Di tengah masyarakat yang masih menilai keberhasilan laki-laki dari posisi dan penghasilannya, peran bapak rumah tangga sering kali dipandang sebelah mata.Â
Padahal di balik pilihan untuk tinggal di rumah, ada empati yang tumbuh dari bentuk kasih sayang yang lebih sunyi. Empati itu muncul dari hal-hal sederhana seperti menemani anak belajar, mengantar ke sekolah, atau sekadar mendengarkan cerita kecil sebelum tidur.Â
Di sanalah peran seorang ayah menemukan kedalaman baru untuk hadir sepenuhnya. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional.
Menjadi bapak rumah tangga bukan berarti kehilangan arah hidup. Justru di ruang domestik, banyak laki-laki belajar memahami makna tanggung jawab dengan cara yang lebih lembut. Mereka mengenal ritme keluarga, memahami emosi anak, dan memaknai ulang arti bekerja keras.Â
Di balik kesunyian dapur dan hiruk pikuk rumah tangga, ada proses pembentukan diri yang tidak kalah penting dibanding karier di luar rumah.
Empati yang Tumbuh dari Kehadiran
Empati tidak hanya tentang kemampuan merasa, tetapi juga tentang kesediaan untuk memahami tanpa menghakimi. Seorang bapak rumah tangga mempraktikkan ini setiap hari.Â
Ia tahu kapan harus menenangkan anak tanpa memarahinya, kapan harus membiarkan anak belajar dari kesalahan, dan kapan harus hadir tanpa kata-kata. Dari rutinitas harian yang tampak biasa, tumbuh kesabaran dan ketulusan yang luar biasa.
Di sisi lain, peran ini juga menantang ego. Tidak mudah bagi sebagian laki-laki untuk menerima bahwa keberhasilan tidak selalu harus diukur dengan uang atau status.Â
Namun di sanalah pelajaran berharga muncul: menjadi kuat bukan berarti selalu di depan, melainkan mampu bertahan di tempat yang mungkin tidak terlihat, namun berdampak besar. Seorang bapak rumah tangga membuktikan bahwa kehadiran dan kasih sayang bisa menjadi bentuk kepemimpinan yang tak kalah berwibawa.
Cinta yang Tidak Perlu Pembuktian
Empati seorang ayah yang memilih tinggal di rumah mengajarkan bahwa cinta tidak selalu butuh pengakuan.Â