Baca juga:Â Ancaman Anomali Brainrot, Bagaimana Tiktok & Media Sosial Merusak Otak Generasi Muda
Apa yang Hilang Saat Kita Terlalu Asyik sama AI?
Selain ilusi kedekatan dan risiko saran yang menyesatkan, ada harga mahal yang harus dibayar saat kita terlalu sering menyerahkan hati pada AI.
Mengikis Kemampuan Berinteraksi di Dunia Nyata
Salah satu dampak paling nyata dari ketergantungan curhat ke AI adalah terkikisnya kemampuan kita untuk berinteraksi dan membangun hubungan di dunia nyata. Saat kita terbiasa mendapatkan respons instan dan tanpa drama dari AI, kita mungkin jadi enggan menghadapi kompleksitas emosi dan dinamika sosial antarmanusia.
Gen Z, yang seperti disinggung sebelumnya banyak menganggap AI sebagai sahabat, berisiko kehilangan kesempatan berharga untuk belajar empati, menyelesaikan konflik, atau merasakan dukungan dari komunitas nyata. Padahal, keterampilan ini sangat penting untuk pertumbuhan pribadi dan kesejahteraan emosional jangka panjang. Kita butuh berproses, berdebat, berbaikan, dan berbagi tawa serta air mata dengan manusia sungguhan. Itu yang membuat kita tumbuh.
Jeratan Posesif dari Balik Layar
Jangan lupa, AI adalah produk. Dan seperti produk lainnya, ia dirancang untuk membuat penggunanya tetap setia. Desainnya seringkali dibuat posesif agar kita terus kembali dan menggunakan platform mereka. Informasi pribadi dan emosional yang kita bagikan pun mungkin tidak sepenuhnya aman. Meskipun pengembang mengklaim menjaga privasi, risiko kebocoran data atau penggunaan informasi untuk tujuan komersial selalu ada. Kita menyerahkan sebagian diri kita ke tangan yang tidak benar-benar bisa kita pahami.
Jadi, Haruskah Kita Stop Curhat ke AI?
Tentu saja, AI bukan sepenuhnya musuh. Ia bisa menjadi alat yang berguna untuk mendapatkan informasi, brainstorming ide, atau sekadar teman ngobrol ringan. Masalahnya muncul ketika kita menjadikannya pengganti utama untuk kebutuhan emosional yang seharusnya dipenuhi oleh interaksi manusia atau bantuan profesional.
Kapan Harus Mencari Bantuan yang Sebenarnya?
Saat kita merasa sangat terpuruk, mengalami masalah kesehatan mental yang serius, atau butuh seseorang yang benar-benar bisa memahami kedalaman emosi, AI bukanlah jawabannya. Kita membutuhkan empati, validasi, dan panduan yang hanya bisa diberikan oleh manusia. Seorang psikolog, konselor, atau terapis profesional memiliki pelatihan, pengalaman, dan kode etik untuk membantu kita menavigasi kesulitan hidup. Mereka bisa melakukan diagnosis yang tepat, memberikan terapi yang sesuai, dan menyediakan lingkungan yang aman dan rahasia.
Dikutip dari Hello Sehat, AI memang bisa memberikan dukungan awal, tetapi tidak bisa menggantikan peran terapis sungguhan. Senada dengan itu, di UMS News, Psikolog Universitas Muhammadiyah Surakarta menegaskan bahwa AI tidak bisa gantikan empati manusia.
Keseimbangan Ada di Tangan Kita
Pada akhirnya, kita yang memegang kendali. AI adalah alat, bukan pengganti hubungan manusia yang kompleks dan kaya. Kita boleh memanfaatkannya untuk hal-hal yang tepat, tapi jangan biarkan ia mengisi kekosongan yang seharusnya diisi oleh keluarga, sahabat, atau bantuan dari profesional. Mari kita jaga keseimbangan, tetaplah mencari koneksi sejati dengan sesama manusia, dan jangan ragu mencari bantuan ahli saat jiwa kita membutuhkan pelukan yang sesungguhnya. Karena ketenangan hati dan jiwa, seperti yang pernah disebut, adalah barang langka di zaman bising ini, dan itu tidak bisa kita dapatkan dari sebaris kode algoritma.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI