"Ketika gulai, grafik, dan statin saling berebut perhatian, Uwak Rosi justru menemukan bahwa berdamai dengan kolesterol butuh lebih dari sekadar jadwal minum obat—ia butuh sepiring ketenangan dan sejumput humor."
Pukul tujuh pagi, dan bau daging rebus sudah menempel di langit-langit rumah. Dapur rumah Uwak Rosi berubah jadi markas besar operasional Idul Adha: ada baskom merah isi paru, wajan besar miring di atas tungku, dan cucu-cucu yang mondar-mandir membawa plastik hitam berisi daging mentah seperti kurir gelap.
"Lemaknya pisahin! Itu yang bikin kolesterol naik! Jangan semua dicemplungin ke rendang!"
Suara Uwak Rosi menggema lebih keras dari gema takbir di masjid ujung kampung.
Uwak Rosi berdiri di antara kompor dan pintu belakang, pakai daster bunga warna magenta dan bando dari plastik kaku. Di tangan kirinya ada sendok sayur, di tangan kanan, dan tentu saja—selembar kertas sobekan kalender, bekas coretan perhitungan kandungan lemak. Uwak Rosi, mantan guru Biologi, selalu percaya bahwa logika dan jadwal bisa menyelamatkan umat manusia dari kehancuran organ dalam.
"Paru itu spons! Dia nyerap minyak!" katanya tegas sambil menunjuk baskom.
Cucu-cucunya mengangguk, walau sebenarnya tidak paham. Bagi mereka, paru itu lauk, bukan perangkat pernapasan.
Tahun ini, yang membuat Uwak Rosi gelisah bukan cuma jumlah tongseng, tapi satu artikel yang ia baca semalam. Judulnya panjang dan menyebalkan: "Kapan Waktu Terbaik Minum Obat Kolesterol Setelah Pesta Daging Kurban?"
Ia baca pelan-pelan, dua kali. Lalu matanya membesar seperti tutup panci.
"Obat statin paling optimal diminum malam hari saat produksi kolesterol tubuh mencapai puncak?" Lanjut tulisan dalam artikel.