Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Mie Goyang Pajak Horas Siantar, Seseorang Harus Berani untuk Peduli pada Sejarah Kotanya

26 Januari 2020   01:45 Diperbarui: 26 Januari 2020   13:01 3974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berkeliling di Pajak Horas Siantar (Dokumentasi pribadi)

Setidaknya begitu yang saya rasakan pada hari itu. Orang banyak makan di sana. Tua muda, laki perempuan, putih hitam, semua berbaur di sana. Barangkali kalau bukan karena kesengsem dengan cita rasanya, mungkin karena penasaran seperti saya, dan tentu saja karena lapar pasti ada.

Tidak enak mengganggu kesibukan mereka berdua, tuan dan nyonya rumah kios penjual mie goyang legendaris ini, saya hanya sempat berbincang sebentar. 

Itupun mereka mau meladeni saya karena saya bilang saya seorang Kompasianer dan bukan wartawan yang mau mengganggu pekerjaan apalagi mengusik kesibukan mereka berdua. Mereka tersenyum, mungkin pernah membaca Kompasiana, mungkin.

Dia adalah pak Yusuf dan istrinya. Menariknya, taksiran saya, dari ciri fisiknya, mereka berdua adalah keturunan etnis Tionghoa, jadi wajar sekali mereka sangat jago soal dunia mie-mie-an. 

Tapi sekarang pak Yusuf bermarga Purba. Wah, dia semarga dengan saya pikirku. Karena marga Tarigan pada suku Karo itu sama dengan marga Purba pada etnis Simalungun, kata kakek saya dulu dan bapak-bapak saya.

Pak Yusuf dan Istrinya menyiapkan bahan untuk Mie Goyang di dapur kiosnya (Dokumentasi pribadi))
Pak Yusuf dan Istrinya menyiapkan bahan untuk Mie Goyang di dapur kiosnya (Dokumentasi pribadi))
Pada Shio tahun tikus tahun baru Imlek pada tahun ini, yang diyakini oleh suku Tionghoa sebagai tahunnya orang yang berciri kreatif, bersemangat, bahkan ambisius, tapi juga murah hati dan berhemat, kenyataan ini menjadi sesuatu yang menarik bagi saya pribadi. 

Orang Karo bermarga Tarigan, di kios mie goyang bertemu dengan saudara semarga dari etnis Tionghoa, menyajikan tidak sekadar mie yang legendaris tapi juga bermakna filosofis.

Menurut saya pribadi, bukankah sudah memang demikian seharusnya Indonesia adanya dan dikelola sebaik-baiknya? Bahwa di mana pun di Indonesia, siapapun dia dan dari etnis manapun dia, dia adalah orang Indonesia yang saat ini ada dan tinggal di Siantar, di Kabanjahe Tanah Karo, di Tanah Jawa, di Papua dan di manapun dia berada.

Jadi, kalau dari Barat kita disuguhkan teori pengelolaan kemajemukan semacam teori melting pot atau salad bowl, maka tidak kurang canggih secara esensi dan filosifi, pada hari itu saya merasa mendapatkan wawasan atau insight kemajemukan dari teori Mie Goyang Pajak Horas Siantar. 

Tentang hal ini, mengapa dinamakan Mie Goyang, saya tidak tega mewawancarai pak Yusuf Purba dan istrinya yang terlihat sudah sangat sibuk melayani pesanan dari para pelanggan yang datang, duduk, makan dan pergi silih berganti di kursi rumah kios makannya. Memang sebagian kursi yang saya duduki memang agak goyang-goyang, barangkali karena sudah sangat sepuh dimakan usia.

suasana ramai di kios Mie Goyang Pak Yusuf Purba di Pajak Horas Siantar (Dokumentasi pribadi)
suasana ramai di kios Mie Goyang Pak Yusuf Purba di Pajak Horas Siantar (Dokumentasi pribadi)
Sekilas saya hanya mendapatkan penjelasan, bahwa pak Yusuf Purba adalah generasi kedua di keluarganya yang tetap menjaga Mie Goyang Siantar tetap berjaya sampai hari ini. Kata pak Yusuf, usaha mie Goyang-nya itu sudah ada sejak tahun 70-an.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun