"Tapi tidak sekarang. Aku akan berkirim surat," ungkap aku.
"Aku tunggu suratmu," katanya sambil tersenyum. Â
Bunyi terompet kapal menandakan kapal harus lepas sandar. Dan siap membelah gelombang. Buatku bunyi terompet kapal juga  sekaligus tanda perpisahan dengan Anin.   Dan aku pun menyesal tidak mengatakan perasaanku. Dan aku bertekad, begitu sampai Jakarta, aku akan mengirim surat kepadanya.
Benar saja. Begitu sampai di rumah kakakku di Jakarta, hal pertama yang aku lakukan adalah mencari kertas. Aku langsung menulis surat untuk Anin.
Dear Anin,
Alhamdulillah, berkat doamu, aku telah sampai di Jakarta dengan selamat. Tapi sepertinya hanya ragaku yang menepi di Pelabuhan Jakarta. Hati dan jiwaku masih tertinggal di sana.
Kehidupan kadang aneh.  Saat aku baru datang ke  sana, ingin rasanya kembali ke kampung halaman.   Sekarang saatnya harus pulang, malah aku enggan pulang. Ingin rasanya tetap di sana. Agar bisa melihat saat kamu bicara. Kamu cemberut. Dan saat kamu bersungut-sungut.
Tapi nyatanya aku harus pulang. Dan jiwa dan hatiku masih tertinggal di sana. Masih ingin bersama-sama denganmu.  Aku berterimakasih kepadamu. Kebersaman  denganmu telah membangkitkan rasa percaya diriku. Aku jadi mempunyai kisah yang menurutku sangat indah.  Hari di mana aku lewati bersama mu. Kadang sebuah peristiwa itu indah bukan karena peristiwanya. Tapi dengan siapa momen itu berlalu. Dan  peristiwa yang aku lalui sangat indah karena bersamamu.
Aku berharap bisa  bertemu denganmu lagi. Tolong, kalau surat ini sudah sampai  segera kasih kabar. Salam.
Dari Julian.
Setelah dilipat, surat itu segera kukirimkan. Aku berharap, besok pagi sudah sampai di tangan Anin. Keesokan harinya, aku kirim surat lagi untuk Anin. Hampir setiap hari, aku mengirim surat untuknya.