"Media sosial itu ibarat pisau bermata dua, di satu sisi menghubungkan dunia, di sisi lain justru jadi pemicu utama krisis mental yang menggerogoti ketenangan Gen Z."
Pernahkah merasa hati tiba-tiba ciut saat melihat teman pamer liburan di luar negeri? Atau mendadak merasa hidup kurang keren cuma gara-gara linimasa penuh capaian orang lain yang bikin mata melotot? Ah, itu dia. Namanya FOMO, Fear of Missing Out. Bukan cuma jargon anak gaul yang nongkrong di kafe, tapi ini realitas pahit yang diam-diam menggerogoti ketenangan batin banyak orang, terutama Gen Z.
Media sosial, dengan segala hingar bingarnya, memang seperti jendela tanpa batas ke kehidupan orang lain. Kita terus-menerus disuguhi versi sempurna dari hidup teman, selebriti, atau bahkan orang yang tidak kita kenal sama sekali. Mirip katalog barang mahal yang tiap hari dipajang depan mata, padahal isi dompet cuma pas-pasan. Ini menciptakan tekanan luar biasa untuk selalu tampil prima, selalu bahagia, selalu on, padahal sejatinya batin menjerit dan ingin rebahan saja. Lucunya, tekanan ini bukan datang dari bos di kantor, tapi dari layar gadget yang selalu di tangan.
Ilusi Kesempurnaan yang Merusak Diri
Mengapa perasaan ini bisa begitu kuat? Salah satu alasannya adalah budaya perbandingan sosial yang tiada henti. Di media sosial, setiap orang berlomba-lomba memamerkan sisi terbaiknya, senyum lebar saat liburan, hidangan mewah di restoran bintang lima, atau promosi jabatan yang bikin iri. Kita jadi lupa, apa yang terpampang di linimasa itu seringkali hanya puncak gunung es, bukan keseluruhan cerita di baliknya. Ada tumpukan kegagalan, kesedihan, dan perjuangan yang sengaja disembunyikan.
Paparan media sosial yang berlebihan dapat memicu berbagai masalah kesehatan mental pada remaja, termasuk kecemasan dan depresi, karena intensitas perbandingan sosial yang tinggi. Kita terjebak dalam jebakan "rumput tetangga selalu lebih hijau," padahal rumput itu seringkali hasil editan filter atau angle foto yang pas. Akibatnya, rasa syukur pada diri sendiri kian menipis, digantikan oleh rasa iri dan ketidakpuasan. Perbandingan sosial yang konstan berkontribusi pada peningkatan risiko depresi dan kecemasan.
Baca juga: Kesehatan Mental Gen Z dan Milenial, Suka Baperan atau Memang Sudah Gawat Darurat?
Ketika Like Menjadi Ukuran Harga Diri
Di era digital ini, nilai diri seseorang kadang diukur dari jumlah like, komentar, dan followers. Rasanya, kalau postingan kita sepi like, ada yang kurang dalam hidup. Ini bukan sekadar mencari perhatian, tapi sudah menjadi kebutuhan akan validasi. Setiap hati dan jempol ke atas seolah menjadi afirmasi bahwa kita diterima, disukai, dan penting.
Mengacu pada Halodoc, kebutuhan akan validasi melalui like dan komentar adalah salah satu alasan utama mengapa Gen Z lebih rentan terhadap gangguan mental. Demi mendapatkan validasi ini, tidak sedikit yang akhirnya memalsukan kebahagiaan atau menciptakan citra diri yang tidak otentik. Kita terjebak dalam perlombaan untuk memenuhi standar visual yang seringkali mustahil. Saat validasi yang diharapkan tidak datang, atau justru mendapatkan komentar negatif, rasanya seperti dihantam batu besar. Harga diri langsung ambruk, kecemasan merayap, dan pertanyaan "apakah aku cukup baik?" mulai memenuhi kepala.
Bayangan Gelap Bernama Cyberbullying
Selain ilusi kesempurnaan dan haus validasi, ada satu lagi momok yang selalu mengintai di balik layar, yaitu cyberbullying. Lingkungan daring yang anonim dan tanpa batasan geografis membuat bullying tidak lagi terbatas di lorong sekolah atau kantor. Sekarang, serangan bisa datang kapan saja, di mana saja, bahkan saat kita sedang bersantai di rumah. Komentar kejam, ejekan, ancaman, hingga penyebaran berita bohong bisa menyerang tanpa ampun.
Media sosial bisa jadi racun bagi kesehatan mental Gen Z, menyoroti bagaimana tekanan untuk tampil sempurna dan efek negatif dari konten yang tidak realistis diperparah oleh ancaman seperti cyberbullying. Dampaknya? Bisa sangat fatal. Trauma emosional, kecemasan parah, depresi, hingga keinginan untuk mengakhiri hidup. Korban merasa tidak memiliki tempat aman, karena ponsel yang seharusnya menjadi alat komunikasi malah berubah menjadi sumber teror yang tak bisa dimatikan begitu saja.