Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Antara Gawang Berkarat di Yogya dan Kursi Patah di Jenewa

17 September 2025   07:21 Diperbarui: 17 September 2025   07:21 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mas Andi, sepupu istri yang kebetulan juga tetangga sedang menyapu halaman ketika kami bertukar salam di pagi hari Minggu yang cerah.

"Di alun-alun kidul, tepat di dekat Sasana Dwi Abad ada Bazaar UMKM, ayo mampir kesana," ujar Mas Andi sambil tersenyum ramah.   Sebenarnya hampir setiap pagi atau sore saya memang suka jalan jalan atau sekedar olahraga santai di alun-alun ini.  

Tak lama kemudian saya sudah mampir ke gerai gerai UMKM tersebut.

Di dinding sekitar Sasana Dwiabad dan tepat  di beranda ada beberapa baliho atau  spanduk  besar terpasang: "Expose Potensi Wilayah: UMKM, GAPOKTAN, Bank Sampah, Lansia, dan FKI -- Kemantren Kraton, 13--14 September 2025."
Tampak Dua orang bapak duduk di kursi plastik dengan taplak batik seadanya. Mikrofon di meja masih tergeletak, menunggu giliran untuk menyala dan digunakan untuk menarik calon pembeli.
Panggung itu sederhana, bahkan seadanya. Namun di situlah warga menemukan ruang bersama: ruang untuk bicara, untuk tampil, untuk menunjukkan bahwa mereka masih ada. Kursi-kursi plastik mungkin retak, mikrofon mungkin serak, tapi semangat untuk duduk bersama tetap tegak.

Bazaar: dokpri 
Bazaar: dokpri 

Saya berjalan santai dari satu gerai ke gerai lain, banyak yang dijajakan, dari kebutuhan dapur seperti minyak goreng hingga camilan ringan seperti bakpia, risol, pisang goreng, hingga makanan kekinian  sepeti chicken teriyaki juga ada. Juga tersedia Minuman tradisional seperti jamu serta berbagai es dawet berbagai rasa. Semua pedagang menyala ramah dan mengharap pengunjung mampir berbelanja. Sayang pagi itu tidak begitu ramai yang datang.  

Matahari pagi di Yogyakarta jatuh miring dari arah timur  ketika saya melangkah ke lapangan di Alun-Alun Kidul. Rumput di lapangan luas itu tumbuh jarang, tanahnya lebih dominan, berdebu dan kering. Pandangan saya segera tertumbuk pada sebuah benda sederhana: gawang bola tua, berkarat, miring, dengan satu kakinya patah atau hilang. Seperti raksasa ringkih yang tetap memaksa berdiri, gawang itu menandai betapa fasilitas publik di negeri ini sering dibiarkan menua sendirian. Saya juga teringat akan fasilitas olah raga di sekitar alun-alun ini yang bertahun-tahun dibiarkan berkarat.  Ah sedih kalau saya ingat pernah berolahraga di sebuah taman di Macau dengan fasilitas kinclong mirip di gym.

Di tengah  lapangan, dua pohon beringin besar masih kokoh, meski akarnya sudah meluas ke segala arah. Anak-anak berlarian, sesekali mendekati gawang itu, seolah besi berkarat bukanlah masalah. Di dunia mereka, gawang tetaplah gawang, permainan tetaplah permainan. Namun bagi mata orang dewasa, gawang itu bicara lain: tentang perawatan yang tertunda, tentang fasilitas yang terlupakan, tentang janji pembangunan yang lebih sering terucap di podium daripada diwujudkan di lapangan.

Gerai UMKM: dokpri 
Gerai UMKM: dokpri 


Tak jauh dari sana, saya kembali ke deretan tenda bazar pagi yang mulai hidup. Meja kayu dan plastik dipenuhi jajanan sederhana: roti cokelat, roti keju, pizza mini dengan topping seadanya, serta klepon hijau berlumur kelapa parut. Seorang ibu paruh baya menjaga stan kecilnya. Tangannya sibuk merapikan plastik roti, sementara senyumnya tak pernah absen menyambut pembeli.
"Sepuluh ribu empat , Mas," katanya, sambil mengulurkan plastik berisi roti manis.
Harga murah meriah itu seakan menjadi manifesto ekonomi rakyat: sederhana, ramah, dan apa adanya. Di meja lain, nampan berisi lupis dan wajik tersusun rapi, menunggu pembeli yang masih menawar dengan bahasa Jawa halus. Di sinilah ekonomi kecil hidup---bukan lewat rapat besar, bukan lewat presentasi investor, tapi lewat tangan-tangan ibu rumah tangga dan senyum kehangatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun