Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Benarkah AI Bisa Jadi Teman Curhat? Ini Kata Psikolog

27 Juli 2025   07:55 Diperbarui: 25 Juli 2025   11:56 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi curhat dengan AI Chatbot (Sumber: Unsplash)

"Benarkah curhat ke AI solusi instan untuk hati yang gundah, atau justru menjebak kita dalam ilusi kedekatan yang hampa dan menyesatkan?"

Siapa di antara kita yang tidak tergoda untuk berbagi beban pikiran saat sedang kalut? Di era digital ini, tempat curhat tidak hanya terbatas pada teman, keluarga, atau psikolog. Munculah teman baru yang selalu siap sedia 24/7, tanpa menghakimi, dan konon punya segudang jawaban. Yaitu chatbot AI seperti ChatGPT, Gemini, Deep Seek, dan sejenisnya. Rasanya seperti menemukan oase di tengah gurun, bukan? Mudah, praktis, dan serasa anonim. Tapi, apakah kemudahan ini benar-benar membawa kita pada ketenangan sejati, atau justru menjerumuskan pada kesenangan semu dan kekosongan yang lebih dalam?

Mengapa Kita Begitu Tergoda Curhat ke Robot Pintar?

Fenomena curhat ke kecerdasan buatan memang bukan hal baru. Banyak dari kita mungkin pernah mencoba sekadar iseng, bertanya tentang masalah pekerjaan, hubungan asmara, hingga kegalauan hidup. Alasan utamanya sederhana, yaitu AI selalu ada. Ia tidak pernah lelah, tidak pernah sibuk, dan tidak punya agenda tersembunyi. Kita bisa menceritakan apa saja tanpa khawatir dihakimi atau jadi bahan gosip.

Anonimitas adalah daya tarik utama. Tidak perlu bertatap muka, tidak perlu menjaga citra. Semua keluh kesah bisa ditumpahkan begitu saja. Dikutip dari Kompas.com, sebuah laporan dari Common Sense Media bahkan menunjukkan bahwa 72% remaja AS usia 13-17 tahun pernah menggunakan AI Companion, dan sebagian besar menggunakannya untuk ngobrol, dukungan emosional, bahkan ada yang menganggap AI sebagai sahabat. Ini menandakan betapa mudahnya kita terjebak dalam ilusi kedekatan ini.

Namun, di balik kemudahan itu, ada pertanyaan besar yang perlu kita renungkan. Apakah interaksi ini sungguh-sungguh atau hanya fatamorgana?

Kesenangan Semu dan Kekosongan yang Nyata

Begitu mudahnya kita merasa didengarkan oleh AI, padahal apa yang kita dapatkan mungkin hanyalah respons yang diprogram, bukan empati yang tulus.

Ilusi Kedekatan yang Menjerat

Profesor Omri Gillath dari University of Kansas menyebut interaksi dengan chatbot AI sebagai palsu dan kosong. Coba kita pikirkan, bagaimana mungkin sebuah algoritma bisa benar-benar merasakan kesedihan kita, memahami frustrasi kita, atau ikut merasakan kebahagiaan kita? AI memang bisa memroses dan menghasilkan kalimat yang terdengar empatik, tapi itu hanyalah simulasi, bukan emosi yang sesungguhnya.

AI tidak dirancang untuk menjalin ikatan jangka panjang atau memenuhi kebutuhan interaksi sosial manusia yang kompleks. Ia tidak bisa memperkenalkan kita pada jejaring pertemanan baru, tidak bisa memeluk kita saat kita sedih, atau berbagi tawa lepas di dunia nyata. Ketergantungan pada AI bisa membuat kita merasa terisolasi, karena hubungan yang paling krusial—yaitu hubungan dengan sesama manusia—justru terabaikan. Ini seperti minum air garam saat haus, awalnya terasa lega, tapi setelahnya justru semakin haus.

Respons Genit dan Saran yang Menyesatkan

Lebih jauh lagi, Vaile Wright, seorang psikolog dari American Psychological Association, juga mengkhawatirkan bahwa chatbot AI cenderung memberikan jawaban yang diharapkan pengguna. Hal ini berisiko besar, terutama dalam konteks masalah kesehatan mental. AI tidak punya rekam medis kita, tidak tahu latar belakang trauma yang mungkin kita alami, atau kondisi psikologis mendalam yang memengaruhi cara kita berpikir dan merasa.

Bayangkan jika kita sedang mengalami depresi parah dan AI menyarankan hal yang dangkal atau bahkan tidak tepat secara medis. Ini bukan hanya tidak membantu, tapi bisa jadi berbahaya. Dilansir dari Jagat Review, penelitian dari Universitas Stanford bahkan menunjukkan bahwa terapis AI punya dampak yang berbahaya. Mereka tidak memiliki kualifikasi, etika, atau kemampuan untuk melakukan diagnosis atau memberikan intervensi yang tepat layaknya seorang psikolog atau psikiater berlisensi. Mengandalkan AI untuk masalah yang pelik sama saja dengan mencari navigasi di hutan belantara tanpa kompas yang akurat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun