Aku sedikit gugup juga. Tepatnya takut kecewa. Lama kelamaan aku mulai menaruh harap. Pertunjukan teater dilakukan malam minggu. Aku khawatir dia membatalkan rencana nonton bersama aku secara tiba-tiba. Gadis secantik dia rasanya tidak mungkin malam minggu tanpa pacar.
Untunglah, kekhawatiranku tidak terjadi. Malam minggu aku  nonton teater  bersama Anin. Selama pertunjukan berlangsung, jantungku berdegup kencang. Aku jadi tidak konsen  pada pertunjukan itu.
Perasaanku campur aduk, Â antara senang, takut dan penuh harap. Â Sulit dijelaskan. Di satu sisi aku merasa yakin, dia punya perasaan suka, di sudut hati yang lain mengingatkan aku supaya tetap waspada. Janganlah keakraban dipandang sebagai ketertarikan.
Bisa jadi itu kemesraan sebagai sahabat. Ingin rasanya aku mengungkapkan bahwa aku tertarik. Bahkan tertarik  padanya sejak dia remaja tanggung. Tapi saking besarnya cinta,  sampai mengalahkan  keberanianku untuk mengungkapkan. Dan momen kebahagiaan terlewat tanpa aku sempat mengabadikannya. Dan tanpa sempat aku mengatakan cinta padanya. Padahal, beberapa kali Anin mencoba mencairkan suasana agar aku tidak terlalu tegang. Dia yang lebih dulu memegang tanganku.  Tapi sudut hatiku yang lain selalu mewanti-wanti jangan mudah terjebak.
"Memegang tangan bukan berarti apa-apa. Jangan terlalu berharap," teriak sisi hatiku yang lain.
Dan pertunjukan  selama dua jam berakhir tanpa aku mengerti jalan ceritanya. Dan selama itu pula aku malah berperang melawan diri sendiri. Perang antara hatiku untuk mengungkapkan perasaan dan niat untuk menahan diri. Begitu terus. Kadang keberanian mendominasi. Tak lama berselang rasa takut yang mendominasi.
Sejak saat itu, momen kebersamaan dengannya sering terjadi. Tapi sudah aku  putuskan   aku tak akan menyampaikan perasaan ini. Biarlah aku sebagai teman saja. Dan biarlah dia merasa nyaman begitu.
Dan tanpa terasa saatnya aku harus pulang kampung. Aku pulang dengan menumpang kapal penumpang. Anin berbaik hati bersedia mengantar aku ke pelabuhan. Pada saat perpisahan itu, aku kumpulkan seluruh keberanianku. Inilah saat yang paling tepat, dan tak ada kesempatan lagi untuk mengatakan langsung.
"Ada yang ingin aku sampaikan padamu," kataku.
"Bicaralah, aku akan mendengarkan," jawab Anin.
Mestinya, aku langsung mengatakan bahwa aku mencintaimu. Aku kagum padamu. Tapi dewa keberanian kalah berperang melawan rasa takut. Sehingga yang keluar bukan pernyataan cinta. Â