"Ada masa ketika pikiranku terasa seperti labirin. Jalannya bercabang, bising, dan sulit dikendalikan. Setiap suara kecil di kepala seolah punya kuasa untuk menentukan suasana hatiku. Aku marah pada hal-hal sepele, sedih tanpa sebab, dan cemas atas hal-hal yang belum terjadi. Sampai suatu titik aku sadar, aku terlalu lama menjadi tamu di rumah pikiranku sendiri."
Pikiran bisa menjadi tempat paling damai sekaligus paling berbahaya. Ia mampu menciptakan harapan, tapi juga bisa menjerat dengan ketakutan.Â
Kita sering lupa bahwa tidak semua yang muncul di kepala adalah kebenaran; sebagian hanyalah gema dari luka lama, opini orang lain, atau bayangan dari masa yang sudah selesai.
Jika luka hati terus dibiarkan, justru luka itu bisa memenjarakan pikiran kita. Membuat kita berlarut hidup dalam kelelahan yang tidak terlihat.
Mengenali Suara yang Tidak Perlu Didengar
Tidak semua suara manusia pantas diberi ruang. Ada suara yang menuduh, ada yang mengulang kesalahan lama, ada pula yang menakut-nakuti dengan bayangan masa depan yang sebenarnya belum terbentuk.Â
Namun ada juga suara yang lembut, yang jarang terdengar karena kita terlalu sibuk meladeni yang keras. Suara itu adalah suara diri sejati alias suara hati yang tidak menakuti, tidak menekan, tapi menuntun.
Menjadi tuan atas pikiran bukan berarti menolak semua rasa negatif. Bukan berarti kita harus selalu positif atau kuat. Namun ini tentang menyadari pikiran hanyalah alat, bukan penguasa.Â
Saat pikiran mulai menjerat dengan kalimat "seharusnya kamu begini" atau "kamu gagal karena itu", kita bisa berhenti sejenak dan bertanya, apakah ini benar atau hanya cerita lama yang terulang lagi?
Kesadaran itu seperti kunci yang membuka pintu kebebasan batin. Ia mengingatkan bahwa kita tidak perlu percaya pada semua yang kita pikirkan.