Mohon tunggu...
Tesalonika Hasugian
Tesalonika Hasugian Mohon Tunggu... Kompasianer 2024

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kini Melawan Disinformasi Butuh Lebih dari Sekadar Cek Fakta

15 Juli 2025   12:00 Diperbarui: 15 Juli 2025   11:23 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Konten Media (Sumber: Unsplash)

Selama bertahun-tahun, kita selalu diajarkan hal yang sama untuk menghadapi disinformasi. Anda tahu solusinya itu apa? 

Cek fakta sebelum langsung percaya, verifikasi sumber sebelum disebarkan ke grup WhatsApp, dan bacalah dengan kritis sebelum emosi terprovokasi. 

Yap, semua tahapan itu tetaplah penting dan relevan menjunjung literasi media.

Namun, kesadaran dunia digital telah berubah lebih cepat daripada pendekatan kita dalam memahami informasi. Apa yang dulu cukup efektif untuk membentengi diri dari kabar palsu, kini tak lagi mampu menahan arus deras konten yang disesuaikan secara algoritmik. Ditambah dengan genjatan AI yang bisa menolong manusia rebahan yang malas memverifikasi berita.

Disinformasi hari ini tak lagi menyusup lewat situs mencurigakan atau kabar yang dikemas seadanya. Ia bahkan bisa hadir di platform yang kita gunakan tiap hari. TikTok, FaceBook, Instagram, mereka tampil dalam bentuk yang amat rapi, mengandung unsur emosional, dan narasi yang relatable.

Masalah literasi media bukan lagi hanya pada isi informasi, tapi pada bagaimana informasi itu ditemukan, dibentuk, dan disebarkan. Di titik inilah, literasi informasi tradisional yang hanya mengajarkan cara menilai konten menjadi tidak cukup. Kita cukup butuh satu lapisan pemahaman baru, yaitu literasi platform.

Kita Tak Lagi Melihat Internet Secara Netral

Banyak pengguna media sosial tidak menyadari bahwa apa yang mereka lihat di lini masa bukanlah urutan kronologis. Platform digital tidak menyajikan informasi secara netral. Setiap postingan, video, atau artikel yang muncul di depan mata telah melewati proses kurasi otomatis yang ditentukan oleh sistem algoritma yang memprioritaskan keterlibatan, bukan kebenaran.

Jika sebuah konten memicu kemarahan, tawa, atau ketakutan, besar kemungkinan ia akan muncul lebih sering. Sebab bagi sistem, emosi adalah bahan bakar yang mempercepat distribusi. Di sinilah disinformasi tumbuh subur karena ia lebih pandai memancing perasaan ketimbang klarifikasi yang tenang.

Jadi, setiap kali Anda terpancing oleh satu konten, entah itu konten lelucon atau amarah, dan menonton videonya sampai habis, algoritma akan memberikan konten lain yang serupa untuk muncul di layar konten Anda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun