Mereka yang baru memulai karier langsung terbentur dengan syarat “minimal dua tahun pengalaman,” padahal belum diberi kesempatan untuk membuktikan potensi mereka.
Akhirnya, banyak yang terjebak dalam siklus melamar kerja tanpa pengalaman, tapi tidak bisa dapat pengalaman karena tidak diterima kerja.
Ironisnya, ketimpangan ini justru berkontribusi pada tingginya angka pengangguran muda. Yap, bukan karena mereka tidak kompeten, tapi karena pintu awalnya saja sudah terlalu sempit.
Sialnya lagi, ini diperparah dengan sistem kerja yang tidak selalu mendukung pertumbuhan.
Kita tahu, ada banyak team leader atau user yang enggan membagi pengetahuan, malas melatih anak baru, bahkan menganggap belajar itu tanggung jawab pribadi.
Lalu ketika anak baru tak cepat paham, dia dicap “gak kompeten”.
Ironi bukan? Kita disuruh betah kerja lama di perusahaan, tapi seringkali justru dibiarkan berkembang sendirian.
Tidak ada pelatihan, tidak ada komunikasi dua arah. Lalu ketika pindah kerja, malah dipertanyakan loyalitasnya. Sementara yang tinggal lama tapi stagnan malah dianggap “stabil”.
Mengevaluasi Ulang Makna Loyalitas dan Komunikasi di Dunia Kerja
Loyalitas itu bukan soal berapa lama kita bertahan, tapi seberapa besar kita berkontribusi.
Perusahaan perlu belajar untuk menilai kualitas pengalaman bukan dari durasinya, tapi dari scope pekerjaan dan capaian yang sudah diraih.