Di lubuk hati kita yang terdalam mungkin masih merasakan ingin bertumbuh sesuai dengan idealisme. Ingin bekerja di bidang yang kita sukai, hidup dengan prinsip yang kita yakini, dan membuat keputusan berdasarkan hati nurani.Â
Kenyataan pahitnya, hidup tak selalu semulus itu. Ketika perjanjian honor datang tak sesuai dengan usaha, pengeluaran makin besar, dan mulai pemasukan stagnan, kita terasa mulai goyah.Â
Bukan hanya soal kabar dompet, tapi juga tentang jati siapa diri kita sebenarnya.
Badai finansial membuat banyak hal bergeser. Termasuk mindset kita. Nilai-nilai yang dulu kita jaga bisa tiba-tiba terasa seperti beban di pikiran.Â
Diam-diam layaknya seperti muncul pertanyaan di dalam hati, "Kalau aku harus mengorbankan bagian dari diriku demi bertahan, apakah aku masih jadi diriku yang sebenarnya?"
Ketika Realita Menantang Jati Diri
Tak sedikit dari kita yang akhirnya memilih jalan yang tak kita duga sebelumnya.
Seseorang yang dulu ingin menjadi penulis yang dikenal dengan cemerlangnya ide-ide, sekarang harus menggandeng AI untuk menjadi partner ide untuk kebutuhan bisnis.
Seseorang yang dulu bercita-cita menjadi seniman, kini bekerja di bagian admin demi stabilitas.Â
Seorang yang punya idealisme untuk mengabdi di dunia pendidikan, akhirnya banting setir ke pekerjaan korporat agar bisa memenuhi kebutuhan keluarga.Â