlu, karena melindungi Iswana Isyana adalah kewajiban kami semua."

Joko Wangkir menatap Iswana, "Kau meminta bantuan kepada Manarah? Jasabhana saja tidak berhasil meluluhkannya. Lalu dimana rakyatmu sekarang?"

Iswana menjawab, "Mereka aman di tanah barat, panglima. Aku tidak akan sebutkan tempatnya. Begitu perang ini selesai, kami semua akan kembali."

Bagaimana mungkin Iswana bisa meminta kepada Manarah dan dikabulkan? Pria ini bilang melindungi Iswana? Apa maksudnya? Sudahlah, itu urusan lain. Yang penting pertempuran ini dimenangkan. Omong -- omong kemenangan...

Ingatan Joko Wangkir menyeruak secara tiba -- tiba. Belum selesai! Balaputradewa!

Joko Wangkir menatap Redian Lintarbumi. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Mengapa Balaputradewa berani menembus medan perang dengan sedikit prajurit?

"Redian, berapa prajurit yang kau bawa ke tanah Dieng ini?"

Lintarbumi menjawab, "Sekitar lima ribu orang, panglima."

Joko Wangkir mencoba melakukan perhitungan kasar di kepalanya. Dibagi dua pun dengan pasukan utara Merapi, seharusnya pasukan Sriwijaya ini masih unggul dari jumlah prajurit.

Pelan -- pelan Joko Wangkir menyadari sesuatu. Darahnya berdesir kencang.

Pasukanku bisa menandingi mereka karena memang jumlah kami seimbang. Bantuan dari tanah Galuh membuat jumlah pasukan kami menang dari sisi jumlah. Pasukan Sriwijaya bukan dibagi dua, melainkan tiga. Tiga!

Ia berusaha untuk berdiri di atas kakinya dan berlari terpincang -- pincang menuju kuda tanpa pengendara di dekatnya. Iyang Taslim dan Unggun Krama bertanya -- tanya atas tindakan sang panglima, begitu pula dengan Iswana Isyana dan Redian Lintarbumi.

"Panglima, kau perlu istirahat. Pertarungan sudah usai, sudah kita menangkan." Iyang Taslim berujar.

"Belum, Taslim! Kita belum menang! Kalian berdua, kumpulkan tentara yang masih bisa bertempur, ikuti aku dari belakang menuju Prambanan. Kita harus berlari! Ini adalah sebuah perintah, cepat laksanakan!"

Menahan sakit yang mulai menguasai dirinya, Joko Wangkir menaiki kudanya dan melesat menuju arah Prambanan. Langit sudah mulai membiru gelap pada saat itu.

Masa bodoh dengan kegelapan. Akan kutahan sakit ini dan gelap malam yang mengelilingi, selama masih bisa menyelamatkan kedaulatan kerajaan.

Selama perjalanan Joko Wangkir terus menyalahkan dirinya. Ia tidak menyadari bahwa semboyan Sriwijaya adalah merupakan petunjuk terbesar bagaimana Sriwijaya bertempur di atas daratan.

Sial, mengapa aku menyadari selambat ini. Aku tidak melihat Vijayasastra di medan perang. Padahal aku selalu mengingatkan diri pada semboyan kerajaan itu. Sial, semoga masih ada waktu.

Sebab, kemanakah musuh dapat melarikan diri, jika pulau sudah terkepung?

Cerita lebih lengkap dapat dibaca di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun