Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Mie Goyang Pajak Horas Siantar, Seseorang Harus Berani untuk Peduli pada Sejarah Kotanya

26 Januari 2020   01:45 Diperbarui: 26 Januari 2020   13:01 3974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mie Goyang Pajak Horas Siantar (Dokumentasi pribadi))

Pada Rabu, 22 Januari 2020 yang lalu, kami berkesempatan berkunjung ke kota Pematang Siantar karena salah seorang teman kerja melangsungkan syukuran pernikahannya di sana. 

Pematang Siantar, atau singkatnya lebih sering dikenal orang sebagai Kota Siantar, adalah salah satu kota di Sumatera Utara yang memiliki beragam hal ikonik dan mungkin juga sudah diketahui oleh masyarakat luas di Indonesia, atau di dunia, hehe.

Misalnya saja "Becak Siantar", itu adalah beca bermotor dengan body boncengan samping bagi penumpang, dan juga memang motornya, bergaya khas ala kendaraan yang digunakan oleh tentara Jerman pada masa perang dunia ke-II. 

Ada lagi rokok filter legendaris bermerek "Commodore Filter" dan merek "Union" yang merupakan produksi khas Kota Pematang Siantar. Untuk merek rokok yang pertama itu sudah tidak ada lagi di pasaran, tapi yang kedua sampai saat ini masih ada, dan bahkan kata perokok yang menyukainya, cita rasanya melebihi rokok putih yang bahkan sekelas Marlboro itu.

Tidak berhenti sampai di situ, ada juga roti tawar legendaris dengan selai sari kaya yang dikenal orang-orang sebagai roti ganda, atau roti ketawa dengan aneka varian rasa dan ukuran yang dijamin kelezatannya serta harganya yang sangat terjangkau. 

Dua penganan ini adalah sebagian dari oleh-oleh khas dari Siantar yang sudah sangat dikenal oleh pelancong dari luar kota yang datang ke sana, atau orang-orang yang sekadar ada keperluan, baik keperluan dinas maupun urusan keluarga, seperti kami yang datang pada hari itu.

Bahkan, orang-orang Siantar juga memiliki citra khas, yang mungkin bagi orang-orang Indonesia dari etnis dan daerah lainnya, dipandang cukup mewakili tipelogi orang Sumatera Utara yang dipandang keras dan tegas, tidak saja dalam penampilannya, tapi juga suara dan dialek bahasanya. 

Orang Siantar sering juga dipanggil dengan sebutan "Siantar Man". Tapi, sudah bukan rahasia juga, kalau orang dari Sumatera Utara kerap dicap sebagai orang yang doyan dan memang pintar untuk urusan tarik suara. 

Lihat saja deretan nama-nama jawara Indonesian Idol, sering kali berasal dari Sumatera Utara, meskipun bukan semuanya Siantar Man, hehe.

Selain itu, ada lagi yang tidak kalah legendaris dari kota ini, apa lagi kalau bukan pasar tradisionil yang dikenal dengan nama "Pajak Horas". Ya, umumnya orang-orang Sumatera Utara, di kota dan kabupaten mana saja akan paham, kalau pasar disebut dengan nama "pajak". 

Tidak jelas benar adakah atau tidak kaitannya, bukankah di pasar memang salah satu tempat berlangsungnya kegiatan pemungutan cukai? Berkaitan dengan cukai, maka pasti semua orang tahu bahwa itu erat kaitannya dengan pajak. Yah, siapa tahu dari sanalah istilah itu muncul.

Berkeliling di Pajak Horas Siantar (Dokumentasi pribadi)
Berkeliling di Pajak Horas Siantar (Dokumentasi pribadi)
Berkeliling di Pajak Horas Siantar (Dokumentasi pribadi)
Berkeliling di Pajak Horas Siantar (Dokumentasi pribadi)
Berkeliling di Pajak Horas Siantar (Dokumentasi pribadi)
Berkeliling di Pajak Horas Siantar (Dokumentasi pribadi)
Dari Pak Girsang, yang saya temui di parkiran, ia mengaku tidak tahu persisnya kapan "pajak" itu berdiri. Tapi sejak dia sudah menjadi "somebody" di sekitar Siantar pada tahun 70-an, pajak Horas sudah ada. 

Setidaknya itu sudah 50-an tahunlah. Kini pak Girsang yang sudah cukup berumur menjadi salah seorang petugas parkir di sekitar Pajak Horas. Dia memang terlihat seperti Siantar Man, hehe.

Namun, ada satu hal lagi yang menarik untuk diulas di hari raya Imlek ini. Bukan tentang Siantar Zoo atau Siantar Water Park atau mie pansit keriting Siantar atau mie panjang Siantar, yang juga merupakan hal-hal yang langsung akan lekat di memori orang-orang yang pernah berkunjung ke Siantar. 

Atau tentang satu hal yang teranyar, yakni pohon terang Kota Siantar yang dihias berkelap-kelip pada bulan Natal yang lalu dan konon disebut sebagai salah satu pohon natal yang paling tinggi di Asia Tenggara, bukan itu.

Tapi ini memang masih ada kaitannya dengan mie. Bukankah berbicara tentang mie, kita akan langsung terpikir sesuatu yang berhubungan dengan budayanya orang Tionghoa. 

Ya, di Kota Siantar memang banyak juga masyarakat yang merupakan asal keturunan Tionghoa, selain tentu saja beragam etnis dari puak Batak yang merupakan etnis mayoritas.

Di kota Siantar, menurut pandangan saya, aneka jenis mie merupakan jenis penganan khas Siantar yang paling menarik hati. Baik penyajiannya, cita rasanya dan tentu saja nama besarnya, memang tampak mengalahkan mie dari tempat-tempat lain yang pernah saya cicipi. 

Ya, terkadang nama besar seseorang atau nama besar sesuatu memang selalu mendahului orangnya atau sesuatunya itu.

Penasaran dengan nama besarnya, maka pada Rabu, 22 Januari 2020 itu, saya diajak oleh seorang teman yang sudah lebih dahulu kesengsem dengan mie ini, menuntaskan rasa penasaran akan nama besar mie itu. "Mie Goyang" namanya. 

Mie goyang ini adanya di sebuah kios sederhana yang tampilannya memang tampak sudah cukup "senior" berjalan bersama usianya yang tua dan berada di jantung Pajak Horas Siantar. Ckckck, nama besar memang biasanya berada di jantung kota, atau menjadi jantung hati, atau bikin jantungan atau bisa juga bikin jantung berdegup kencang, hehe.

Bersama teman makan Mie Goyang di Pajak Horas Siantar (Dokumentasi pribadi))
Bersama teman makan Mie Goyang di Pajak Horas Siantar (Dokumentasi pribadi))
Menanti mie goyang disajikan di meja hidangan di hadapan Anda bukan sebuah perkara sederhana dan cepat begitu saja. Apalagi pada jam makan, atau jam pulang kantor. 

Setidaknya begitu yang saya rasakan pada hari itu. Orang banyak makan di sana. Tua muda, laki perempuan, putih hitam, semua berbaur di sana. Barangkali kalau bukan karena kesengsem dengan cita rasanya, mungkin karena penasaran seperti saya, dan tentu saja karena lapar pasti ada.

Tidak enak mengganggu kesibukan mereka berdua, tuan dan nyonya rumah kios penjual mie goyang legendaris ini, saya hanya sempat berbincang sebentar. 

Itupun mereka mau meladeni saya karena saya bilang saya seorang Kompasianer dan bukan wartawan yang mau mengganggu pekerjaan apalagi mengusik kesibukan mereka berdua. Mereka tersenyum, mungkin pernah membaca Kompasiana, mungkin.

Dia adalah pak Yusuf dan istrinya. Menariknya, taksiran saya, dari ciri fisiknya, mereka berdua adalah keturunan etnis Tionghoa, jadi wajar sekali mereka sangat jago soal dunia mie-mie-an. 

Tapi sekarang pak Yusuf bermarga Purba. Wah, dia semarga dengan saya pikirku. Karena marga Tarigan pada suku Karo itu sama dengan marga Purba pada etnis Simalungun, kata kakek saya dulu dan bapak-bapak saya.

Pak Yusuf dan Istrinya menyiapkan bahan untuk Mie Goyang di dapur kiosnya (Dokumentasi pribadi))
Pak Yusuf dan Istrinya menyiapkan bahan untuk Mie Goyang di dapur kiosnya (Dokumentasi pribadi))
Pada Shio tahun tikus tahun baru Imlek pada tahun ini, yang diyakini oleh suku Tionghoa sebagai tahunnya orang yang berciri kreatif, bersemangat, bahkan ambisius, tapi juga murah hati dan berhemat, kenyataan ini menjadi sesuatu yang menarik bagi saya pribadi. 

Orang Karo bermarga Tarigan, di kios mie goyang bertemu dengan saudara semarga dari etnis Tionghoa, menyajikan tidak sekadar mie yang legendaris tapi juga bermakna filosofis.

Menurut saya pribadi, bukankah sudah memang demikian seharusnya Indonesia adanya dan dikelola sebaik-baiknya? Bahwa di mana pun di Indonesia, siapapun dia dan dari etnis manapun dia, dia adalah orang Indonesia yang saat ini ada dan tinggal di Siantar, di Kabanjahe Tanah Karo, di Tanah Jawa, di Papua dan di manapun dia berada.

Jadi, kalau dari Barat kita disuguhkan teori pengelolaan kemajemukan semacam teori melting pot atau salad bowl, maka tidak kurang canggih secara esensi dan filosifi, pada hari itu saya merasa mendapatkan wawasan atau insight kemajemukan dari teori Mie Goyang Pajak Horas Siantar. 

Tentang hal ini, mengapa dinamakan Mie Goyang, saya tidak tega mewawancarai pak Yusuf Purba dan istrinya yang terlihat sudah sangat sibuk melayani pesanan dari para pelanggan yang datang, duduk, makan dan pergi silih berganti di kursi rumah kios makannya. Memang sebagian kursi yang saya duduki memang agak goyang-goyang, barangkali karena sudah sangat sepuh dimakan usia.

suasana ramai di kios Mie Goyang Pak Yusuf Purba di Pajak Horas Siantar (Dokumentasi pribadi)
suasana ramai di kios Mie Goyang Pak Yusuf Purba di Pajak Horas Siantar (Dokumentasi pribadi)
Sekilas saya hanya mendapatkan penjelasan, bahwa pak Yusuf Purba adalah generasi kedua di keluarganya yang tetap menjaga Mie Goyang Siantar tetap berjaya sampai hari ini. Kata pak Yusuf, usaha mie Goyang-nya itu sudah ada sejak tahun 70-an.

Jadi kalau merujuk ke penjelasan pak Yusuf Purba dan Pak Girsang yang saya temui secara terpisah di parkiran setelah selesai melahap mie Goyang, dan mengatakan bahwa sesuai ingatannya Pajak Horas sudah ada pada tahun 70-an, maka ini adalah dua hal yang saling berhubungan dan berhimpit sama. 

Barangkali Pajak Horas sama tuanya dengan Mie Goyang Siantar. Siapa tahu? Tapi seseorang harus berani untuk peduli pada sejarah kotanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun