Mohon tunggu...
Anjas Permata
Anjas Permata Mohon Tunggu... Konsultan - Master Hypnotherapist

Trainer Hypnosis, Master Hypnotherapist, Professional Executive, CEO Rumah Hipnoterapi, CEO Mind Power Master Institute, Ketua DPD Perkumpulan Komunitas Hipnotis Indonesia (PKHI)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengupas "Brainwashing" Pelaku Terorisme dan Radikalisme

30 Maret 2021   01:37 Diperbarui: 30 Maret 2021   09:59 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pemuda/Dok Reuters

Diduga pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar adalah sepasang suami istri yang baru menikah 6 bulan.

Apa yang terjadi kemarin di Makassar hanya salah satu dari sekian banyak rentetan aksi terorisme dan radikalisme yang telah menghiasi negeri ini. Mungkin sebagian dari Anda termasuk saya berpikir...

kok bisa ya mereka mau-maunya mengorbankan nyawa?

Apakah mereka tidak sadar bahwa apa yang dilakukan itu salah? 

Apakah mereka tidak paham bahwa yang dilakukan itu merugikan?

Hmm.. mungkin sederet pertanyaan menyudutkan dan memojokkan lainnya akan terus Anda lontarkan. Tapi jangan terlalu prematur menyimpulkan apalagi menjustifikasi bahwa mereka bersalah sebelum kita memahami bagaimana proses menuju kesana.

Saya akan coba menjelaskan bagaimana seseorang bisa terpapar paham terorisme dan radikalisme. Kemudian hal-hal apa saja yang bisa dilakukan untuk mencegah dan mengatasi karena mungkin saja kita adalah target selanjutnya.

Secara umum Terorisme dapat diartikan sebagai tindakan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menciptakan suasana teror atau rasa takut secara meluas.

Perbuatan terorisme dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau kerusakan serta kehancuran objek vital tertentu. Tujuan utama terorisme adalah mendapatkan kekuasaan atau power atas idealisme yang mereka yakini sebagai sebuah kebenaran.

Sedangkan Radikalisme ialah suatu pandangan, paham dan gerakan yang menolak secara menyeluruh terhadap tatanan, tertib sosial dan paham politik yang ada dengan cara perubahan atau perombakan melalui jalan kekerasan.

Radikalisme merupakan gejala umum di tengah masyarakat dengan motif beragam baik sosial, politik, budaya maupun agama. Radikalisme ditandai dengan tindakan kekerasan, ekstrim dan anarkis sebagai wujud penolakan atas tatanan sosial yang berlaku.

Kedua fenomena sosial diatas dapat terjadi karena dilatarbelakangi oleh beberapa alasan umum antara lain.

  1. Pola pikir yang fanatik.
  2. Ketidakpuasan terhadap rezim penguasa.
  3. Perbedaan pandangan dan ideologi.
  4. Latar belakang keluarga.
  5. Pola pendidikan yang menyimpang.
  6. Ketidakadilan yang dirasakan.
  7. Pernah mengalami kejadian traumatis.

Perkembangan terorisme dan radikalisme saat ini semakin mengkhawatirkan karena tidak lagi dilakukan oleh individu, melainkan sudah terstruktur dan terorganisasi dengan baik.

Lahirnya kelompok-kelompok terorisme dan radikalisme menjadi sebuah ancaman yang pasti dan serius bagi kita bersama. Oleh karena itu kita perlu memahami bagaimana mekanisme kelompok ini bekerja mulai dari perekrutan, pendanaan hingga pelaksanaan aksi-aksinya.

Dalam tulisan kali ini, saya akan mengupas lebih dalam mengenai proses perekrutan, indoktrinasi serta brainwashing atau cuci otak pelaku terorisme dan radikalisme.

ilustrasi tindakan kekerasan.Liputan6.com/M.Iqbal
ilustrasi tindakan kekerasan.Liputan6.com/M.Iqbal
Umumnya sebuah organisasi terbangun atas Organizational Chart (O-Chart), demikian hal nya kelompok-kelompok terorisme dan radikalisme juga tersusun atas struktur yang memiliki fungsi serta peranan masing-masing.

