Salah satu pintu, yang sebelumnya selalu tertutup rapat, kini sedikit terbuka.
Dan dari celah itu, sesuatu mengintip ke arahnya.
Lorong itu terasa lebih dingin malam ini.
Edo berdiri di tengahnya, napasnya tersengal-sengal meski ia tidak merasa berlari. Cahaya lampu di atasnya berkelip seperti bintang sekarat, menciptakan bayangan yang bergerak di dinding. Tapi ia tidak peduli pada semua itu. Yang menarik perhatiannya hanya satu hal: pintu yang sedikit terbuka di ujung lorong.
Jantungnya berdetak kencang.
Selama ini, semua pintu selalu tertutup. Tapi sekarang, ada satu yang memberinya celah untuk melihat ke dalam. Dan lebih dari itu, Edo merasa bahwa pintu ini adalah sesuatu yang telah lama menunggunya.
Tangan Edo terangkat, jari-jarinya menyentuh kayu dingin yang terasa kasar di bawah sentuhan. Ia mendorongnya pelan. Engsel pintu mengeluarkan suara berderit panjang, seperti desahan tua yang telah menunggu terlalu lama untuk dibuka.
Gelap.
Tidak ada apa-apa di dalam, hanya kegelapan yang pekat seperti sumur tanpa dasar. Namun, saat Edo melangkah lebih dekat, sebuah suara datang dari dalam—bukan bisikan kali ini, tetapi suara yang lebih nyata, lebih dekat.
"Kau sudah terlalu lama di sini."
Edo terhenti. Suara itu bukan hanya sekadar suara. Itu adalah suaranya sendiri.