Mohon tunggu...
Faridhian Anshari
Faridhian Anshari Mohon Tunggu...

Seorang spectator sedari kecil yang "kebetulan" menjadikan sepakbola sebagai teman dan ramuan dalam eksperimen ajaibnya.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Liverpool Rasa Rendang "No Crispy"

11 April 2018   22:11 Diperbarui: 11 April 2018   22:31 1505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari kb4images.com

Ketika saya menulis tulisan ini, ada tiga hal yang terus menggangu benak saya dalam beberapa jam terakhir. Dimulai dari yang paling dekat jarak waktunya adalah pertandingan yang saya tonton semalam, dan masih membuat saya berdecak kagum ditambah terpana level "dewa".

Jika anda menonton pertandingan yang sama dengan saya, yakni perempat final Liga Champions antara dua klub Liga Inggris, anda akan ikut berdecak kagum melihat bagaimana hebatnya seorang Jurgen Klopp dalam mengatasai musuh terbesarnya yang juga kreasi ciptaanya: Gegen Pressing.

Layaknya Victor Frankenstein yang ketakutan setengah mati melihat makhluk ciptaanya mencoba mencabik-cabik dirinya. Malam tadi Klopp juga terlihat panik sekaligus terpana melihat bagaimana permainan Manchaster City menjelma menjadi kombinasi taktik milik Liverpool dan Borussia Dortmund lima tahun yang lalu ketika berhasil menembus final Liga Champions.

Gegen Pressing atau bahasa gampangnya adalah tekanan secepat mungkin untuk mengambil bola ketika kehilangan possesion ball yang diikuti permainan serba cepat, dapat ditiru 99% oleh pasukan Guardiola. Statistik yang tersaji dalam jeda pertandingan babak pertama, cukup menjelaskan bagaimana permainan pemuncak tabel Premier League berubah cepat menjadi mirip sang lawan.

Nah, kalau anda cukup jeli melihatnya, anda juga dapat melihat bahwa hampir seluruh gempuran ke gawang Loris Karius diotaki oleh David Silva dan Kevin de Bruyne, yang langsung menyebar layaknya virus ke segala sudut yang kemudian diolah oleh Leroy Sane dan Bernado Silva.

Ketika kamera berkali-kali menyorot Jurgen Klopp, ada raut muka kaget namun tidak panik, melihat hampir seluruh serangan Liverpool amblas di sepertiga lapangan dan ramuan fenomenal yang diciptakannya, malah menyerang balik klub yang dipimpinnya.

Namun semua itu hanya bertahan selama 45 menit pertama. Selepas tutun minum, Liverpool menggila dan sisanya adalah sejarah. Klopp berhasil menjadi Victor Frankestein yang berbeda, karena bisa mengalahkan makhluk ciptaanya sendiri menggunakan ramuan yang berbeda. The Reds lolos dengan agregat kemenangan  5-1 atas Manchaster city dan kembali lagi mencium semifinal Liga Champions setelah 10 tahun lamanya mereka hanya bisa menonton manis dari dalam ruang ganti Anfield. 

Dalam kisaran waktu yang bersamaan, serigaala-serigala Olimpico juga sukses menghancurkan penghuni Camp Nou, dan menyudahi petualangan Andres Iniesta di Liga Champions Eropa. Liga Champions selalu mengejutkan dan menyenangkan untuk diikuti. Ada sensasi berbeda yang memang akan tiidak pernah dimiliki oleh sang adik "European League".

Seperti yang telah saya ceritakan diatas, pikiran saya sebelum menuju laga Liverpool juga terpecah lewat kata-kata Sir Alex Ferguson dalam buku keduanya: Leading (kalau dalam versi Indonesia berjudul Memimpin). Setelah lama bersemayam di rak buku kantor, saya kembali membuka lembaran buku tersebut, dan halaman yang dengan tidak sengaja terbuka untuk pertama kalinya adalah halaman 95. Apa yang menarik dari halaman ini?  

gambar dari dailymail.com
gambar dari dailymail.com
Dalam bab ke 4 yang berjudul "Melibatkan yang Lain", Sir Alex Ferguson bercerita bahwa kerja tim sangat dibutuhkan dalam menjaga stabilitas sebuah skuad. Sepanjang sejarah menjadi pelatih, Fergie tidak pernah mengandalkan 10 pemain tua berumur 30-an tahun, maupun 15 pemain muda yang berumur dibawah 23 tahun.

