Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Ikan Buntel dan Medusa, Dua Wajah Kayu yang Bernyawa

9 Oktober 2025   11:16 Diperbarui: 9 Oktober 2025   12:52 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Root Art Ctr. (Dokumentasi Pribadi)

Begitu turun dari kendaraan, pandangan langsung tertuju pada deretan batu-batu raksasa di halaman. Beberapa menjulang setinggi dua meter, berlubang-lubang seperti spons raksasa, sementara yang lain hitam pekat dan keras seperti sisa batang pohon purba yang membatu.

Siang itu, Bang Erwin mengajak kami mampir ke kawasan Blondo, Mungkid, di Jalan Raya Magelang. Di sini terdapat workshop sekaligus galeri seni bernama Root Art Centre & Furniture Magelang. 

Bangunannya dua lantai dengan desain modern minimalis bergaya beton terbuka dan jendela besar, memungkinkan cahaya alami masuk dan memperlihatkan koleksi di dalamnya --- tampak beberapa patung kayu dan batu besar di balik kaca.

Di bagian depan berdiri formasi batu-batu raksasa yang tampak seperti batu karst dan batu fosil kayu (petrified wood), disusun menyerupai taman batu alami. Teksturnya beragam --- ada yang berlubang-lubang seperti batu kapur yang tererosi air, ada pula yang hitam legam dan keras seperti fosil kayu yang membatu selama jutaan tahun. Komposisi ini memberi kesan dramatis, seolah pengunjung akan memasuki dunia purba, tempat batu bukan sekadar benda mati, melainkan saksi waktu.

Langit mendung menambah atmosfer magis: abu-abu lembut di langit berpadu dengan warna alami batu --- krem, hitam, dan cokelat tua --- menciptakan harmoni visual yang kuat. Secara keseluruhan, tempat ini tampak bukan sekadar toko atau galeri, tetapi juga semacam museum terbuka yang mengundang rasa takjub terhadap alam dan waktu.

Kuda. (Dokumentasi Pribadi)
Kuda. (Dokumentasi Pribadi)

Di bagian bawah bangunan terdapat ruang-ruang yang berisi berbagai macam benda seni. Suasana sepi, tak tampak siapa pun di sana.

Di salah satu ruangan, tampak patung kuda berdiri menantang dengan kepala terangkat tinggi dan surai terukir detail, menjadi pusat perhatian utama. Di sisi kiri terdapat beberapa patung kayu lain dengan bentuk dinamis --- menyerupai kuda atau figur manusia --- serta meja dan kursi dari kayu solid yang dikerjakan dengan gaya alami.

Bagian belakang ruangan diisi dengan set meja makan kayu rotan dan lukisan-lukisan besar yang menempel di dinding, memperkuat nuansa artistik. Pencahayaan alami dari luar memberikan efek hangat pada permukaan kayu, menonjolkan serat dan kilap alaminya.

Saya berpindah ke ruang sebelahnya. Rupanya, tempat penyimpanan atau galeri itu dipenuhi berbagai jenis batu fosil atau batu alam --- kemungkinan besar petrified wood, kayu yang telah membatu akibat proses mineralisasi selama ribuan hingga jutaan tahun. 

Deretan rak logam di sisi kiri dan kanan ruangan tertata rapi, menampung potongan-potongan batu beraneka bentuk dan ukuran. Sebagian berbentuk lempengan bundar seperti irisan batang pohon, sebagian lain menyerupai bongkahan utuh. Di bagian tengah ruangan tampak batu-batu besar berbentuk silinder, seolah siap dipoles atau dijadikan meja dan kursi alami.

Ikan Buntel. (Dokumentasi Pribadi)
Ikan Buntel. (Dokumentasi Pribadi)

Tak lama, seorang perempuan muda datang menyambut. Bang Erwin yang sudah kenal lama mengutarakan maksud kedatangan kami --- bukan untuk membeli, tetapi sekadar melihat-lihat. Dengan ramah ia mempersilakan kami masuk ke kawasan yang luasnya sekitar tujuh hektar ini.

Di langit-langit pintu masuk tergantung sebuah benda seni berbentuk ikan buntel raksasa. Mulutnya menganga lebar, tubuh bulat membesar, dan duri-duri atau ranting menjulur di sekelilingnya --- menyerupai ikan buntel yang mengembang sebagai bentuk pertahanan diri.

Yang menarik, jika benar terinspirasi dari ikan buntel, maka seniman seolah bermain dengan gagasan perlindungan dan ancaman sekaligus. Ikan buntel tampak lucu tapi beracun; demikian pula karya ini --- terbuat dari bahan alami yang lembut (kayu), tetapi tampil seperti makhluk penjaga yang menakutkan. 

Di sini, bentuk "ikan buntel kayu" itu tampak kontras sekaligus hidup: seolah berenang di udara, melindungi tempat itu dari bahaya, atau justru mengintai siapa yang lewat di bawahnya.

Tyrano. (Dokumentasi Pribadi)
Tyrano. (Dokumentasi Pribadi)

Kami memasuki ruang pamer, baik yang terlindung di bawah atap maupun yang dibiarkan terbuka alias open air. Berderet puluhan benda seni yang indah dengan kualitas pengerjaan luar biasa --- karya-karya kayu berukuran besar, detail, dan monumental.

Yang pertama menarik perhatian saya adalah patung berbentuk rangka dinosaurus raksasa, seluruhnya terbuat dari kayu. Tampak seperti Tyrannosaurus rex dengan rahang terbuka dan deretan gigi tajam. Patung ini berdiri gagah di ruang pamer beratap baja terbuka, di tengah suasana artistik dengan aroma kayu yang memenuhi udara.

Ada pula pahatan akar besar yang diukir dengan adegan kehidupan manusia dan alam --- rumah-rumah kecil, pepohonan, dan figur-figur yang muncul dari lekukan akar pohon. Karya ini menciptakan kesan dongeng hutan purba yang membeku dalam kayu. Tak jauh dari situ, sebuah akar besar lain diukir dengan tema laut: bentuk ikan, kura-kura, gurita, dan karang, seolah menggambarkan dunia bawah laut dalam wujud pahatan tiga dimensi.

Ukuran. (Dokumentasi Pribadi)
Ukuran. (Dokumentasi Pribadi)

Saya serasa tenggelam dalam sebuah museum seni raksasa yang masih setengah jadi. Deretan puluhan, bahkan ratusan karya dalam berbagai ukuran, menyambut dengan gembira. Setiap karya tak hanya menonjolkan keahlian teknis, tetapi juga imajinasi besar tentang hubungan manusia, alam, dan mitos.

Kami terus berjalan di koridor yang menyerupai jalan setapak museum. Di sebelah kiri, bangunan terbuka berlantai dua berfungsi sebagai tempat penumpukan benda-benda seni setengah jadi maupun yang sudah selesai. Sementara di sebelah kanan terdapat bangunan bergaya joglo dan ruangan terbuka tempat benda-benda seni dari kayu maupun batu diletakkan begitu saja.

Di salah satu sudut kiri, saya melihat ruangan di dalam bangunan beton yang belum selesai --- tanpa plester atau cat. Di bagian depan terlihat akar dan batang kayu besar, kemungkinan jati atau trembesi, bahan utama berbagai karya. 

Di tengah ruangan menonjol sebuah pahatan besar berbentuk wajah manusia dengan rambut menjalar seperti akar, karya yang mengesankan simbol kehidupan, kekuatan alam, dan keterhubungan manusia dengan bumi. Sekilas mengingatkan saya pada patung Medusa di Basilica Cistern di Istanbul.

Medusa. (Dokumentasi Pribadi)
Medusa. (Dokumentasi Pribadi)

Di sekelilingnya terdapat beberapa meja, kursi, dan pahatan setengah jadi --- memperlihatkan suasana bengkel seni yang hidup, namun sunyi karena tak ada seorang pun di sana.
Kami terus berjalan hingga sampai di tempat penyimpanan fosil kayu raksasa yang terbaring dengan ukuran panjang belasan hingga puluhan meter. Sebuah fosil kayu besar tampak mengeras seperti batu, tetapi masih mempertahankan gurat serat kayunya.

Kayu fosil. (Dokumentasi Pribadi)
Kayu fosil. (Dokumentasi Pribadi)

"Itu dari Lampung," kata sang pemandu sambil menepuk lembut permukaannya. "Ditemukan sudah dalam bentuk seperti ini, lalu dibersihkan dan diberi penyangga. Katanya, usianya bisa puluhan ribu tahun."

Saya menatapnya lama. Ada sensasi aneh --- seolah sedang berdiri di antara dua waktu: masa lalu yang membatu dan masa kini yang masih bernafas. Fosil itu bukan lagi sekadar kayu, melainkan kesaksian panjang dari kehidupan yang sudah lewat tapi belum benar-benar pergi. Ternyata di sini bukan hanya satu, tetapi ada beberapa fosil kayu raksasa.

Sambil berjalan, kami mendengar cerita bahwa bisnis ini sudah dimulai sejak akhir abad ke-20 di Pekalongan. Yang membuat kagum, produknya bukan hanya untuk pelanggan domestik, tetapi juga telah diekspor ke berbagai benua.

Ukuran. (Dokumentasi Pribadi)
Ukuran. (Dokumentasi Pribadi)

"Yuk, kita mampir ke salah satu workshop. Di sini disimpan produk pesanan dari Dubai," ujar sang pemandu.

Kami menuju sebuah ruangan besar. Di depannya beberapa pengrajin tampak sibuk bekerja. Mereka menyapa dengan ramah, dan benar saja --- di ruangan ini terdapat puluhan benda seni indah dalam berbagai bentuk dan ukuran yang siap diekspor.

Masjid. (Dokumentasi Pribadi)
Masjid. (Dokumentasi Pribadi)

Tak terasa hampir satu jam kami berada di kawasan ini. Kami kembali ke tempat awal lewat pintu samping, dan di sana tampak sebuah masjid unik --- menaranya terbalut akar-akar pepohonan raksasa, sekilas mengingatkan pada candi-candi di Angkor. Benar-benar menakjubkan.

Tak lama kemudian, kami diundang ke kantor untuk bertemu dengan pemilik sekaligus pengelola galeri seni ini, Pak Arwan. Orangnya ramah dan sederhana. Kami dipersilakan duduk sambil menikmati minuman.

Pak Arwan bercerita sekilas tentang produk yang ada di galeri. Menurutnya, setiap karya memiliki daya tarik tersendiri karena dibuat secara unik dan tidak ada yang benar-benar sama. Di tangan para pengrajin, potongan akar dan batang pohon bisa berubah menjadi karya seni bernilai tinggi --- mulai dari meja dan kursi antik, vas, patung, hingga hiasan ruangan bergaya rustic dan natural.

Bahan baku yang digunakan meliputi kayu jati tua, trembesi, teh, kopi, mahoni, hingga klengkeng --- semuanya dipilih secara selektif untuk menjaga kekuatan serta karakter serat kayunya. Setiap proses, dari pemotongan hingga pemolesan akhir, dilakukan dengan sentuhan tangan dan pengalaman panjang, bukan sekadar mengandalkan mesin.

Pak Arwan juga bercerita tentang naik-turunnya usaha ini. Aset yang dimiliki memang besar --- selain lahan yang luas dan persediaan karya --- namun tidak semuanya likuid. Karena itu, kami ditunjukkan koleksi batu cincin yang dirangkai mirip jam tangan. Batu-batunya tampak mengkilap dan bervariasi dalam warna: hitam kehijauan, abu keperakan, hingga cokelat keunguan. Ada berbagai jenis batu yang saya sendiri tak begitu paham namanya. Bersamaan dengan itu, tampak seorang lelaki membeli beberapa batu tersebut.

Batu cincin. (Dokumentasi Pribadi)
Batu cincin. (Dokumentasi Pribadi)

Sekilas saya perhatikan, harganya bervariasi tetapi masih di bawah satu juta rupiah. Bisnis seperti ini lebih menjanjikan arus kas untuk membiayai operasional, sementara produk utama rata-rata berharga lebih mahal dan penjualannya cenderung fluktuatif.

Setelah sekitar setengah jam berbincang dengan Pak Arwan, tibalah saatnya kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.

Terima kasih sudah membaca.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun