Saat semua rangkaian acara selesai, tibalah giliran saya lagi. Dengan hati-hati, saya membunyikan lonceng tiga kali sebagai tanda kebaktian berakhir. "Teng... teng... teng..." Dentangnya terasa berbeda. Ada lega, syukur, sekaligus rasa bangga.
Usai kebaktian, saya mendekati bapak, mencium tangannya, lalu masuk kembali ke ruang konsistori. Kami semua, pendeta dan majelis, kembali berdoa. Selesai doa, ada sesi singkat evaluasi bagi para petugas.
Di sana, saya mendapat pujian. Salah satu majelis berkata, "Mas, tadi sudah bagus sekali. Tenang, mantap, meski baru pertama kali. Terima kasih ya." Saya hanya bisa tersenyum, dalam hati mengucap syukur atas apresiasi itu.
Setelah doa penutup, saya berpamitan. Di rumah, ibu yang tidak hadir karena kurang sehat langsung bertanya bagaimana jalannya kebaktian. Saya bercerita tentang apresiasi pendeta dan majelis. Ibu tersenyum, lalu menambahkan, "Tadi kamu kurang senyum. Ibu lihat dari YouTube live." Saya tertawa kecil dan berjanji, "Baiklah, lain kali saya akan senyum terus, Mom."
Bapak juga ikut menimpali. Katanya, ia mencoba merekam saya, tapi salah pencet jadi merekam video terus. Kami semua tertawa, suasana jadi hangat.
Di sore harinya, saya merenung. Mengapa baru kali ini saya ikut terlibat langsung dalam pelayanan? Padahal saya sudah lama menjadi anggota jemaat GKJ Jakarta. Rupanya kesibukan kerja di luar kota, di Kalimantan Selatan maupun Bali, membuat saya jarang bisa ikut terlibat.
Namun kali ini berbeda. Tuhan seperti memberi saya kesempatan untuk ikut mengambil bagian dalam pelayanan. Meski hanya lewat dentang lonceng, hati saya merasa sangat terisi.
Dentang itu membuat saya sadar: sekecil apa pun tugasnya, melayani Tuhan selalu memberi kebahagiaan. Saya merasa lebih dekat dengan-Nya, lebih peka pada arti kehadiran saya di tengah jemaat.
Saya pun semakin yakin, pelayanan bukan soal besar atau kecilnya peran, melainkan soal hati yang mau melayani. Bagi saya, pengalaman memukul lonceng ini menjadi langkah awal perjalanan iman yang baru.
Hari itu saya mengucap syukur. Dari dentang sederhana, saya belajar bahwa Tuhan tidak pernah menuntut hal besar. Ia hanya menuntut kesediaan hati untuk hadir dan melayani.
Melayani di gereja lewat dentang lonceng mungkin tampak sederhana bagi sebagian orang. Namun bagi saya, pengalaman itu membuka mata bahwa sekecil apa pun peran kita, jika dilakukan dengan tulus, bisa menjadi berkat. Hidup ini sesungguhnya penuh dengan kesempatan untuk melayani, entah di rumah, di kantor, atau di lingkungan sekitar. Kita hanya perlu keberanian untuk melangkah. Dan pagi itu, di tengah dentang lonceng gereja, saya menemukan bahwa kebahagiaan terbesar justru hadir saat kita mau memberi diri.