Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Saat Media Sosial Menjadi Racun Mental Gen Z

16 Juli 2025   07:00 Diperbarui: 16 Juli 2025   07:00 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan tentu saja, kita tidak bisa melupakan si FOMO alias Fear Of Missing Out tadi. Kecemasan akan melewatkan pengalaman atau informasi penting yang dimiliki orang lain, yang terus-menerus disajikan di linimasa, adalah pendorong utama penggunaan media sosial yang kompulsif. Kita merasa harus selalu memeriksa update, jangan sampai ada tren baru yang terlewat, atau ada event seru yang teman-teman hadiri tanpa kita.

Fenomena ini, seperti yang dijelaskan di situs resmi Pemerintah Gunung Kidul, berkontribusi pada dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental, termasuk kecemasan dan depresi, karena individu terus-menerus merasa harus terhubung. Alhasil, jam tidur berkurang, pikiran terus berputar memikirkan apa yang terjadi di dunia maya, dan kecemasan menjadi teman setia. Istirahat jadi barang mewah, ketenangan batin jadi barang langka. Hidup kita seolah terpaku pada apa yang orang lain lakukan, bukan pada apa yang benar-benar kita inginkan atau butuhkan.

Saatnya Sadar, Media Sosial Bukan Segalanya

Kombinasi antara perbandingan sosial yang toksik, ketergantungan pada validasi digital, ancaman cyberbullying yang kejam, dan tekanan FOMO yang tak berkesudahan, menciptakan resep ampuh untuk kecemasan dan rendah diri. Ini bukan lagi sekadar tren atau gaya hidup, melainkan krisis kesehatan mental yang nyata dan mendalam, terutama bagi Gen Z yang tumbuh besar di era digital ini.

Kita perlu ingat, hidup di balik layar jauh lebih kompleks dari apa yang terlihat di linimasa. Setiap orang punya perjuangan masing-masing, dan kesempurnaan itu hanya ilusi. Penting bagi kita untuk meningkatkan literasi digital, belajar membatasi penggunaan media sosial, dan berhenti membandingkan diri dengan standar yang tidak realistis. Carilah validasi dari diri sendiri, dari hubungan nyata, dan dari pencapaian yang benar-benar bermakna bagi hidup. Dunia tanpa batas media sosial memang menawarkan banyak hal, tapi jangan sampai itu menjadi beban tanpa henti yang merenggut ketenangan jiwa kita. Sudah saatnya kita sadar, bahwa kesehatan mental jauh lebih berharga daripada jumlah like atau popularitas di dunia maya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun