Beberapa hari terakhir, linimasa media sosial saya dipenuhi oleh cerita tentang ibu --dari kutipan haru hingga kisah perjuangan. Rupanya, setiap  11 Mei, dunia memang memperingati Hari Ibu Sedunia.
Tak sedikit yang membagikan kisah inspiratif tentang sosok luar biasa ini, figur yang identik dengan kehangatan, kasih tanpa syarat, keteguhan hati, dan pengorbanan yang sering  tak terlihat.
Ada banyak cara dilakukan untuk menunjukkan cinta kepada ibu: bunga yang cantik, ucapan penuh makna, hingga kejutan manis yang membuat senyum mengembang.
Namun di balik bunga dan ucapan itu, ada jutaan ibu tunggal yang bahkan mungkin tak sempat merayakan apa pun. Mereka masih berjibaku bekerja, mengantar anak sekolah, mengejar deadline, sambil berusaha tersenyum, meski hidup tak selalu ramah pada mereka.
Tak seperti ibu yang memiliki pasangan atau kehadiran ayah bagi anak-anaknya, membesarkan anak sendirian bagi seorang ibu tunggal bukan hanya soal lelah fisik, tapi juga kelelahan batin yang tak mudah dijelaskan.
Pertanyaan-pertanyaan sederhana dari anak tentang sosok ayah --ke mana perginya, mengapa ia tak ada -- sering kali jadi beban yang harus dijawab di antara rutinitas yang tiada henti.
Ketika ibu harus jadi segalanya
Di banyak keluarga, terutama keluarga ibu tunggal, ketidakhadiran ayah yang di rumah, menyisakan ruang kosong. Bukan hanya di meja makan, tapi juga di hati anak.Â
Istilah fatherless sendiri merujuk pada anak-anak yang tumbuh tanpa keterlibatan ayah, entah karena meninggal, bercerai, atau memilih tidak hadir. Kekosongan ini tak hanya dirasakan secara fisik, tapi juga secara emosional.
Bagi anak-anak, rasa kehilangan ini bisa muncul dalam berbagai ekspresi. Pertanyaan diam-diam, amarah yang sulit dipahami, atau rasa rindu yang sulit dijelaskan.Â