Ketika rakyat yang sudah muak memutuskan untuk bersuara di jalan, di situlah peran aparat menjadi sorotan. Fungsi idealnya, menurut laman Polda Kepri, adalah mengayomi dan menjaga ketertiban. Namun, yang terlihat di depan mata justru sebaliknya. Aparat yang seharusnya melindungi rakyat, justru bertindak represif, membungkam suara-suara sumbang dengan kekerasan.
Tragedi demi tragedi yang terjadi di lapangan menjadi bukti bahwa aparat bukan lagi pengayom. Mereka lebih mirip anjing Rottweiler yang bertugas menjaga "properti" para elite. Laporan dari ICJR bahkan menyebutkan bahwa kekerasan negara sudah masuk tahap darurat. Mereka menuntut pertanggungjawaban dari semua pihak, dari pimpinan Polri hingga Presiden. Ini bukan lagi soal oknum, tapi soal sistem yang membuat aparat merasa punya hak untuk menginjak-injak hak asasi warga negara.
Ketika kedaulatan yang seharusnya dipegang rakyat, justru dilayani oleh pentungan, gas air mata, dan bahkan kendaraan taktis. Apa yang tersisa dari sebuah demokrasi? Mungkin yang tersisa hanyalah nama, tapi isinya sudah kosong. Aparat yang seharusnya menjadi simbol keadilan, malah menjadi perwujudan ketidakadilan itu sendiri.
Baca juga:Â Ambulans, Kendaraan Penyelamat yang Malah Jadi Musuh Brimob?
Mengapa Mereka Teriak, Memangnya Para Wakil Rakyat Tuli?
Tentu saja, para anggota DPR tidak tuli. Mereka bisa mendengar teriakan dan tuntutan para demonstran. Tuntutan mereka bukan cuma soal mencabut wacana kenaikan gaji. Itu hanya pemantik. Yang sesungguhnya mereka tuntut adalah keadilan, harkat, dan martabat. Mereka menuntut agar wakil-wakil mereka kembali mendengarkan. Mereka menuntut agar aparat tidak lagi menjadi alat kekerasan.
Tuntutan mereka adalah suara dari kedaulatan yang selama ini terabaikan. Suara yang lahir dari pengalaman hidup yang berat, dari gaji yang tak kunjung naik, dari korupsi yang tak ada habisnya. Teriakan mereka adalah pengingat bahwa di balik semua janji politik dan retorika manis, ada jutaan orang yang hidup dalam realitas yang jauh dari kata sejahtera.
Jadi, ketika ada yang bilang demonstrasi itu anarkis, mungkin kita perlu bertanya, "Siapa yang membuat mereka anarkis?" Ketika kedaulatan yang seharusnya dipegang oleh rakyat justru dilayani dengan ketulian, cacian, dan represi, jangan heran jika rakyat itu akhirnya memilih cara-cara yang lebih berisik.
Mari Lanjut Ngopi, dan Bicara Soal Kedaulatan
Saya kembali pada kopi saya. Di samping saya, seorang kawan merokok dan menggelengkan kepala. Kita berdua sepakat, ada yang salah dengan negeri ini. Kedaulatan yang kita banggakan di buku sejarah, ternyata hanya menjadi pajangan. Tuan yang sesungguhnya kini harus berjuang keras hanya untuk didengarkan.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti menganggap kedaulatan rakyat sebagai mitos atau sekadar jargon politik. Kedaulatan itu adalah napas yang harus terus kita hembuskan. Ia harus diperjuangkan setiap hari, tidak hanya di depan gedung wakil rakyat. Ia harus hidup dalam setiap percakapan kita, di setiap pilihan kita, dan di setiap kritik yang kita lontarkan. Mungkin dengan begitu, tuan yang sesungguhnya bisa kembali ke takhtanya, tanpa harus ngontrak di istananya sendiri.
Bosan dengan kedaulatan yang cuma jadi dongeng sebelum tidur? Jemu melihat wakil rakyat yang sibuk menumpuk rupiah, sementara kita disuguhi gas air mata? Jangan biarkan amarah membutakan akal sehat. Ingat, setiap aspal yang kita injak, setiap lampu jalan yang menerangi malam, dan bahkan setiap gedung yang kita demo, semuanya dibeli dari uang keringat kita. Maka, berteriaklah dengan lantang, bersuaralah dengan tegas, tapi pastikan suaramu tidak merusak apa pun, sebab tak ada gunanya menghancurkan milik kita sendiri demi mengingatkan mereka yang buta dan tuli.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI