Mohon tunggu...
Anjas Permata
Anjas Permata Mohon Tunggu... Konsultan - Master Hypnotherapist

Trainer Hypnosis, Master Hypnotherapist, Professional Executive, CEO Rumah Hipnoterapi, CEO Mind Power Master Institute, Ketua DPD Perkumpulan Komunitas Hipnotis Indonesia (PKHI)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Strategi Penerapan Kebijakan Ekonomi Inklusif bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia

31 Juli 2022   23:57 Diperbarui: 1 Agustus 2022   00:15 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokumentasi pribadi

Saya adalah seorang ayah yang mempunyai putri kecil berusia 11 tahun. Sejak pertama kali melihat kehadirannya di dalam ruang NICU (Neonatal Intensive Care Unit) tak pernah ada keraguan untuk menerimanya sebagai titipan Sang Pencipta.

Waktu itu saya tidak bisa mendampingi istri melahirkan karena harus menjalani pelatihan di Jakarta. Vonis dokter yang menyatakan bahwa kondisi janin mulai melemah, mengharuskan ia terpaksa dilahirkan di usia kandungan 6 bulan.

Tak dapat dipungkiri, hal itu menjadi salah satu penyebab gangguan tumbuh kembang anak kami. Hingga kemudian dokter menyatakan bahwa anak kami mengalami cerebral palsy yakni suatu kondisi gangguan pada otot, gerak dan koordinasi anggota tubuh.

Sampai usia 11 tahun, putri kecil saya belum mampu berdiri dan berjalan secara mandiri. Dia masih harus menjalani fisioterapi setiap seminggu 2 hingga 3 kali.

Tentu sebagai orang tua, saya selalu memikirkan nasib serta masa depannya, mulai dari pendidikan, kisah romansa hingga bagaimana ia bekerja kelak.


Sekarang anak saya menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Negeri dengan fasilitas inklusi "ala kadarnya". Banyak alasan yang menjadi dasar mengapa saya menyebutnya demikian.

Ketika saya menerawang lebih jauh ke depan, terbesit di benak tentang bagaimana kehidupan karir dan pekerjaannya kelak di kemudian hari, mengingat beberapa keterbatasan yang tak mampu kami abaikan.

Berangkat dari kesadaran itulah, saya menggali tentang apa saja yang sudah dipersiapkan pemerintah dalam kaitannya untuk memberikan kesetaraan hak kepada penyandang disabilitas seperti anak saya.

Mungkin momentum kebangkitan ekonomi negara kita yang nantinya akan ditandai dengan perhelatan Presidensi G20 dapat memberikan pondasi utuh dalam penerapan kebijakan ekonomi inklusif bagi penyandang disabilitas.

Saya akan coba melihat dari sudut pandang mikro beserta implementasinya. Besar harapan agar hal ini dapat menjadi referensi bagi banyak stake holder seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia serta Instansi lainnya semisal Kementerian Tenaga Kerja dan/atau civitas akademika.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Indonesia adalah negara yang besar dengan total penduduk lebih dari 273 juta jiwa. Beragam suku bangsa, adat, budaya, agama serta latar belakang kehidupan ada di negara kita.

Tidak terkecuali mereka yang kita sebut dengan penyandang disabilitas. Data menyebutkan tak kurang dari 16,5 juta jiwa penduduk Indonesia berstatus sebagai penyandang disabilitas. Terdiri dari 7,6 juta laki-laki dan 8,9 juta perempuan. 

Tetapi tahukah Anda bahwa hanya 5.825 penyandang disabilitas yang saat ini bekerja di BUMN dan perusahan swasta (Data Kementerian Tenaga Kerja Januari 2022).

Angka ini sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan kondisi di negara lain sebut saja Amerika Serikat yang sampai saat ini telah memberikan kesempatan bekerja kepada 11 juta penyandang disabilitas di berbagai perusahaan negeri dan swasta.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah tidak ada regulasi yang mengatur hak-hak penyandang disabilitas? Ataukah terjadi ketidakpedulian terhadap mereka?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita tengok sebentar apa yang dimaksud dengan disabilitas. Disabilitas ialah ketidakmampuan seseorang dalam melakukan suatu aktivitas tertentu. Ragam disabilitas antara lain:

  • Disabilitas Fisik yakni gangguan pada kondisi fisik seseorang misalnya tidak bisa berjalan.
  • Disabilitas Sensorik yakni gangguan panca indera seseorang misalnya pendengaran dan pengelihatan.
  • Disabilitas Intelektual yakni gangguan pikiran yang menyebabkan seseorang hilang ingatan; dan
  • Disabilitas Mental yakni gangguan pikiran berat seperti depresi, skizofrenia, fobia dan gangguan kecemasan.

Pemahaman kategori disabilitas tersebut diatas penting untuk dipahami agar kita dapat menentukan penduduk disabilitas manakah yang dimaksud untuk diwadahi dalam sistem ekonomi inklusif. Menurut hemat saya yang perlu diperhatikan ialah mereka penyandang disabilitas Fisik dan Sensorik.

Di dalam pasal 53 Undang Undang no. 8 Tahun 2016 tentang Peyandang Disabilitas dengan tegas disebutkan bahwa:

  • Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
  • Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.

Namun apakah aturan tersebut diatas sudah terlaksana dengan baik? Saya rasa dengan data hanya 5 ribuan penyandang disabilitas yang bekerja di BUMN dan perusahaan swasta sudah cukup merepresentasikan betapa besar perhatian pemerintah kita kepada mereka.

Sejalan dengan momentum presidensi G20 dimana salah satu topik pentingnya ialah penerapan ekonomi inklusif, maka sudah sepatutnya kita semua melakukan refleksi guna menumbuhkan lagi semangat pengembalian hak-hak penyandang disabilitas.

Adapun yang dimaksud dengan ekonomi inklusif adalah sistem ekonomi yang menciptakan akses serta kesempatan yang luas kepada masyarakat secara berkeadilan, meningkatkan kesejahteraan, serta mengurangi kesenjangan antar kelompok atau wilayah.

Tiga pilar ekonomi inklusif seharusnya mencakup pertama, Pertumbuhan dan Perkembangan Perekonomian yang meliputi pertumbuhan ekonimi, kesempatan kerja dan infrastuktur ekonomi. Kedua, Pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan serta ketiga, perluasan akses dan kesempatan.

Nah bagaimana strategi yang tepat untuk memperluas akses dan kesempatan bagi penyandang disabilitas agar dapat menikmati program ekonomi inklusif, simak baik-baik ya kawan.

Lingkungan Keluarga

Keluarga menjadi hal pertama yang perlu diperhatikan. Saya mendapati bahwa banyak sekali keluarga yang masih belum mau menerima seratus persen kehadiran anggota keluarga penyandang disabilitas.

Bahkan beberapa kasus menunjukkan bahwa seorang penyandang disablitas justru disembunyikan di dalam rumah atau kamar agar tidak diketahui oleh publik. Mereka diisolasi dan tidak diberikan kebebasan selayaknya manusia pada umumnya.

Jika dibiarkan terus-menerus, maka akan banyak korban penyandang disabilitas yang terpenjara hak-haknya. Ingat bahwa mereka juga manusia yang mempunyai hak-hak dasar yang harus kita berikan.

Untuk mencegah dan mengurangi kasus-kasus seperti ini, maka pemerintah pusat maupun daerah dapat bekerjasama dengan berbagai pihak guna melakukan edukasi yang komprehensif kepada orang tua dan/atau keluarga penyandang disabilitas.

Selain itu, pencatatan atau pengkinian data juga menjadi hal penting, agar dapat diketahui secara pasti dan akurat berapa banyak penyandang disabiltas di suatu daerah. Dengan begitu, dapat mendorong para pihak agar bahu-membahu menciptakan lingkungan yang menerima mereka apa adanya.

Lingkungan Pendidikan

Sekolah inklusi menjadi salah satu alternatif pilihan yang masuk akal bagi para penyandang disabilitas. Tetapi sayangnya jumlah sekolah inklusi di tiap daerah masih cukup minim dengan kuota sangat terbatas.

Belum lagi persoalan tenaga pendidik khusus penyandang disabilitas yang harusnya memiliki kapasitas dan kompetensi yang memadai. Hal ini sangat krusial karena pendidikan adalah modal dasar bagi semua orang ketika akan memasuki dunia kerja.

Oleh sebab itu perlu adanya evaluasi di berbagai instansi mulai dari pemerintah daerah, dinas pendidikan dan lain-lain untuk memperbaiki standar dan mutu sekolah inklusi. 

Memperbanyak jumlah sekolah inklusi, melonggarkan kuota siswa sekolah inklusi hingga mewujudkan perguruan tinggi inklusi merupakan sederet contoh perbaikan-perbaikan yang kami harapkan.

Lingkungan Kerja

Pengawasan ketat terhadap pelaksanaan UU no. 8 tahun 2016 adalah sebuah hal yang niscaya mesti dilakukan. Seharusnya setiap perusahaan memberikan kesempatan kepada para penyandang disabilitas untuk bekerja dan berkarya.

Kebetulan saya bekerja di salah satu perusahaan swasta nasional dan saya perhatikan dari seluruh cabang perusahaan di propinsi Jawa Timur, tidak ada satupun pekerja dengan status penyandang disabilitas.

Saat membuka lowongan pekerjaan juga sama sekali tidak pernah ada informasi bagi calon pekerja penyandang disabilitas. Hal ini tentu saja sangat disayangkan karena penyandang disabilitas juga punya hak untuk bekerja dan berkarya.

Pemerintah wajib turun tangan guna mengendalikan implentasi berbagai aturan dan kebijakan bagi para penyandang disabilitas.

***

Semoga dengan ulasan sederhana ini, bisa memberikan secercah harapan masa depan bagi putri kecil saya sehingga kelak ketika dewasa ia bisa menikmati proses kehidupan seperti semua orang pada umumnya.

Ingat bahwa penyandang disabilitas bukan orang bodoh yang tidak berguna, mereka hanya berbeda. Kita cukup memberikan mereka kesempatan dan menemukan bakat serta potensi terbaik yang dimiliki. 

Salam Sehat, Sukses dan Bahagia

-Anjas Permata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun