Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rakyat Adalah Tuan, Tapi Kok Tuannya Cuma Bisa Ngontrak di Istana Sendiri?

2 September 2025   08:28 Diperbarui: 1 September 2025   09:39 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses pembangunan gedung tempat Wakil Rakyat berkantor (Sumber: MPR.go.id)

"Membongkar ironi kedaulatan rakyat yang hanya jadi pajangan, saat wakil rakyat buta dan tuli pada penderitaan, dan aparat berubah jadi satpam elite."

Saat saya sedang asyik ngopi. Di layar ponsel, viral video orang-orang teriak-teriak di depan gedung Conefo alias gedung DPR/MPR yang katanya milik rakyat. Tangan mereka mengacung tinggi, menyuarakan apa yang disebut hati nurani. Awalnya biasa saja, tapi lalu ada kejadian yang membuat perut saya melintir. Seorang driver ojol yang bernama Affan Kurniawan terkapar, tergilas—mungkin lebih tepat digilas oleh kendaraan tempur Brimob, dan seketika semua berubah. Demo yang awalnya cuma soal uang tunjangan mendadak jadi ratapan tentang nyawa. Obrolan di warung kopi pun tak lagi soal bola, tapi soal kedaulatan yang entah kenapa terasa begitu jauh.

Tentu, sebagai warga yang kebetulan waras, saya coba merenung. Bukannya kita ini, rakyat, yang punya kedaulatan? Bukannya mereka yang di dalam gedung itu cuma pelayan kita? Lantas, kenapa para pelayan itu justru punya kuasa untuk mematikan suara majikannya? Rasanya seperti seorang raja yang diusir dari istananya sendiri.

Kedaulatan Itu Bernama Rakyat, Konon

Dalam buku-buku sekolah, kita diajari bahwa negara kita menganut paham kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945—yang entah kenapa makin sering disebut akhir-akhir ini—dengan tegas bilang, kedaulatan itu di tangan rakyat. Mengacu pada dokumen resmi dari DPR RI, kedaulatan rakyat ini adalah sebuah prinsip fundamental yang menempatkan kita semua sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Tapi entah kenapa, pemegang kuasa tertinggi itu justru yang paling sering kena gas air mata.

Ini bukan cuma soal teks di konstitusi. Ini tentang bagaimana kita, sebagai rakyat, seharusnya bisa menentukan nasib. Aksi demonstrasi adalah salah satu wujud kedaulatan itu. Itu adalah momen ketika sang tuan—yaitu rakyat—keluar dari persembunyiannya di warung kopi dan gang-gang sempit, lalu bersuara lantang di depan istananya. Masalahnya, istana itu kini dijaga ketat oleh tembok-tembok pengeras suara dan barikade besi.

Dilansir dari laman UII, amandemen konstitusi menegaskan bahwa kedaulatan itu dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, bukan lagi sepenuhnya oleh MPR. Artinya, kedaulatan itu langsung ada pada kita. Sayangnya, mereka yang seharusnya menjalankan amanah ini sepertinya lupa, atau memang sengaja bikin amnesia massal. Rakyat diminta sabar, sementara para wakilnya asyik joget-joget di atas penderitaan.

Baca juga: Digaji Pajak Rakyat, Kok Malah Melindas Rakyat

Ternyata, Wakil Rakyat Hanya Angka-Angka di Kertas

Mengapa rakyat merasa perlu turun ke jalan? Alasan paling sering disebut adalah karena wakil-wakilnya tak lagi mau mendengarkan. Malah, mereka sibuk dengan urusan kantongnya sendiri. Wacana kenaikan tunjangan, misalnya, menjadi bensin paling pas untuk membakar kemarahan publik. Orang-orang di luar sana susah cari kerja, sementara wakilnya sibuk mengurus tunjangan perumahan puluhan juta.

Sebuah artikel di Kompas Money menyebutkan ironi yang bikin sesak napas, gaji pokok DPR sebetulnya di bawah UMR, tapi tunjangan dan fasilitasnya bisa mencapai ratusan juta. Angka ini jauh, sekali lagi, jauh, di atas rata-rata gaji rakyat. Mengutip perbandingan dari CNBC Indonesia, rasio pendapatan anggota parlemen dengan rakyatnya di negara kita bisa mencapai puluhan kali lipat. Sementara di negara lain, seperti Jerman atau Amerika, rasionya jauh lebih kecil.

Ini bukan cuma soal uang. Ini soal empati yang sudah mati. Ketika wakil rakyat hidup di menara gading dan punya mobil mewah, sementara rakyatnya pontang-panting mencari nafkah, komunikasi akan terputus. Mereka yang seharusnya menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyat justru menjelma menjadi jurang yang memisahkan. Seolah-olah, mereka bukan lagi cerminan kita, melainkan pantulan dari ilusi kekuasaan yang kelewat mewah.

Polisi, Dari Pengayom jadi "Rottweiler" Para Elite

Ketika rakyat yang sudah muak memutuskan untuk bersuara di jalan, di situlah peran aparat menjadi sorotan. Fungsi idealnya, menurut laman Polda Kepri, adalah mengayomi dan menjaga ketertiban. Namun, yang terlihat di depan mata justru sebaliknya. Aparat yang seharusnya melindungi rakyat, justru bertindak represif, membungkam suara-suara sumbang dengan kekerasan.

Tragedi demi tragedi yang terjadi di lapangan menjadi bukti bahwa aparat bukan lagi pengayom. Mereka lebih mirip anjing Rottweiler yang bertugas menjaga "properti" para elite. Laporan dari ICJR bahkan menyebutkan bahwa kekerasan negara sudah masuk tahap darurat. Mereka menuntut pertanggungjawaban dari semua pihak, dari pimpinan Polri hingga Presiden. Ini bukan lagi soal oknum, tapi soal sistem yang membuat aparat merasa punya hak untuk menginjak-injak hak asasi warga negara.

Ketika kedaulatan yang seharusnya dipegang rakyat, justru dilayani oleh pentungan, gas air mata, dan bahkan kendaraan taktis. Apa yang tersisa dari sebuah demokrasi? Mungkin yang tersisa hanyalah nama, tapi isinya sudah kosong. Aparat yang seharusnya menjadi simbol keadilan, malah menjadi perwujudan ketidakadilan itu sendiri.

Baca juga: Ambulans, Kendaraan Penyelamat yang Malah Jadi Musuh Brimob?

Mengapa Mereka Teriak, Memangnya Para Wakil Rakyat Tuli?

Tentu saja, para anggota DPR tidak tuli. Mereka bisa mendengar teriakan dan tuntutan para demonstran. Tuntutan mereka bukan cuma soal mencabut wacana kenaikan gaji. Itu hanya pemantik. Yang sesungguhnya mereka tuntut adalah keadilan, harkat, dan martabat. Mereka menuntut agar wakil-wakil mereka kembali mendengarkan. Mereka menuntut agar aparat tidak lagi menjadi alat kekerasan.

Tuntutan mereka adalah suara dari kedaulatan yang selama ini terabaikan. Suara yang lahir dari pengalaman hidup yang berat, dari gaji yang tak kunjung naik, dari korupsi yang tak ada habisnya. Teriakan mereka adalah pengingat bahwa di balik semua janji politik dan retorika manis, ada jutaan orang yang hidup dalam realitas yang jauh dari kata sejahtera.

Jadi, ketika ada yang bilang demonstrasi itu anarkis, mungkin kita perlu bertanya, "Siapa yang membuat mereka anarkis?" Ketika kedaulatan yang seharusnya dipegang oleh rakyat justru dilayani dengan ketulian, cacian, dan represi, jangan heran jika rakyat itu akhirnya memilih cara-cara yang lebih berisik.

Mari Lanjut Ngopi, dan Bicara Soal Kedaulatan

Saya kembali pada kopi saya. Di samping saya, seorang kawan merokok dan menggelengkan kepala. Kita berdua sepakat, ada yang salah dengan negeri ini. Kedaulatan yang kita banggakan di buku sejarah, ternyata hanya menjadi pajangan. Tuan yang sesungguhnya kini harus berjuang keras hanya untuk didengarkan.

Mungkin sudah saatnya kita berhenti menganggap kedaulatan rakyat sebagai mitos atau sekadar jargon politik. Kedaulatan itu adalah napas yang harus terus kita hembuskan. Ia harus diperjuangkan setiap hari, tidak hanya di depan gedung wakil rakyat. Ia harus hidup dalam setiap percakapan kita, di setiap pilihan kita, dan di setiap kritik yang kita lontarkan. Mungkin dengan begitu, tuan yang sesungguhnya bisa kembali ke takhtanya, tanpa harus ngontrak di istananya sendiri.

Bosan dengan kedaulatan yang cuma jadi dongeng sebelum tidur? Jemu melihat wakil rakyat yang sibuk menumpuk rupiah, sementara kita disuguhi gas air mata? Jangan biarkan amarah membutakan akal sehat. Ingat, setiap aspal yang kita injak, setiap lampu jalan yang menerangi malam, dan bahkan setiap gedung yang kita demo, semuanya dibeli dari uang keringat kita. Maka, berteriaklah dengan lantang, bersuaralah dengan tegas, tapi pastikan suaramu tidak merusak apa pun, sebab tak ada gunanya menghancurkan milik kita sendiri demi mengingatkan mereka yang buta dan tuli.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun