Anak muda sering berada di persimpangan jalan ketika bicara soal pekerjaan.Â
Di satu sisi ada passion, sesuatu yang membuat hati bersemangat. Di sisi lain ada realita, kebutuhan hidup yang tidak bisa ditunda.Â
Pertarungan antara keduanya menjadi salah satu dilema terbesar generasi sekarang, terutama di tengah kondisi ekonomi yang serba menuntut.
Pilihan itu semakin rumit ketika fakta menunjukkan banyak anak muda memilih merantau demi pekerjaan.Â
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jutaan tenaga kerja muda tiap tahun meninggalkan kampung halaman untuk mencari peluang lebih besar di kota besar.Â
Jakarta, misalnya, masih menjadi tujuan utama meski kompetisinya ketat.Â
Pertanyaannya bukan lagi sekadar "kerja sesuai passion atau tidak," tetapi juga "di mana tempat paling layak untuk menghidupi diri."
Passion yang Diimpikan, Realita yang Menuntut
Sejak kecil, banyak orang diajarkan untuk mengejar passion.
Nasihat "kerjakan apa yang kamu cintai" terdengar manis, tapi praktiknya tidak semudah itu.Â
Hidup menghadirkan sederet kebutuhan biaya sewa, transportasi, makan sehari-hari, hingga tanggung jawab keluarga.Â
Semua itu membuat passion sering kali harus diparkir dulu, sedangkan realita mendesak di depan mata.
Banyak contoh nyata. Seseorang yang ingin berkecimpung di dunia seni harus menerima pekerjaan administratif. Seorang lulusan dengan minat besar di riset sains akhirnya bekerja di bidang pemasaran karena peluang lebih terbuka.Â
Dalam kondisi seperti ini, passion jarang bisa langsung menjadi sumber utama penghasilan.
Namun, anak muda generasi sekarang punya cara tersendiri untuk bertahan.
Mereka mengelola pekerjaan utama sebagai sumber nafkah, sembari tetap merawat passion sebagai hobi atau proyek sampingan.Â
Walau tidak selalu ideal, pola ini menjaga agar semangat berkarya tidak padam seluruhnya.
Migrasi Kerja Antara Peluang dan Pengorbanan
Fenomena migrasi kerja memperlihatkan bagaimana realita begitu dominan.Â
BPS mencatat lebih dari 40% pekerja urban adalah pendatang dari luar daerah.Â
Angka ini menunjukkan bahwa banyak anak muda rela meninggalkan kenyamanan rumah demi peluang lebih baik di kota besar.
Kota besar menawarkan janji gaji lebih tinggi, fasilitas yang lebih memadai, hingga kesempatan membangun jaringan profesional.Â
Tetapi harga yang harus dibayar juga tidak kecil. Biaya hidup tinggi, tekanan kompetisi, hingga rasa kesepian menjadi tantangan sehari-hari.Â
Tidak sedikit yang akhirnya bertanya dalam hati, apakah perjuangan ini benar-benar sepadan dengan pengorbanan yang dilakukan.
Meski begitu, merantau tetap memberi ruang belajar yang luas.Â
Anak muda bukan hanya mencari penghasilan, tetapi juga membentuk daya tahan, kemandirian, dan kepekaan terhadap perubahan.Â
Pengalaman ini membuat mereka lebih siap menghadapi dinamika dunia kerja yang cepat berubah.
Mencari Jalan Tengah
Dalam realita yang serba menekan, pilihan paling bijak mungkin bukan sekadar mengejar passion atau tunduk pada realita, melainkan mencari jalan tengah.Â
Passion bisa menjadi bahan bakar motivasi, sementara pekerjaan sehari-hari menjadi fondasi stabilitas.
Bekerja tidak lagi hanya dipahami sebagai cara mengumpulkan uang, tetapi juga kesempatan untuk tumbuh.Â
Anak muda bisa memanfaatkan pengalaman kerja, baik di kampung halaman maupun kota besar, untuk memperluas keterampilan sekaligus menjaga ruang bagi apa yang mereka cintai.
Dengan cara ini, bekerja bukan hanya perkara bertahan hidup, tetapi juga sarana membangun masa depan.Â
Anak muda tetap punya kendali untuk menentukan arti kerja bagi dirinya untuk sekadar memenuhi kebutuhan atau juga merawat mimpi yang sudah lama ada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI