Mohon tunggu...
temali asih
temali asih Mohon Tunggu... Guru -

berbagi dan mengasihi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Putriku dan Sang Pelamar Nekat

11 Februari 2019   00:03 Diperbarui: 12 Februari 2019   07:50 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak laki-laki yang kini berada di hadapanku bermata teduh. Memandang wajahnya membuat perasaanku yang semula ragu menjadi yakin, kedamaian yang hadir dihatinya telah menular begitu cepat kepadaku. 

"Kau teman Ghania? Berapa lama kalian saling mengenal?" tanyaku lembut walaupun masih bernada selidik.

"Ya, benar, Bu! Saya teman satu pengajian dengan Ghania. Perkenalkan nama saya Bintang Ibrahim, panggil saya Ahim," jawabnya penuh percaya diri dan sikapnya tetap khidmat.

"Kau masih kuliah atau sudah bekerja, Nak Ahim?"

Aku bertanya sembari menggigit bibir. Pertanyaan stereotip yang sengaja kuhindari bila menghadapi teman-teman anak perempuanku satu-satunya. Akhirnya kutanyakan jua. Ini menyangkut lamarannya pada Ghania. Seorang diri saja. Tanpa ditemani siapa pun adalah sebuah keberanian tersendiri atau nekat?

"Saya hanya bersekolah hingga kelas dua SMA, putus sekolah. Saya bekerja sebagai kuli angkut selama satu tahun. Kemudian Pak Pingzi menjadikan saya sebagai tangan kanannya untuk ekspor rempah seperti lada dan cengkeh ke beberapa negara. Sampai sekarang pekerjaan saya masih bergerak dalam bidang itu, Bu Anisah," tutur Ahim lancar dan tetap dengan kepercayaan diri yang tinggi. Dua kali ia membenahi letak kacamatanya.


Postur tubuh Bintang Ibrahim memang tak terlampau istimewa, tapi isi jiwanya itu yang membuatku terpesona. Seorang anak lelaki yang pemberani dan sopan telah meminta Ghania untuk dijadikan istrinya.

Perbedaan pendidikan mereka cukup jauh. Ghania sebentar lagi lulus S2, sanggupkah Ahim mengejar cara berpikir anak perempuannya. Belum lagi sebuah perusahaan bonafide telah memintanya menjadi kepala IT, CITO. Kisaran gaji yang diterima bisa berkali lipat yang pastinya bakal menyita waktu serta merubah pergaulannya. Apakah Ghania bisa tetap hormat pada suaminya kelak?

Berpuluh pertanyaan tiba-tiba berkecamuk. Hanya satu pertanyaan yang terlontar dariku, "Kau sudah makan, Nak Ahim?"

"Saya sedang shaum, Bu."

"Bila Ibu hendak makan siang, Saya bersedia menunggu."

Perutku memang sudah tak bisa berkompromi, keroncongan. Mendengar jawaban Ahim rasa lapar mendadak sirna. Ini Hari Kamis, sepertinya anak lelaki yang duduk tenang dengan senyum tulus yang selalu terpasang itu rajin berpuasa sunah Senin-Kamis. Satu kosong, untuknya. Sudah setua ini aku belum juga sanggup berpuasa.

"Tak apa, kita lanjutkan saja pembicaraannya, makan siang bisa ditunda,"

"Jadi, nak Ahim baru kenal Ghania tiga bulan? Lalu, apa kalian sudah pernah bicara panjang lebar soal rencana perkawinan?"

Ibrahim menggelengkan kepala, "Saya hanya pernah melihatnya tiga kali dan mendengarnya berceramah di masjid tempat kami mengaji. Pada pertemuan ketiga saya mengatakan padanya hendak bertemu orangtua dengan maksud melamar," sahutnya tegas.

Edan!

Hanya dengan melihat?

Memang Ghania cantik dan cerdas, tapi apa Ahim tahu Ghania sudah kehilangan ayahnya sejak kecil. Apa pekerjaanku? Lagi pula bagaimana latar belakang keluarganya?

Pantas saja tadi pemuda ini tak segera memberitahukan berapa lama mereka saling mengenal. Dasar!

Huh! Anak muda yang nekat!

Kupikir tadinya Si Ahim ini sudah bicara panjang lebar dengan Ghania. Setidaknya aku bisa mendengar banyak darinya tentang calon suaminya.

"Ummi, bolehkah Ghania bergabung? Ada yang ingin Ghania sampaikan pada Ummi tentang Ahim," tanya Ghania yang muncul tiba-tiba dari balik kamarnya.

Rupanya Ghania sudah menyimak pembicaraan antara aku dan Ahim.

"Duduklah, Ummi ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, kenapa kau begitu mudah mempercayai orang yang baru kau kenal?"

"Ummi juga heran, kau baru saja menolak lamaran saudara dekat kita. Kau sudah mengenalnya dengan baik dan orangtuanya juga yang membiayai sekolahmu,"

"Ummi harap kau bisa membalas budi." sahutku ketus. Kulirik wajah Ahim agar tahu reaksinya. Sikapnya masih setenang air dalam bejana.

Ghania juga tetap kalem bahkan tersenyum simpul. Diraihnya tanganku dan diletakkan di pipinya yang putih dan lembut. Kerudung berwarna biru malam yang dikenakan membuat wajahnya nampak lebih putih.

"Ummi sayang, Ghania memang tak pernah bicara panjang lebar berduaan dengan Mas Ibrahim."

"Ghania tahu banyak tentang Mas Ibrahim dari seorang teman perempuan. Namanya Mbak Metia Halimah, masih saudara dekat Mas Ibrahim."

"Ummi juga kenal Mbak Metia kan? Beberapa kali beliau menjadi penceramah untuk pengajian ibu-ibu di masjid kita. Kalau tak salah empat kali, ya?"

"Hemm... Lalu?" tanyaku penasaran

"Karena Mbak Metia yang merekomendasikan Mas Ibrahim untuk menjadi calon suamiku, maka tak sepantasnya Ghania menolak." Dikecupnya lembut kedua tanganku yang sejak tadi tak dilepaskan dari genggaman.

Jurus maut Ghania beraksi. Bila sudah seperti itu sulit bagiku untuk berkata tidak. Tapi... Eh, ternyata untuk ini aku masih punya banyak alasan untuk tidak mengatakan iya dengan mudah. Perasaanku masih terganjal dengan status pendidikan dan perkenalan mereka yang singkat. Lalu mengapa Si Ahim datang sendirian saja tanpa ada yang menemani. Bukankan itu mencurigakan?

Hj. Metia? Oh, iya baru ingat. Bukankah Ahim bisa datang dengannya? Untuk meyakinkanku bahwa dia bukan orang sembarangan.

"Bude Metia melaksanakan ibadah Umrah mendampingi ibu-ibu pengajian, tiga hari lagi baru pulang. Bude berjanji akan segera kemari untuk membicarakan banyak hal dengan Ibu, Insya Allah." Ahim berkata seakan tahu apa yang ingin ditanyakan olehku. Bahasa tubuhnya luwes sekali. Pemuda yang simpatik.

Kegamanganku mulai hilang. Rasanya tak pantas terlalu memvonis teman Ghania sebagai anak serampangan. Pasalnya Ghania selalu berhati-hati dalam pergaulan. Bahkan sudah pernah kutanyakan sejak lama apakah Ghania pernah punya pacar. Ghania malah balik bertanya bagaimana pacaran menurut hukum Islam. Haram, Ummi. Dijawabnya lantang, setelah aku terdiam lama.  

Pacarku tak terhitung banyaknya, Eits, jangan salah sangka. Pacaran jaman dulu hanya datang untuk apel dan berbincang dengan Ayahanda. Lalu main catur sampai larut, setelah itu mereka kapok datang lagi. Hanya Kang Zola, Ayah Ghania, yang masih bertahan. Soalnya selalu menang dan diizinkan ngobrol berdua di teras rumah sampai pukul sembilan.

"Ummi, bagaimana? Apa lamaran Mas Ibrahim diterima?" tanya Ghania lembut dengan nada penuh harap.

"Ayah ibumu tak bisa juga menemani? Bukankah ini perkara penting? Tak bisakah mereka datang barang sebentar?"

Aih, rasanya hatiku seperti perempuan barbar di hadapan anak-anak muda berjiwa bersih.

"Mas Ibrahim sudah lama sebatang kara, hanya ada adik perempuannya yang kini masih di bawah perawatan seorang tenaga medis di rumahnya. Jadi sulit untuk membawanya kemari."

"Loh? Sakit apa?" tanyaku agak khawatir karena pasti berat.

"Down syndrome, sejak lahir, sekarang kondisinya kurang sehat." ujar Ahim perlahan. Kulihat sekilas bulir-bulir bening menggenang di matanya

Deg! Jantungku serasa berhenti berdetak. Tak lama. Kuatur nafasku, tarikan nafasku dalam dan berat. Embusannya pasti terdengar oleh mereka.

Coba kuingat lagi. Memiliki seorang adik yang terbelakang mentalnya, tanpa kedua orangtua dan tak lulus SMA. Bagaimana ini? Mana bisa aku menyerahkan anak perempuanku satu-satunya pada Ibrahim dengan catatan seperti itu. Jangan-jangan kepergian kedua orangtuanya pun mengerikan.

Saling bunuh?

Entah wajahku seperti apa mereka saksikan. Rasa sangsiku bertambah.

Astaghfirullah hal'adzim!

Ghania... oh Ghania... kau tak tahu apa yang Ibu rasakan sekarang.

"Ibu tunggu Bu Meita, eh, Bude Metia saja yang menjelaskan. Untuk saat ini pembicaraan tentang lamaran kita sudahi." kata-kata pamungkas meluncur cepat. Keputusan diambil paling cepat seminggu lagi.

Kedua anak muda saling pandang, mereka kebingungan. Cinta memang belum terbangun kokoh. Untuk kawin lari jauh sekali dari pikiran mereka. Tapi, guratan luka yang membuat memar rasa hati kedua insan mulai jelas jejaknya. Tinggal do'a yang dilantunkan mereka, sanggupkah mengubah rasa hati sebuah jiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun