"Mengubah duka pribadi menjadi taktik perang, Cut Nyak Dien membuat Belanda malu besar, membuktikan kecerdasan seorang pahlawan lebih kuat dari pedang."
Selalu ada satu nama yang terasa berbeda saat membaca buku sejarah di sekolah. Bukan yang digambarkan gagah berani di atas kuda, bukan yang mati dengan gagah di medan perang sambil memekikkan takbir. Sosok ini lebih kompleks, lebih membumi, dan lebih... manusia. Dia tidak mati dalam kemuliaan, dia ditangkap dalam keadaan sakit-sakitan, dan diasingkan jauh dari tanah kelahirannya. Ironisnya, justru dalam kisah yang tidak sempurna itulah, kita menemukan makna kepahlawanan yang sesungguhnya.
Nama itu adalah Cut Nyak Dien. Jika pahlawan lain sering kali digambarkan layaknya patung monumen, kaku dan tanpa emosi, Cut Nyak Dien adalah anomali yang luar biasa. Dia bukan hanya pejuang yang gigih, tapi juga otak di balik strategi perang, seorang perempuan yang mengubah duka pribadi menjadi api perlawanan yang tak terpadamkan. Sumpah yang ia ucapkan tidak main-main, bahkan membuat para perwira Belanda, yang arogan dan angkuh, kehilangan akal sehat dan harus menelan pil pahit kekalahan.
Dia adalah definisi sempurna dari pahlawan yang tidak hanya dikenang, tapi juga dihormati. Kisahnya adalah pengingat bahwa kepahlawanan tidak selalu harus tentang kesempurnaan. Ia bisa lahir dari air mata, dari akal-akalan licik, dan dari keberanian untuk melawan narasi yang sudah ada.
Pengkhianatan yang Memalukan Belanda, Disusun oleh Otak Cerdik
Kalau bicara soal Cut Nyak Dien, kita tidak bisa lepas dari taktik "pengkhianatan" yang dilakukan oleh Teuku Umar. Peristiwa ini, kalau menurut sejarawan Belanda, adalah salah satu episode paling memalukan dalam Perang Aceh. Teuku Umar pura-pura menyerah dan bergabung dengan Belanda, sebuah langkah yang membuat banyak orang—termasuk para pejuang Aceh—menganggapnya sebagai pengkhianat. Namun, seperti yang sering kita saksikan dalam film-film spionase, itu semua hanyalah bagian dari rencana besar.
Tentu saja, strategi ini bukan murni ide Teuku Umar seorang. Ada seorang perempuan cerdas di belakangnya. Dikutip dari artikel di Kumparan.com, taktik brilian ini disusun untuk mendapatkan senjata dan amunisi dari Belanda secara gratis. Strategi ini berhasil membuat Teuku Umar dan pasukannya memperoleh 800 senjata, 25.000 amunisi, dan 500 kilogram timah hitam. Belanda kena batunya, dibayar lunas dengan sebuah tipuan yang sungguh memalukan. Ini membuktikan bahwa kepahlawanan tidak hanya soal adu pedang atau kekuatan fisik, tapi juga kecerdasan untuk mengelabui musuh.
Duka Pribadi yang Menjelma Jadi Amarah Kolektif
Sebelum semua strategi licik itu, ada satu momen yang mengubah hidupnya secara total. Momen yang mengubah seorang wanita dari kaum bangsawan menjadi pejuang yang paling ditakuti. Itu adalah saat suaminya yang pertama, Teuku Cek Ibrahim Lamnga, gugur dalam pertempuran. Peristiwa itu, kalau menurut banyak buku sejarah, adalah awal dari segalanya. Ia bersumpah di depan mayat suaminya bahwa ia akan menghancurkan Belanda sampai ke akar-akarnya.
Baca juga:Â 200 Tahun Perang Jawa, Mengingat Sejarah Pangeran Diponegoro yang Berdarah
Dilansir dari artikel Tirto.id, sumpah itu tidak main-main. Ia menolak menyerah dan terus mengobarkan perlawanan, bahkan setelah Aceh resmi dikuasai Belanda. Sumpah itu begitu sakral sampai ia terus berjuang selama 20 tahun, dengan pasukannya yang terus bergerak dari satu hutan ke hutan lain. Ia berjuang dengan kondisi fisik yang semakin lemah, bahkan di masa tuanya. Itu bukan lagi soal membalas dendam, tapi sudah menjadi janji suci kepada bangsanya. Duka personalnya menjelma menjadi amarah kolektif yang tak bisa dipadamkan.
Pahlawan yang Diakui Musuh dan Kita Lupakan
Kisah Cut Nyak Dien tidak berhenti pada penangkapan dan pengasingannya. Sebenarnya, di situlah kisah sesungguhnya dimulai. Setelah ia ditangkap, bukannya dihabisi, ia malah diasingkan ke Sumedang. Mengapa? Karena Belanda sendiri, yang sudah lelah dan frustrasi, sadar bahwa membunuh Cut Nyak Dien sama saja dengan menciptakan martir. Mereka memilih untuk membiarkan api perjuangan itu mati perlahan di tempat yang jauh dari tanah kelahirannya. Sebuah penghormatan yang ironis, bukan?
Bahkan dalam kelemahannya, ia tetap menjadi sosok yang dihormati. Buktinya, ia tidak ditempatkan di penjara, melainkan di rumah pengasingan. Ia dihormati sebagai tahanan politik yang berbahaya. Ini adalah pengakuan paling jujur dan berharga dari seorang musuh. Setelah ia wafat dan dimakamkan di sana, selama puluhan tahun keberadaan makamnya tidak diketahui. Mengutip dari Vredeburg.id, makamnya baru ditemukan kembali pada tahun 1959, jauh setelah Indonesia merdeka. Ini seolah-olah makam pahlawan yang kita banggakan justru lebih dulu dilupakan oleh bangsa sendiri.
Tapi ya sudahlah. Kita ini kan bangsa yang gampang sekali melupakan. Kita lebih suka merayakan pahlawan dengan nama jalan atau tugu yang seringnya kotor. Kita lebih suka menjadikan foto pahlawan sebagai wallpaper ponsel atau materi presentasi seremonial, tanpa benar-benar meresapi makna perjuangan mereka. Cut Nyak Dien adalah pengingat bahwa pahlawan sejati itu bukan soal seragam atau pangkat. Pahlawan sejati adalah orang yang berani mengambil risiko, yang mengubah duka menjadi kekuatan, dan yang bisa memutar otak musuh hingga kehilangan akal.
.
Cut Nyak Dien, Pahlawan yang Terlalu Manusiawi
Cut Nyak Dien mungkin pahlawan yang paling manusiawi dari semuanya. Ia bukan karikatur yang sempurna. Ia adalah perempuan yang marah, berduka, dan kejam pada musuhnya. Ia bukan pahlawan yang selalu heroik dan menang. Ia ditangkap, diasingkan, dan mati dalam kesendirian. Tapi justru karena itulah dia begitu luar biasa. Ia membuktikan bahwa untuk menjadi pahlawan, tidak perlu selalu menang. Kadang, yang terpenting adalah berani mengambil risiko, berani menggunakan otak, dan yang paling penting, tidak pernah menyerah.
Kalau kita cuma bisa mengagumi fotonya yang hitam putih, mungkin kita perlu malu pada diri sendiri. Karena di balik foto itu, ada sosok yang membuat Belanda pusing tujuh keliling, sementara kita, penerus bangsa ini, cuma bisa pusing tujuh keliling melihat tingkah polah pejabat kita dan pajak kendaraan yang naik. Sungguh sebuah ironi yang begitu menyakitkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI