Ada kalimat yang dulu hanya kutemukan di buku motivasi, tapi kini terasa seperti kenyataan yang menampar: "Logika tanpa empati itu keras, empati tanpa logika itu buta." Aku baru benar-benar mengerti maknanya setelah kehilangan seseorang yang pernah membuat dunia terasa hangat.
Dalam cinta kami, akulah yang berjuang dengan hati. Aku percaya bahwa perasaan bisa menyembuhkan, bahwa ketulusan bisa memperbaiki segalanya. Aku tidak peduli seberapa sulit keadaan, selama kami masih punya alasan untuk saling menggenggam. Tapi dia---ia berjalan dengan logika. Ia mencintaiku, iya, tapi ia juga menimbang segalanya dengan kepala dingin: jarak, waktu, tanggung jawab, realitas.
Kami berdua sama-sama ingin mempertahankan, tapi dengan cara yang berbeda. Aku dengan rasa, dia dengan rencana. Aku menahan dengan harapan, dia mencoba bertahan dengan perhitungan. Dan perlahan, aku mulai sadar: cinta kami tidak runtuh karena kurang cinta, tapi karena cara kami mencintai tidak lagi seimbang.
Setiap kali kami berdebat, aku selalu bicara dengan hati. Aku ingin dia mengerti perasaanku, ketakutanku, rinduku. Tapi dia menjawab dengan logika yang tajam: "Kita harus realistis." Kalimat itu dingin, meski diucapkan dengan suara yang lembut. Di saat aku menangis karena takut kehilangan, dia berdiam diri, mencoba terlihat kuat---padahal aku tahu, dia pun sedang menahan perih yang sama.
Dia bilang, hidup tidak cukup hanya dengan cinta. Aku tahu dia benar. Tapi aku juga tahu, hidup tanpa cinta terasa hampa. Aku tidak menolak logikanya, hanya berharap dia mau memberi sedikit ruang bagi perasaan. Tapi semakin lama, ruang itu semakin sempit, sampai akhirnya aku merasa seperti berbicara pada dinding yang tak lagi bisa kudobrak.
Malam-malam kami berubah. Yang dulu penuh tawa kini diisi hening panjang. Aku mencoba bercerita, dia menjawab seperlunya. Aku masih berjuang, tapi aku bisa merasakan jarak yang tumbuh pelan-pelan, seperti dinding kaca yang bening---tidak terlihat, tapi jelas terasa.
Sampai suatu malam, dia berkata dengan mata yang basah, "Aku sudah berusaha, tapi aku nggak bisa lagi." Kata-kata itu menembus dadaku lebih dalam daripada tangisan. Aku ingin memeluknya, ingin memohon, tapi suaraku tertahan. Aku tahu---itu bukan karena dia berhenti mencinta, tapi karena logikanya sudah menang melawan hatinya sendiri.
Aku tidak menyalahkannya. Hidup memang sering kejam pada orang-orang yang terlalu banyak merasa. Ia memilih jalan yang menurutnya paling benar. Tapi yang paling menyakitkan adalah, aku bisa mengerti alasannya---meski hatiku menolak menerimanya.
Setelah itu, hari-hari terasa sepi. Aku masih sering menatap layar ponsel, berharap ada pesan darinya. Tapi yang datang hanya sunyi. Di antara logika dan empati kami, cinta itu mati pelan-pelan---bukan karena kebencian, tapi karena terlalu banyak pertimbangan yang tak bisa kami lawan.
Aku masih mengingat caranya tersenyum di hari terakhir kami bertemu. Senyum itu bukan tanda bahagia, tapi bentuk perpisahan yang berusaha terlihat kuat. Ia menatapku lama, seolah ingin berkata, "Aku juga tidak ingin ini terjadi." Tapi yang keluar hanya satu kalimat pendek: "Kita harus belajar melepaskan."
Kini aku mengerti, bahwa empati memang bisa membuatmu bertahan, tapi tanpa logika, kamu akan buta oleh harapan. Sementara logika bisa menyelamatkan dari luka, tapi tanpa empati, ia menjadi dingin dan kejam. Dan hubungan kami adalah bukti nyata dari dua kekuatan yang berjalan ke arah berlawanan.
Aku bertahan dengan hati, karena aku percaya cinta bisa menyembuhkan. Tapi dia pergi dengan logika, karena ia tahu cinta tidak selalu cukup untuk menyelamatkan. Kami sama-sama benar, tapi juga sama-sama kalah.
Kadang aku masih bertanya pada Tuhan, kenapa harus begini? Kenapa dua orang yang saling mencintai harus berakhir karena logika dan empati yang tak bisa berdamai? Tapi seiring waktu, aku mulai paham: mungkin cinta kami memang bukan untuk dimenangkan, melainkan untuk dimengerti.
Sekarang, setiap kali aku mengingatnya, aku tidak lagi marah. Aku hanya merasa hangat. Karena aku tahu, kami berdua pernah berjuang sekuat yang kami bisa---dengan cara yang berbeda. Aku dengan hati yang ingin mempertahankan, dia dengan logika yang akhirnya melepaskan.
Dan di sanalah aku belajar bahwa mencintai seseorang bukan hanya soal berani bertahan, tapi juga berani menerima alasan ketika dia tak bisa lagi. Bahwa cinta sejati tidak selalu berakhir di pelukan, tapi kadang berakhir di pengertian.
Cinta kami mengajarkanku keseimbangan: berpikir tanpa kehilangan rasa, dan merasa tanpa kehilangan arah. Karena hidup memang bukan tentang memilih antara logika atau empati, tapi bagaimana menjaga keduanya tetap berjalan berdampingan tanpa saling melukai.
Kadang kamu harus kehilangan seseorang bukan karena cinta kalian salah, tapi karena kalian mencintai dengan cara yang tak lagi seimbang. Tapi dari sana, kamu belajar: berpikir dengan hati, dan merasa dengan logika. Karena hanya dengan keseimbangan itulah kamu bisa mencintai tanpa kehilangan dirimu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI