"Sapoe Sarebu, donasi Rp.1000/hari yang sebenarnya adalah pungutan etis yang tidak pantas karena rakyat sudah terbebani pajak wajib segudang."
Pemerintah Provinsi Jawa Barat punya jurus ninja baru yang sungguh menggetarkan jiwa, yaitu Gerakan Sapoe Sarebu. Secara harfiah, ia berarti menyisihkan seribu rupiah per hari. Inisiasi yang diklaim sebagai upaya mulia untuk menghidupkan kembali roh gotong royong Sunda ini (dengan tiga pilar Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh) ditujukan untuk menambal lubang-lubang nestapa sosial. Dana receh ini konon akan dipakai untuk membiayai kebutuhan mendesak warga kurang mampu, terutama urusan kesehatan darurat dan pendidikan.
Tujuan besarnya jelas, membangun jaring pengaman sosial yang kuat di tengah masyarakat. Siapa coba yang tidak terenyuh membaca klaim tersebut? Rasanya seperti kembali ke masa lalu, di mana reereongan dan jimpitan adalah norma, bukan lagi instruksi resmi dari pucuk pimpinan.
Namun, mari kita lupakan sejenak romantisme yang menyesakkan itu. Sebab, jika kita memasukkan program ini ke dalam kalkulator warung kopi dan menimbangnya dengan beban kewajiban fiskal yang ditanggung Warga Negara Indonesia (WNI) hari ini, Sapoe Sarebu langsung berubah wujud. Ia bukan lagi donasi ikhlas, melainkan manifestasi kemalasan negara yang paling menjengkelkan.
Mengacu pada laporan Kompas, gerakan ini telah menuai pro dan kontra, terutama di kalangan masyarakat yang merasa sudah melakukan kewajiban mereka membayar pajak. Inilah pangkal masalahnya, mengapa harus ada udunan lagi, padahal kita semua sudah jadi donatur wajib bagi negara.
Kita Sudah Bayar PPN, PPh, PKB, lalu Mau Dibebani Lagi?
Mari kita jujur pada diri sendiri. Sebagai WNI yang bernapas dan sesekali menggesek kartu, kita ini adalah dompet berjalan yang setiap hari dipotong, ditarik, dan dicolek oleh berbagai jenis pajak. Sistem perpajakan kita yang berlapis-lapis dan kompleks, mencakup segala lini kehidupan.
Baca juga:Â Fakta Lapangan Tentang Data Bansos Kita yang Penuh Tanda Tanya
Dilansir dari Konsultan Pajak Surabaya, mengenai jenis-jenis pajak, WNI terikat pada: Pajak Penghasilan (PPh) yang dipotong dari gaji dan pendapatan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus kita bayar setiap kali membeli barang atau jasa—yang tarifnya nggak main-main. Belum lagi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) bagi yang punya rezeki berlebih.
Itu baru pajak pusat. Begitu kita melangkah ke halaman rumah, kita disambut oleh pajak daerah yang tak kalah kejam. Ada Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) tahunan, ada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) untuk rumah yang kita tinggali.
Semua pajak ini, yang oleh Klikpajak.id digolongkan sebagai pajak langsung dan tidak langsung, memiliki satu tujuan mulia yang sama, yaitu membiayai pengeluaran negara, termasuk subsidi, pembangunan infrastruktur, dan tentu saja, jaring pengaman sosial untuk fakir miskin.