Sekar menutup buku dengan kasar. Nafasnya pendek-pendek. Di kepalanya, kalimat asing berdengung seperti lebah.
Kotak kayu itu tetap diam. Tapi Sekar tahu, ia telah membuka sesuatu yang tak bisa ditutup lagi.
Malam itu, saat kembali terlelap, ia mendengar suara langkah dari dalam kotak.
Kotak itu kini seperti rumah kedua. Sekar tak bisa menjauh darinya, seolah kayu berukir itu memancarkan tali tak terlihat yang menjerat pergelangan tangannya. Buku catatan, gunungan retak, dan bisikan yang semakin sering berputar di telinga—semua melebur dalam keseharian yang tak lagi normal.
Ia mencari bantuan. Bukan ke dokter, bukan psikiater. Justru ke seorang lelaki sepuh bernama Pak Wasis, yang lebih suka duduk di ruang berdebu ketimbang bersih-bersih. Pakar budaya Jawa, katanya. Tapi Sekar melihatnya seperti penjaga gudang sunyi, lebih akrab dengan manuskrip rapuh daripada manusia.
"Ini hanya catatan dalang tua," kata Pak Wasis, skeptis, sambil meneliti buku. Tangannya bergetar, tapi suaranya datar. "Teks puitis. Aksara dipelintir. Mungkin puisi. Mungkin mantra. Mungkin igauan."
Sekar ingin percaya. Tapi matanya melihat sesuatu yang tak dilihat Pak Wasis, gambar wayang di kertas itu bergerak. Arjuna tersenyum. Srikandi menoleh. Bima menggeram. Sekar menggenggam lengan kursi erat-erat.
Pak Wasis menghela napas, lalu membacakan sebuah bait. Kalimatnya mengalir seperti sungai yang tersedak batu. Dari bait itu, tersingkap nama seorang penari desa. Hilang puluhan tahun lalu. Tak pernah ditemukan. Konon, kakek buyut Sekar dituduh menyembunyikan, mungkin melenyapkan penari itu.
Sekar mendengar kisah itu dengan kepala berdenyut. Penari itu muncul di kepalanya. Rambut panjang, mata sendu, tubuh lentur. Lalu lenyap, menyisakan jejak yang baunya seperti tanah basah.
Malamnya, mimpi Sekar semakin tebal. Ia berada di panggung desa kosong. Lampu minyak redup. Penonton tak punya wajah, hanya bayangan. Di tengah panggung, penari itu menari sendiri, tubuhnya gemetar seperti daun ditampar angin. Sekar ingin memanggil, tapi lidahnya kaku.
Ketika terbangun, Sekar berdiri di depan cermin. Tubuhnya masih bergerak pelan, sisa tarian. Bibirnya berkomat-kamit menyebut nama yang tak ia kenal—nama penari itu.