Fergie hampir selalu melakukan "mix" diantara kedua generasi yang beda zaman tersebut. Namun, pesan yang terkandung dalam beberapa paragraf awal bab tersebut terletak pada sebuah kalimat yang tersaji dihalaman 95. Ada sebuah pernyataan unik yang dikeluarkan Fergie, yang sebenarnya cukup ironis jika dibandingkan dengan realita saat ini.

"Skuad kami pada 1990-an serba Britania dan berotot. Pada akhir 1990-an skuad kami jadi lebih halus, dan satu dasawarsa kemudian banyak pemian dari benua Eropa. Pemain-pemain seperti Ronaldo, Nani, dan Evra kiranya tampak aneh pada akhir 1980-an."

(Sir Alex Ferguson dalam "Leading") 

Sudah anda baca lagi kalimat Ferguson diatas? Kalau anda jeli, anda bisa dengan cepat dan langsung membandingkan dengan skuad yang dimiliki pasukan Jose mourinho musim ini. Dan jika anda cukup jeli lagi, and bisa langsung menghubungkan dengan cerita "kejayaan sesaat" Liverpool pada musim ini, terutama lewat laga yang dimainkan semalam.

Jika anda menelusuri buku pertama dan kedua Fergie yang ditulis selepas pensiun dan menyerahkan tahtanya kepada David Moyes, anda dapat melihat betapa bangganya Fergie menjadi seorang yang hidup dan bernafas ditanah Britania. 

Fergie yang berasal dari Skotlandia, yang masih merupakan tanah Britania yang juga dimiliki oleh Irlandia Utara, Wales, dan sang empunya Inggris, selalu memiliki kebanggaan tersendiri untuk orang yang lahir dan memiliki darah british. Perasaan yang hampir mendekati proud feeling yang dimiliki bangsa Jerman yang kental dengan ras Arya yang sudah mendarah daging dalam sejarah hidup mereka.

Rasa bangga akan menjadi bagian dari tanah Britania akan terus disuntikan layaknya virus ke dalam tubuh setiap klub yang dilatihnya. Pertanyaanya, bagaimana cara Fergie agar dapat menelurkan rasa "proud of British" tersebut keseluruh pemainnya?

Ya jelas dengan menempatakan banyak pemain berdarah britania ke skuad Aberdeen (klub sebelumnya) dan Manchaster United yang dilatihnya selama 26 tahun bergelimang gelar.

Pada medio 1990-an, Manchaster United seolah menjadi simbol tersendiri untuk sepakbola Liga Inggris yang kejayannya masih berada satu tingkat dibawah Liga Italia. Walaupun Hampir selalu memenangi titel juara Liga, dan rajin tampil di semifinal Liga Champions, namun cerita Manchaster United dan Liga Inggris terus berada dibawah bayang-bayang cerita Juventus, Inter Milan hingga Berlusconi yang gemar bermain bersama klub binaanya AC Milan.

Dari pemberitaan media saat itu, seolah-olah membuat Manchaster United menjadi satu-satunya wakil Inggris di kancah Eropa, walaupun sometimes Liverpool cukup rajin untuk menemani The Red Devils, dalam trek perebutan juara Liga hingga ke kancah Eropa. Nama seperti Chelsea maupun Manchaster City masih berjuang untuk menghiasi papan tengah, layaknya Arsenal dan Everton musim ini.

Jika kita bisa melihat persamaan mencolok akan nama-nama yang menghiasi skuad kedua tim saat itu, baik Manchaster united dan Liverpool berisi hampir seluruh pemain asal Britania. Manchaster United sendiri dengan bangga dan tertuang dalam "kitab" Fergie bahwa darah britania yang diinginkannya, berhasil diwujudkan lewat nama - nama seperti Ryan Giggs (Wales), Nicky Butt, Paul Scholes, David Beckham, Neville bersaudara, Dennis Irwin dan Roy Keane (Irlandia).

Di sisi lain, Liverpool juga mengandalkan pemain asal Britania terutama Inggris yang menghiasi hampir diseluruh posisi sentral dalam starting eleven setiap minggunya. Nama-nama seperti Robbie Fowler, Jamie Carragher, Steve Mc Mannaman, hingga Michael Owen juga menyuntikan jiwa britania yang terkenal Ksatria kedalam roh permainan The Anfield Gank.

Pergeseran waktu dan zaman membawa kita kepada musim ini, dimana darah britania yang diinginkan oleh Fergie, (lucunya) justru diterapkan dengan manis oleh Liverpool yang menjelma menjadi kekuatan menakutkan. Ibarat "jagung dalam sayur asam", perbedaan mencolok yang menghiasi skuad kedua tim adalah darah britania yang jarang nongol dalam strarting eleven Manchaster United.

Kalau boleh jujur, mari kita analisis singkat. Jawaban akan pemain Britania yang sering menghiasi Line up Manchester United antara lain Cris Smalling, Ashley young, Phil jones (ketika sedang tidak error), Jesse Lingard, Michael Carrick (sebelum beralih menjadi asisten), dan nama terakhir yang  menjadi permata musim ini: Scoot McTominay, yang ironisnya terus didengung-dengungkan oleh Fergie untuk "dicicipi" Mou kedalam skuadnya.

Bedakan dengan Liverpool, yang maish setia dengan beberpa pemain British yang wara-wiri dalam skuad mereka selama musim ini. Walaupun trio lini depan mereka bukan berdarah british, tapi pemain pengganti yang sering disuntikkan ketika pertandingan mengalami kebuntuan, memiliki darah Britania lewat nama Danny Ings dan Domenic Solenko.

Lini tengah Liverpool, justru sangat kental akan darah pemain Britania. Kapten Liverpool yang kebetulan juga kapten timnas Inggris, Jordan Henderson menjadi dinamo permainan the Reds. Didukung oleh James Milner, Adam Lallana, dan Ox Chamberlain yang seluruhnya pernah menghiasi skuad Three Lions.

Bagian paling menarik dari perwujudan darah britania justru terjadi di Lini belakang The Reds. Jika dalam beberapa musim sebelumnya, nuansa Spanyol selalu menghiasi lini belakang, musim ini nama Andrew Robertson (Skotlandia), Trent Alexander Arnold, hingga joe Gomez justru menjadi tulang punggung dan awal serangan Liverpool dimulai.

Hasil yang beragam, berhasil dituai Jurgen Klopp dari memainkan anak-anak "tanah air" sendiri. Salah satu bukti nyatanya adalah dalam pertandingan semifinal semalam. Sebuah "rasa lokal", yang terus dijaga keberadaannya dan sukses menuaikan hasil yang berbeda dengan Manchester United yang mengotak-ngatik "rasa lokal" tersebut.

Bicara rasa lokal, isu terakhir yang turut mengecoh perhatian saya dalam sepekan terakhir adalah soal rendang crispy yang diucapkan oleh seorang juru Masterchef UK, ketika mengeliminasi koki rumahan asal Malaysia yang kebetulan hari itu memasak rendang. Selebihnya saya yakin anda sudah paham bagaimana awal dan akhir cerita tersebut.

Walaupun dikemudian hari akhirnya sang juri yang juga koki terkenal Inggris tersebut angkat bicara dan mengatakan bahwa dia pernah merasakan rendang crispy dan mengatakan bahwa rendang itu seharusnya renyah, pernyataan tersebut tidak cukup kuat untuk melawan kekejaman dia terhadap cita rasa lokal sebuah makanan bernama rendang.

Kalau dipikir-pikir, mungkin memang beneran ada rendang renyah layknya ayam goreng cepat saji yang gerainya berjejer disetiap negera. Namun, banyak pihak (terutama netizen) yang beranggapan bahwa apa yang dikemukakan sang koki hanyalah pembelaan halusinasi semata. Terlebih sang koki merupakan keturunan Britania, yang memiliki proud feeling yang inggi untuk tidak mau disalahkan.

Cukup menarik, jika melihat bagaimana Liverpool memanfaatkan elemen penting dalam cerita teratas untuk berjaya dimusim ini. Rasa lokal dan aroma rendang yang memang tidak crispy, dilukiskan lewat nama-nama asal lokal yang menghiasi jejeran line-up. Serta keberanian untuk terus memanfaatkan pemain berdarah britania dalam skuadnya, seperti yang dianjurkan oleh Ferguson dalam cerita-cerita selanjutnya.

Sungguh ironis melihat bagaiamana Liverpool saat ini menjadi rendang "Melayu" yang kita kenal kelezatannya, dan justru Manchaster United malah berubah menjadi rendang "Crispy" yang mencoba merubah rasa originalitas lewat menyuntikan banyak pemain luar Britania, dan pelan-pelan menyingkirkan anak-anak lokal mereka.

Sesuatu yang saya yakin pasti sangat disayangkan oleh Fergie, dan kemungkinan besar pasti akan tertuang di dalam salah satu bab di buku ketiganya kelak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun