Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Halal Bukan Sekadar "No Pork"

7 November 2017   22:34 Diperbarui: 8 November 2017   07:17 1330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meski ikan sudah jelas kehalalannya namun harus dipastikan apakah masaknya tidak bercampur dengan bahan tidak halal? Dok. Pribadi

Halal jadi sesuatu yang diwanti-wanti oleh Aki, Emak, orang tua dan guru ngaji kepada saya sejak saya bisa mengingat pepatah mereka sampai detik ini.

"Hal baik apa pun yang kamu lakukan kalau perutmu diisi dengan makanan yang tidak halal itu percuma karena tidak ada berkahnya." Demikian ucap mereka. Menekankaan kepada saya begitu pentingnya memakai kehalalan sebagai acuan dalam berbuat, bekerja dan bersosialisasi selama menjalani kehidupan sehari-hari.

Didikan sesepuh itu yang membuat saya berani mengambil keputusan di luar kemampuan. Orang menganggap saya tidak akan sanggup. Tapi saya keukeuh maksa karena menurut saya apapun bisa saya lakukan selama itu halal. Niat membawa saya tampil beda diantara orang pada umumnya. Demi sesuatu yang halal saya jadi berani mengambil pilihan sekaligus resikonya.

Lingkungan tempat saya tinggal yang cukup religius juga ikut mempengaruhi. Mungkin itu sebabnya kenapa sebagian besar Tenaga Kerja Wanita asal Cianjur lebih memilih berangkat ke Timur Tengah yang mayoritas negara Islam, daripada kerja ke Asia Pasifik yang kebalikannya mayoritas penduduknya non muslim. 

Karena seperti Teh Euis tetangga saya bilang, kalau kerja ke Timur Tengah itu minimal makanan halal bisa dengan mudah akan didapat. Bonusnya malah bisa ibadah haji. Beda dengan kerja ke Asia Pasifik, dari penampungan saja sudah didoktrin kalau di rumah majikan tidak boleh sholat. Boro-boro ada jaminan makanan halal, pekerjaan sehari-hari justru memasak makanan non halal untuk majikan.

Tapi tidak demikian dengan saya. Kerja ke negara di Asia Pasifik justru seolah jadi sebuah tantangan. Karena saya pikir semua masih bisa dikomunikasikan. Toh majikan juga manusia. Beruntung, semua majikan memang non muslim tapi bisa menerima dan menghargai pekerjanya yang muslim dan tidak makan daging babi dan turunannya ini.

Halal itu penting dan segalanya. Dok. Pribadi
Halal itu penting dan segalanya. Dok. Pribadi
Berani Karena Halal itu Penting dan Segalanya

Majikan di Singapura penganut kristen taat. Mereka tahu banyak agama Islam karena di Singapura juga ada etnis Melayu yang beragama Islam. Ketika saya sampaikan tidak makan daging babi, mereka ngangguk-ngangguk. Bahkan Bo bo(nenek) punya banyak teman seperjuangan yang beragama Islam. Dari Bo bo saya banyak dibantu memberikan pemahaman kepada majikan terkait pekerjaan dan makanan non halal yang saya tidak makan.

Begitu juga saat bekerja di Hong Kong. Majikan meski penganut Budha namun mereka sudah berpikiran terbuka. Kebalikan dengan majikan di Singapura kalau di Hong Kong ini justru Ama (nenek) yang masih berpikiran kolot dan "memusuhi" saya karena menghindari daging babi. Menu yang menurutnya hidangan enak, bergizi dan mahal.

"Kamu kan kerja. Harus kuat. Makan lah daging ini. Makan sayur saja tidak cukup. Kerja kamu berat. Kalau tidak bisa kerja nanti kamu dipulangkan. Tahu tidak?" Demikian ucap Ama tidak ada bosannya jika tengah berkunjung ke rumah majikan menengok cucunya yang saya jaga.

Vegetarian, salah satu jurus menghindari makanan tidak halal saat bekerja di luar negeri. Dok. Pribadi
Vegetarian, salah satu jurus menghindari makanan tidak halal saat bekerja di luar negeri. Dok. Pribadi
Saya hanya tersenyum dan bilang terimakasih. Komunikasi dengan Ama hanya bisa dilakukan dengan bahasa Cantonese dan saya tidak menguasainya. Diam pilihan terbaik daripada salah ngomong bisa salah faham.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun