Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Mencari Penyesuaian Makna dengan Membuat Sapu Lidi Sendiri

8 Juni 2020   18:59 Diperbarui: 8 Juni 2020   18:50 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan mau bermaksud untuk mengatakan bahwa jarangnya penggunaan sapu lidi berhubungan langsung dengan masih rendahnya kesadaran akan manfaat menjaga kebersihan, tapi setidaknya di kota-kota yang mana rumah dengan lahan pekarangan memang semakin sedikit, kebanyakan penjagaan kebersihan di kota-kota memang sebagian besar sudah diserahkan kepada para petugas kebersihan.

Petugas kebersihan kota, baik yang dari pemerintah maupun swasta sendiri tampaknya tidak lagi hanya mengandalkan sapu lidi. Padahal, pekarangan dan sapu lidi sudah seperti dua hal yang tidak dapat dipisahkan sejak dahulu kala.

Bila tidak banyak permintaan akan sapu lidi, barangkali itu adalah sebuah bukti bahwa kita sudah terbiasa hidup di sebuah tempat di mana pekarangan bukan lagi berarti sekadar tempat di mana sebuah pohon jambu klutuk, jambu air, atau mangga, rambutan, dan pepaya tumbuh memayungi sayur-sayuran dan bunga di bawahnya.

Pekarangan nyaris menjadi tempat pertunjukan di mana lalu lintas pengendara, pedagang, parkiran kendaraan dan berbagai hal lainnya bisa langsung hadir di depan pintu rumah kita. Maka tidak mengherankan bila pekarangan yang semacam itu sering kali tidak lagi membutuhkan kehadiran sapu lidi sederhana.

Sapu lidi kini tidak hanya sekadar membawa kontradiksi sebagai simbol semangat persatuan dalam dirinya, tapi juga sebagai simbol kesederhanaan yang kontras dengan kemajuan zaman.

Membuat sapu lidi bersama dengan anak-anak pada zaman sekarang juga tampaknya kalah menarik dengan permainan game online di internet. Mungkin itu adalah bukti selanjutnya bahwa simbol dan makna dalam benda-benda yang sederhana seperti sapu lidi sudah ketinggalan zaman, bahkan jauh sebelum pandemi melanda.

Tangkai janur bahan membuat lidi (Dokpri)
Tangkai janur bahan membuat lidi (Dokpri)
Tangkai janur bahan membuat lidi (Dokpri)
Tangkai janur bahan membuat lidi (Dokpri)
"Buat apa tangkai-tangkai itu dikumpulkan?" kata seorang bapak saat saya memunguti helai-helai tangkai janur dengan bersemangat pada dua minggu yang lalu itu.
"Mau buat sapu lidi, Pak" kataku.
"Oalah, ya sudah" katanya lagi.
"Buat apa kam, Pak?" tanya anak saya lagi siang tadi.
"Aku membuat sapu lidi" kataku lagi, dia segera berbalik pergi.

Barang sederhana yang tampak tidak penting ini, yang hanya seharga Rp. 1.000 hingga Rp. 5.000 per buahnya di warung-warung kelontong ini, tampak menjadi semakin tidak penting akhir-akhir ini. Konon lagi mau didalami sebagai simbol dari sesuatu yang filosofis.

Bahannya yang terbuat dari sisa-sisa seolah semakin menegaskan bahwa sesuatu menjadi penting hanya bila ia dipandang berharga, dan sesuatu yang tidak penting hanya akan dicari mana kala ia diperlukan. Jadi, bila sesuatu yang tidak penting bukan berarti tidak perlu, rasanya ada kepuasan tersendiri mengambil bagian untuk menghadirkan hal-hal yang seperti itu.

Dari helai-helai tangkai janur dua batang pucuk daun pohon aren sisa-sisa, bisa menghasilkan dua buah sapu lidi yang diikat erat, satu buah pemukul lalat, beberapa helai tali unik untuk pengikat bunga dan beberapa puluh tangkai tusuk sate untuk lauk keluarga nanti malam.

Tali dari sisa janur dan tusuk sate dari lidi (Dokpri)
Tali dari sisa janur dan tusuk sate dari lidi (Dokpri)
Bukan soal harga murah dan mudahnya membuatnya, tapi membuat sapu lidi sendiri bermanfaat untuk mengingatkan arti akan nilai kesederhanaan bagi diri sendiri. Kita tidak akan mampu merasakan kebenaran atau ketidakbenaran sesuatu hal, sebelum mendapatkan pengalaman dengan terlibat langsung di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun