Hari itu, di tengah kesibukan saya di kantor, telepon dari ibu membuat hari saya berbeda. Dengan suara lembut, ibu menyampaikan bahwa saya diharapkan ikut serta dalam kegiatan ibadah Minggu sebagai petugas gereja. Tugasnya sederhana: membunyikan lonceng. Namun bagi saya, kabar itu adalah pengalaman baru yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya.
Saya langsung merasa senang. Ada semacam kebanggaan tersendiri karena akhirnya saya bisa ambil bagian dalam pelayanan gereja. Selama ini saya hanya hadir sebagai jemaat, duduk, mendengarkan, dan pulang. Kali ini, saya punya kesempatan untuk benar-benar ikut serta dalam liturgi yang selama ini hanya saya saksikan dari bangku jemaat.
Ibu mengingatkan saya bahwa untuk bisa melayani, ada persiapan. "Kamu harus ikut latihan kebaktian hari Kamis jam 19.00 di gereja. Jangan telat ya," katanya. Saya mengangguk, mencoba menyimpan rasa deg-degan yang mulai muncul.
Hari yang ditunggu pun tiba, 14 September 2025. Kebaktian kedua yang dimulai pukul 09.00 WIB menjadi momen pertama saya melayani Tuhan di rumah-Nya. Sebelum ibadah dimulai, saya bersama pendeta dan majelis berkumpul di ruang konsistori. Kami berdoa agar kebaktian berjalan lancar. Saat itu, seorang pendeta menyapa saya, "Selamat hari Minggu, Mas. Tugas apa hari ini?" Saya menjawab, "Lonceng, Pak." Ia tersenyum dan berseloroh, "Mantap! Besok-besok dengan badan besar ini bisa bawa firman, ya." Saya hanya bisa tersenyum kaku sambil menjawab, "Siap, Pak."
Saat detik-detik menuju ibadah tiba, saya mulai menghitung mundur. Pada detik ke-30, saya menaiki tangga menuju tempat lonceng berada. Degup jantung saya berpacu lebih cepat daripada langkah kaki saya.
Dentang pertama saya bunyikan, satu kali. "Teng..." Suaranya bergema memenuhi ruang, menjadi tanda bahwa kebaktian akan segera dimulai. Jemaat mulai menyiapkan hati, dan saya pun menyiapkan diri untuk tugas selanjutnya.
Beberapa menit kemudian, setelah warta gereja dibacakan, saya kembali bersiap. Kali ini tugas saya lebih penting: tiga kali dentang lonceng sebagai tanda dimulainya kebaktian. Saya pukul dengan mantap. "Teng... teng... teng..." Suaranya keras, bahkan membuat telinga saya sendiri bergetar. Jemaat pun berdiri serentak, menyambut masuknya rombongan lilin, Alkitab, pendeta, dan majelis.
Kebaktian berlangsung dengan khidmat. Votum, salam, kata pembuka, hingga nyanyian pujian dilantunkan dengan penuh sukacita. Saya duduk di sisi, mengikuti jalannya ibadah sambil tetap waspada menanti giliran membunyikan lonceng penutup.