Semisal ada divisi perekrutan yang bertugas mencari pengikut sebanyak-banyaknya. Divisi sumber finansial yang bertugas mencari sponsorship dan keuangan. Divisi lapangan yang mengkoordinasikan semua aksi teror mulai dari persiapan, pemilihan sasaran hingga pelaksanaan.

Mereka semua akan bertanggungjawab kepada pada elite kelompok masing-masing. Para elite terdiri atas para pemimpin organisasi. 

Parahnya lagi ialah kelompok-kelompok ini tidak hanya memiliki kekuatan dalam negeri tetapi ada sebagian yang berafiliasi dengan jaringan internasional. Artinya dari segi pendanaan semakin kuat sehingga untuk memberantas mereka diperlukan upaya ekstra keras.

Sepak terjang divisi rekrutmen anggota teroris cukup menarik perhatian saya. Ada satu metode yang paling sering mereka lakukan yang disebut dengan "Brainwashing" atau cuci otak. Dari sudut pandang psikologi, brainwashing merupakan reformasi pikiran atau thought reform. 

Brainwashing adalah sebuah proses penanaman nilai dan rekayasa cara berpikir seseorang yang dilakukan melalui langkah-langkah terukur, sehingga membuat orang tersebut secara tidak sadar menuruti semua perintah dan perkataan orang dan/atau kelompok tertentu.

Abdul Rahman Ayub, mantan penasihat Jemaah Islamiyah (JI) yang mengaku pernah mendoktirn banyak orang di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Australia menjelaskan bahwa pola rekrutmen kelompok radikal atau teroris sebenarnya hampir sama. 

Setidaknya ada 3 (tiga) tahapan dalam pola rekrutmen anggota yang cukup efektif.

Tahap pertama dilakukan dengan membangkitkan nostalgia kejayaan Islam di era kekhalifahan. Pemerintahan Islam terakhir runtuh pada kekhalifahan Ottoman di Turki tahun 1929.

Pada tahap awal akan dilakukan propaganda mengenai Sejarah Perjuangan Umat Islam (SPUI). Bagaimana dulu Islam pernah berjaya dengan sistem Khilafah. Hal ini sontak akan membangkitkan kebanggaan dan kecintaan sebagai kaum muslim.

Tahap kedua adalah menunjukkan tontonan kekejaman Yahudi dan Amerika Serikat. Termasuk didalamnya adalah serangan Amerika Serikat di Irak dan Afghanistan serta penjara Guantanamo. 

Pada tahap ini, calon anggota akan diberikan pemaparan tentang kekejian dan ketidakadilan bangsa Eropa dan AS sehingga melahirkan daya juang dan jiwa perang untuk membela Islam.

Tahap ketiga ialah pendalilan, yaitu menyampaikan dalil-dalil dalam Al-Quran dan Al-Hadis untuk menimbulkan semangat berjihad.

Dalam tahap ini akan dijelaskan mengenai hukum ikut berjihad, perihal jemaah dan terakhir soal mati syahid.

ilustrasi militan Islam/https://www.indiatvnews.com/
ilustrasi militan Islam/https://www.indiatvnews.com/
Tentunya pola rekrutmen diatas harus ditunjang dengan kondisi calon anggota yang akan direkrut. Biasanya mereka-mereka yang megalami masalah di kehidupan pribadi sangat rentan menjadi korban brainwashing.

Problem keuangan atau ekonomi, misalnya sedang terlilit hutang, tidak bisa menafkahi keluarga atau habis di PHK dari tempat kerja. Problem hubungan percintaan misalnya ditinggal pasangan, diabaikan atau kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang pasangan.

Problem keluarga misalnya anak yang tumbuh dari keluarga broken home, anak yang sering mendapat perlakukan kekerasan dari orang tua atau bisa juga karena pola asuh yang salah.

Problem hubungan sosial misalnya seseorang yang sering dikucilkan, menjadi korban bullying atau juga seseorang yang minder dan merasa sangat tidak percaya diri. Serta banyak lagi problem lainnya yang bisa jadi faktor penunjang.

Kebanyakan dari mereka membutuhkan tempat untuk pelarian, pelampiasan dan perlindungan dari masalah yang dihadapi. Sudah banyak kisah pelaku atau yang hampir bergabung dengan kelompok teroris akhirnya tersadar kemudian menceritakan kembali pengalamannya.

Salah satunya seorang model asal Inggris Kimberley Miner menceritakan bagaimana doktrin ideologi terorisme bisa mengubah dirinya dari gadis model yang glamor sampai menjadi seorang jihadis.

Miner mengaku jika dia dipersiapkan dan diindoktrinasi secara daring oleh perekrut ISIS Naweed Hussain. Hussain sendiri akhirnya tewas dalam serangan udara yang menghancurkan ISIS di Suriah.

Dia mengatakan, Hussain ingin menjadikan dirinya sebagai 'Janda Putih' berikutnya dan mengikuti jejak Sally Jones, seorang ibu asal Inggris yang rela mengorbankan hidupnya sebagai jihadis ISIS.

Awalnya Miner mengaku kesepian setelah mengalami keguguran dan putus dengan tunangannya. Dia pun menyadari bahwa dirinya tidak menggunakan media sosial dengan benar, sampai dia menjadi lajang dan kesepian.

Hussain kemudian datang menawarkan uluran tangan sebagai teman di jejaring Facebook. Hussain digambarkan kerap menyanjung sehingga meningkatkan kepercayaan dirinya. Bahkan hussain bisa meyakinkan Miner untuk mengubah namanya menjadi Aisha Lauren al-Britaniya.

Selanjutnya Miner dalam waktu singkat sudah menjadi endorser ISIS. Ia menyebarkan aneka konten provokatif ISIS, sampai video aksi-aksi pemboman.

kimberly miner/www.newsapi.com.au
kimberly miner/www.newsapi.com.au
Bila dicermati, proses rekrutmen sampai indoktrinasi yang dilakukan oleh para teroris terhadap para korban memiliki pola yang berulang. 

Misalnya, korban atau sasaran adalah orang yang tengah mempunyai masalah. Lalu pelaku melakukan pendekatan, bersimpati, dan memberikan jalan keluar. Selanjutnya pelaku memberikan aneka janji kebahagiaan, dari kehidupan duniawi sampai kehidupan di surga. 

Berikutnya pelaku akan melakukan isolasi terhadap korbannya. Di situlah pelaku meningkatkan kepercayaan diri korban, serta mengubah sikap dan perilaku korban.

Apa yang dialami oleh Miner bisa saja terjadi kepada kita maupun keluarga dan orang-orang terdekat. Oleh karena itu penting sekali untuk saling melindungi agar rongrongan brainwashing terorisme dan radikalisme tidak merasuki dan bisa dicegah.

Apalagi dengan kecanggihan teknologi saat ini, brainwashing dapat dilakukan dimana saja dan kapanpun. Algoritma media sosial dan echo chamber effect seolah menjadi pendukung proses brainwashing semakin merajalela.

ilustrasi media sosial/https://miro.medium.com
ilustrasi media sosial/https://miro.medium.com
Fenomena ruang gema ini menggambarkan pengguna media sosial yang berada di lingkungan pertemanan yang berpikiran serupa. Pendapat, pemikiran, dan komentar yang dilontarkan di ruang itu segera mendapat dukungan dari rekannya dan terus berulang gaungnya. 

Akibatnya orang yang berada di ruang gema tersebut meyakini pesan yang ada ruang itu adalah sebuah fakta dan kebenaran mutlak.

Tentu saja ruang gema ini bisa menjadi sangat berbahaya. Sebab bisa jadi pesan yang dipercayai menjadi kebenaran mutlak tersebut, bila diuji secara objektif, sesungguhnya adalah sebuah kesalahan atau kebalikan dari fakta.

Oleh sebab itu kita perlu bijak dalam menggunakan media sosial. Jika sedang membaca atau menonton konten tertentu, Anda wajib cek terlebih dahulu sumbernya. Terutama untuk konten-konten yang provokatif.

Brainwashing dari perspektif Teknologi Pikiran.

https://img.okezone.com
https://img.okezone.com
Otak manusia seperti piranti lunak yang sangat luar biasa. Terdiri atas komponen-komponen yang super canggih. 

Setelah dilakukan penelitian, ternyata otak manusia menyimpan potensi yang sangat besar. Jika kita mampu menggunakannya secara optimal maka akan mengantarkan atau membawa kita pada kebahagiaan hidup.

Ada 3 cara menggunakan otak yakni pikiran sadar, pikiran bawah sadar dan pikiran tidak sadar.

Pikiran tidak sadar adalah mode sleep system. Tidak ada yang bisa kita pelajari dari otak yang sedang tidur atau beristirahat. 

Biasanya mode ini dialami oleh orang yang sedang tidur tanpa mimpi.

Pikiran sadar adalah mode analytical system. Pada fungsi ini Otak berperan sebagai prosesor yang melakukan analisa terhadap data atau respon yang didapat melalui panca indera manusia.

Jika data atau respon tersebut sesuai dengan believe system, maka dia akan diterima dengan baik. Sebaliknya apabila data atau respon itu tidak sesuai dengan believe system, maka ia akan diabaikan dan tidak diterima.

Pikiran bawah sadar adalah mode believe system.  Pada fungsi ini Otak berperan sebagai storage atau tempat menyimpan segala macam memori, keyakinan, kebiasaan dan ideologi secara permanen. 

Semua kejadian atau peristiwa yang dialami, segala ajaran dan doktrinasi sejak kecil, semua kebiasaan yang diajarkan serta keyakinan yang ditanam akan disimpan dengan sangat rapi oleh pikiran bawah sadar kita.

Jika semua peristiwa, kejadian, ajaran, doktrinasi, kebiasaan dan keyakinan itu bersifat positif dan konstruktif maka tidak menjadi soal. Tetapi sebaliknya jika banyak diantaranya itu bersifat negatif dan destruktif maka akan sangat membahayakan hidup kita kawan.

Believe system kita itu bisa dimodifikasi, bisa direkayasa dan bisa di reformasi. Tentunya yang kita semua inginkan adalah melakukan editing program yang jelek menjadi progam yang baik. Memodifikasi kebiasaan yang jelek menjadi kebiasaan yang baik.

Masalahnya ada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab telah melakukan reformasi pikiran untuk tujuan yang tidak baik. Seperti halnya brainwashing yang dilakukan oleh anggota atau kelompok-kelompok terorisme dan radikalisme seperti dijelaskan diatas.

Ketika doktrinasi kekerasan itu menjadi believe system seseorang, maka ia akan meyakini bahwa kekerasan adalah hal yang wajar untuk dilakukan.

Pikiran sadar atau analytical thinking menjadi tidak berlaku. Hal itu disebabkan karena believe system sudah menyimpan keyakinan yang dianggap benar. 

Jadi pelaku terorisme dan radikalisme bukan orang yang tidak sadar. Justru mereka sadar 100% melakukan semua tindakan dan perbuatan kekerasan atau teror.  

Pada saat jihad dan mati syahid melalui jalan kekerasan berubah menjadi program yang sangat diyakini kebenarannya, maka melakukan bom bunuh diri adalah hal yang membahagiakan bagi mereka karena bisa masuk surga.

"Oleh karena itu mari kita bersama melawan terorisme dan radikalisme dengan cara selalu memberi manfaat, meluruskan konsep jihad, menjunjung tinggi toleransi beragama, ringan membantu sesama, saling mengingatkan satu sama lain dan selalu menebarkan kasih sayang kepada semua orang" The Architect

-AP-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun