Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Antara Gawang Berkarat di Yogya dan Kursi Patah di Jenewa

17 September 2025   07:21 Diperbarui: 17 September 2025   07:21 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Broken chair : skrinsyut 

Alun-alun kidul, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, tetap menjadi ruang publik yang menarik dan tempat yang sangat berkesan untuk dilupakan. Setiap ke Yogya saya pun selalu mampir ke sini.

Dan fkiran saya pun melayang jauh. Ke sebuah kota nun jauh di benua biru, tepatnya di Jenewa yang merupakan kota di Swiss yang berbahasa Perancis. Kota internasional yang banyak memiliki fasilitas markas badan-badan PBB.

Beberapa belas tahun lalu, di pusat kota Jenewa, saya berdiri di depan sebuah monumen yang sangat berbeda: Broken Chair, kursi kayu raksasa setinggi 12 meter di Place des Nations, Jenewa. Kursi itu patah salah satu kakinya, namun tetap berdiri gagah.

Broken chair : skrinsyut 
Broken chair : skrinsyut 

Saya berdiri lama di depan La Chaise Brise, kursi patah yang menggugah jiwa. Saya juga tahu bahwa monumen ini bukan sekadar karya seni publik, melainkan simbol perlawanan terhadap ranjau darat yang banyak memakan korban anggota tubuh, terutama kaki yang hilang. Saat itu saya juga langsung ingat akan Siem Reap, Kamboja dan Angkor. Tempat dimana banyak sekali orang yang kehilangan anggota tubuh karena ranjau darat.
Kursi patah itu  dibuat oleh seniman Swiss, Daniel Berset, lalu dipasang pada 1997 atas permintaan Handicap International sebagai bentuk kampanye global agar negara-negara menandatangani perjanjian pelarangan ranjau.
Bagi Saya? kursi dengan satu kaki patah itu tampak sederhana tapi kuat, seperti manusia yang kehilangan sebagian tubuhnya namun tetap memilih berdiri. Dalam bahasa Prancis, namanya memang La Chaise Brise, kursi yang rusak tapi menyimpan martabat. Ribuan orang lewat di depannya setiap hari, diplomat, turis, hingga warga lokal---semuanya dipaksa menoleh, menyadari bahwa luka perang tidak pernah jauh dari kehidupan modern.
Saya sempat berbisik pada dirinya sendiri, "Inilah bukti bahwa seni bisa lebih keras dari pidato politik." Kursi itu sudah menyaksikan puluhan tahun pertemuan internasional, protes damai, dan aksi solidaritas.
Dari Yogyakarta sampai Jenewa, dari bazar rakyat hingga sidang PBB, La Chaise Brise seakan berbicara bahasa universal: meski patah, manusia harus tetap berdiri, melawan, dan berharap.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun