Mohon tunggu...
Theodora Prassa
Theodora Prassa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Marital Rape: Bukti bahwa Pemerkosaan Bisa Terjadi dalam Hubungan Pernikahan

6 Juli 2022   09:55 Diperbarui: 6 Juli 2022   13:48 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: istock.com

Kekerasan seksual sendiri dapat terjadi dalam segala jenis hubungan, termasuk pernikahan. Kekerasan seksual atau pemerkosaan dalam hubungan pernikahan ini dikenal dengan istilah marital rape. Disebut marital rape karena pelaku memaksa dan memanipulasi pasangan agar melakukan hubungan seksual. Adapun pengertian resmi marital rape, dilansir dari European Institute for Gender Equality (EIGE), adalah penetrasi vagina, anal, atau oral yang bersifat non-konsensual pada tubuh orang lain, dengan bagian tubuh atau objek apa pun, serta tindakan non-konsensual lainnya yang bersifat seksual oleh pasangan dalam ikatan perkawinan.

Masih banyak orang yang menganggap remeh pemerkosaan dalam rumah tangga. Sebagian besar kalangan bahkan berpikir kalau pemerkosaan dalam rumah tangga itu tidak ada. Faktor penyebab utama munculnya pemikiran tersebut adalah kultur dan hukum perkawinan di Indonesia yang dipengaruhi oleh bias gender dan budaya patriarki. Dalam perkawinan di Indonesia, biasanya suami berperan sebagai tulang punggung keluarga dan istri harus siap melayani suami dalam hal apapun, termasuk dalam hubungan seksual. 

Tubuh seorang istri dinilai sebagai “milik” suami ketika menikah, yang mana hal tersebut memunculkan relasi kuasa yang timpang dalam sebuah hubungan. Nilai ini kemudian menghapus otonomi tubuh dan seksualitas seorang perempuan atas dirinya sendiri. 

Selain itu, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerkosaan dalam pernikahan dilandasi oleh pandangan bahwa setelah menikah, hubungan seksual itu sah-sah saja untuk dilakukan meskipun ada pihak yang tidak menghendaki hal itu. Penyebab lain yang mungkin menjadi akar permasalahan kompleks ini adalah minimnya pengetahuan masyarakat mengenai konsep pemerkosaan dan konsep toxic masculinity yang kebanyakan dianut oleh laki-laki di Indonesia. Suami dinilai semakin “jago” jika berhasil menundukkan istrinya.

Pemerkosaan dalam pernikahan sendiri ada banyak bentuknya. Berikut adalah beberapa bentuk marital rape yang patut untuk diketahui dan dihindari.

  1. Hubungan seks yang dipaksakan. Banyak orang berpikir bahwa pernikahan menjadi jalan legal untuk selalu berhubungan intim padahal hal tersebut tidak benar. Hubungan intim harus mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak, yakni suami dan istri. Apabila suami memaksa untuk berhubungan seks hingga menyakiti bahkan melukai istri yang seharusnya mereka lindungi, hubungan seks tersebut termasuk ke dalam marital rape
  2. Hubungan seks namun pasangan merasa terancam. Seks seharusnya memberikan euforia dan kesenangan untuk kedua belah pihak. Apabila hubungan disertai dengan ancaman, esensi seks yang bersifat konsensual akan hilang dan berganti menjadi pemerkosaan. Sebagai contoh, seorang suami mengancam tidak menafkahi istri jika tidak mau melakukan hubungan seksual. Pemerkosaan jenis ini termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga dan berdampak pada psikologis korban. 
  3. Hubungan seks dengan manipulasi. Manipulasi dapat berarti tuduhan bahwa pasangan tidak setia, tidak baik, dan tidak memahami kebutuhan pasangan pemerkosa. Manipulasi tersebut juga termasuk mengancam secara verbal untuk meninggalkan pasangan jika hasrat seksualnya tak dipenuhi. Manipulasi ini membuat  korban merasa bersalah setelah menolak yang membuat mereka kemudian terpaksa mengiyakan hubungan seks tersebut Hubungan seks yang dilakukan tergolong pemerkosaan karena sebenarnya ada pihak yang tidak setuju. 
  4. Hubungan seks saat pasangan tidak sadar. Consent atau persetujuan berarti kedua pihak memiliki kesadaran penuh untuk menyetujui segala aktivitas yang dilakukan, termasuk seks. Apabila seseorang berhubungan seks dengan pasangan yang tak sadarkan diri (dicekoki obat tidur dan perangsang, alkohol, racun, pingsan, atau tidur), jelas bahwa hubungan seks tersebut merupakan bentuk marital rape. 
  5. Hubungan seks saat pasangan korban tak ada pilihan. Mengatakan “ya” karena terpaksa dan seolah ia tak ada pilihan, berbeda dengan memberikan persetujuan untuk sama-sama mau berhubungan seks. Misalnya, korban tak ada pilihan karena mempertahankan pernikahan setelah diancam untuk bercerai, sehingga mengiyakan permintaan pasangannya. Hal itu termasuk pemerkosaan dalam karena korban mengiyakan secara terpaksa, tidak dengan sepenuh hati.

Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan, sebanyak 192 kasus laporan terkait marital rape tercatat pada tahun 2019. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2020 menjadi 100 kasus. Ada satu kasus marital rape yang sempat ramai diperbincangkan pada tahun 2015 silam. Seorang perempuan asal Denpasar, Bali meninggal setelah dipaksa berhubungan seksual oleh suaminya. Korban sempat menolak karena merasa tidak enak badan, napasnya sesak, dan sakit jantungnya sedang kambuh, tapi suaminya tidak peduli dan terus saja melancarkan aksinya. Akibat perbuatannya itu, sang suami dijatuhi hukuman penjara selama 5 bulan.

Tidak jauh berbeda dari korban pada kasus di atas, korban-korban marital rape lainnya kebanyakan menderita dampak fisik yang serupa. Menurut riset Marital Rape: New Research and Directions yang dipublikasikan National Resource Center on Domestic Violence di Amerika Serikat, dampak fisik yang dimaksud antara lain cedera pada daerah vagina dan anus, nyeri, memar, otot robek, laserasi (luka dalam atau sobekan pada kulit), kelelahan, dan muntah. Korban pemerkosaan yang juga menerima pukulan memiliki luka sayatan pada tubuh akibat penggunaan senjata tajam, patah tulang, mata lebam, dan hidung patah. Korban juga bisa mengalami infeksi kandung kemih, keguguran kandungan, kehamilan yang tidak direncanakan, dan tertular penyakit seksual.  Marital rape juga meninggalkan luka batin yang parah pada korban. Efek psikologis jangka pendek yang dirasakan adalah shock, ketakutan yang intens, kecemasan, gangguan stres pasca trauma (PTSD), depresi, hingga pikiran untuk bunuh diri. Tidak hanya itu, korban juga merasakan efek jangka panjang, seperti gangguan tidur, gangguan makan, citra diri negatif, disfungsi seksual, masalah keintiman, dan depresi.

Permasalahan marital rape ini sudah diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Aturan itu tertulis dalam pasal 479 ayat 2 poin a RUU KUHP. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pelaku pemerkosaan dalam rumah tangga dapat dihukum pidana penjara paling lama 12 tahun. “Termasuk Tindak Pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan (a) persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah,” bunyi pasal 479 ayat 2 poin a RUU KUHP tersebut. Aturan itu sebenarnya sudah ada dalam Pasal 53 UU nomor 23 tahun 2004 yang mengatur tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Adanya peraturan yang menetapkan hukuman untuk permasalahan ini dinilai merupakan suatu hal yang penting, terutama karena pemerkosaan dalam pernikahan sering dianggap sebagai sesuatu yang lazim, yang tingkatannya jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pemerkosaan oleh orang asing. Padahal yang namanya pemerkosaan tetap pemerkosaan. Perbuatan itu, apapun bentuknya dan kepada siapapun itu dilakukan, tetap merupakan suatu kejahatan yang pantas untuk diberikan hukuman.

Sebagai penutup, penulis ingin memberikan saran untuk mencegah marital rape agar kasus ini tidak semakin marak terjadi di Indonesia. Baik suami maupun istri perlu mendapatkan pendidikan seksual sejak dini agar keduanya tahu batasan, kapan saatnya berhubungan seks, kapan saatnya tidak. Ketika salah satu pihak menolak ajakan untuk berhubungan seks, mungkin karena menstruasi, kelelahan, atau memang sedang tidak ingin untuk melakukan kegiatan tersebut, pihak lain harus menghargai keputusan tersebut dan tidak memaksakan kehendak lebih jauh. Kita punya hak dan kuasa atas tubuh kita sendiri, kita berhak menolak jika memang kita tidak ingin. Pernikahan tidak bisa dijadikan alasan atau legitimasi untuk memaksakan hubungan seks. Hubungan seks harus didasari oleh keinginan bersama (sama-sama mau, sama-sama ingin, sama-sama suka) dan bersifat mutualisme, di mana kedua pihak saling menyetujui tanpa paksaan atau tekanan dari salah satu pihak. Jika terdapat kekerasan, paksaan, atau ancaman dalam berhubungan seksual, maka itu dapat dikategorikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga dan dapat dilaporkan ke pihak berwajib dengan landasan UU Nomor 23 Tahun 2004 mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Referensi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun