Perutku memang sudah tak bisa berkompromi, keroncongan. Mendengar jawaban Ahim rasa lapar mendadak sirna. Ini Hari Kamis, sepertinya anak lelaki yang duduk tenang dengan senyum tulus yang selalu terpasang itu rajin berpuasa sunah Senin-Kamis. Satu kosong, untuknya. Sudah setua ini aku belum juga sanggup berpuasa.
"Tak apa, kita lanjutkan saja pembicaraannya, makan siang bisa ditunda,"
"Jadi, nak Ahim baru kenal Ghania tiga bulan? Lalu, apa kalian sudah pernah bicara panjang lebar soal rencana perkawinan?"
Ibrahim menggelengkan kepala, "Saya hanya pernah melihatnya tiga kali dan mendengarnya berceramah di masjid tempat kami mengaji. Pada pertemuan ketiga saya mengatakan padanya hendak bertemu orangtua dengan maksud melamar," sahutnya tegas.
Edan!
Hanya dengan melihat?
Memang Ghania cantik dan cerdas, tapi apa Ahim tahu Ghania sudah kehilangan ayahnya sejak kecil. Apa pekerjaanku? Lagi pula bagaimana latar belakang keluarganya?
Pantas saja tadi pemuda ini tak segera memberitahukan berapa lama mereka saling mengenal. Dasar!
Huh! Anak muda yang nekat!
Kupikir tadinya Si Ahim ini sudah bicara panjang lebar dengan Ghania. Setidaknya aku bisa mendengar banyak darinya tentang calon suaminya.
"Ummi, bolehkah Ghania bergabung? Ada yang ingin Ghania sampaikan pada Ummi tentang Ahim," tanya Ghania yang muncul tiba-tiba dari balik kamarnya.