Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Sate Buntel dan Emping Bumbu di Tambak Segaran

15 September 2025   22:43 Diperbarui: 15 September 2025   23:00 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sate dan tongseng: dokpri 

.

Kadang, perjalanan kecil yang tak direncanakan justru memberi kesan paling dalam. Begitulah yang saya rasakan ketika secara tidak sengaja melewati sebuah rumah makan di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.
Nama tempatnya Tambak Segaran, sebuah resto sate kambing yang mungkin sudah sering terdengar, tapi baru kali itu saya tidak sengaja mampir karena tujuan awalnya ingin ke restoran Duta Minang.

Ketika lewat dan melihat papan nama resto sate ini , Ingatan saya langsung melayang, teringat pernah diajak seorang teman lama yang memang tinggal di Yogya makan malam di sini. Tanpa pikir panjang saya pun membelikan kembali kebandaraan dan parkir di tepi jalan tepat di depan Warung yang sore itu tidak banyak pelanggan, maklum belum  waktu makan malam dan makan siang juga sudah lama terlewat.

Warungnya sederhana, tidak neko-neko, khas rumah makan Yogyakarta yang lebih mementingkan rasa ketimbang tata ruang. Meja-meja berlapis taplak plastik Aqua, dinding penuh tempelan poster, dan aroma daging kambing yang dibakar di bara arang. Rasanya seperti memasuki ruang kenangan---tempat makan yang jujur, tanpa polesan.
Kami meminta menu dan membacanya dengan teliti.  Judulnya "Sate Kambing Asli Tambak Segaran Solo," imajinasi langsung dipenuhi aroma sate buntel yang berasap di atas bara, gule sumsum yang gurih kental, hingga tongseng panas yang harum rempahnya. Pilihannya lengkap: sate ati, urat, campur, atau ayam kampung goreng bagi yang ingin selingan. Segalanya bisa ditemani nasi putih hangat, lalu ditutup dengan es kopyor segar atau segelas soda gembira. Dengan rentang harga  hingga enam puluh ribuan, tempat ini benar-benar mengundang siapa pun untuk duduk, menikmati, dan pulang dengan senang hati.

Sate dan tongseng: dokpri 
Sate dan tongseng: dokpri 

Kami memutuskan memesan hidangan andalan: sate buntel, sate kambing biasa, dan tongseng. Minumnya cukup teh manis hangat saja, minuman sederhana yang justru paling pas menemani makan berat.

Poster nasi: dokpri 
Poster nasi: dokpri 

Saat menunggu, mata saya sempat tertumbuk pada sebuah poster besar di dinding. Ada aksara mandarin yang kalau dibaca berbunyi:  yi l mi  doang  si lai  chu  bu y.
Artinya secara harfiah kurang lebih:
"Setiap butir beras harus diingat berasal dari kerja keras yang tidak mudah."
Sementara di poster ini juga ada  tulisan bahasa Indonesianya:
"Sebutir Nasi... Sejuta Keringat... Mari kita menghargai dan mensyukuri berkah Tuhan dengan tidak menyisakan makanan."
Gambarnya menampilkan petani yang sedang menanam padi di sawah, seolah mengingatkan bahwa nasi yang kita makan adalah hasil keringat mereka. Wah siapa sangka ada pesan moral yang menyentuh sekali di warung ini.

Tulisan di situ begitu menyentuh: "Sebutir Nasi... Sejuta Keringat..." lengkap dengan ajakan untuk tidak menyisakan makanan. Ada pula terjemahan dalam huruf Mandarin di bawahnya, seolah mengingatkan bahwa pesan menghargai kerja petani adalah nilai universal, lintas bahasa.

Tak lama kemudian, hidangan datang. Sate buntel disajikan dengan potongan daging kambing cincang yang dililitkan, dipanggang hingga agak gosong di tepinya. Di sampingnya ada irisan bawang merah, mentimun, dan sambal merah yang pedasnya tajam. Gigitan pertama langsung membuktikan reputasi sate ini: gurih, berlemak, dan juicy. Ada sensasi smokey dari bara arang yang membuatnya lebih nikmat.
Tongseng yang tersaji tak kalah menggoda. Kuahnya pekat berwarna cokelat keemasan, dengan potongan kol, tomat, cabai, dan daging kambing yang empuk. Rasanya hangat, sedikit pedas, dan punya aroma rempah yang pas---tidak terlalu menyengat tapi juga tidak hambar. Setiap sendok kuah seperti mengalirkan energi baru di sore yang agak gerimis itu.
Di meja yang tidak jauh dari tempat kami duduk, tampak banyak piring besar berwarna hijau berisi emping mentah yang  mungkin baru akan digoreng.

Emping bumbu: dokpri 
Emping bumbu: dokpri 

Jadi, selain menyajikan sate, tongseng, dan menu utama, rumah makan ini juga identik dengan emping Tambak Segaran yang renyah.  
Ini tampak pada sebuah poster sebuah papan besar bertuliskan:
Yang membuat suasana tambah hangat adalah penjualnya---seorang ibu yang sudah berusia lanjut---tetap melayani dengan ramah. Ada kesabaran dan kelembutan dalam geraknya, seakan energi puluhan tahun berdagang sudah menempel menjadi bagian dari dirinya.
Sambil makan, kami juga ditemani emping yang disediakan di meja. Emping ini khas Tambak Segaran, ada yang dijual mentah maupun dalam bentuk bumbu siap goreng. Bahkan di salah satu sudut, terpampang poster besar bertuliskan EMPING BUMBU TAMBAKSEGARAN, lengkap dengan cara menggoreng emping: jangan terburu-buru, tunggu minyak benar-benar panas, dan emping tidak perlu dijemur. Hal-hal kecil semacam itu membuat saya sadar bahwa di balik setiap makanan, ada ilmu, ada pengalaman panjang yang diwariskan.
Saya akhirnya membeli sebungkus emping manis pedas untuk dibawa pulang. Harganya terjangkau---Rp10 ribu untuk yang remah, Rp35 ribu untuk kemasan yang cantik.  Sambil membayar, saya tersenyum membaca lagi tulisan di kemasan: Emping Bumbu Tambak Segaran. Sederhana tapi punya karakter, sama seperti warungnya.
Yang paling berkesan dari pengalaman makan di sini bukan hanya rasa sate dan tongsengnya yang enak dengan harga masih bersahabat, tapi juga atmosfer yang mengajarkan kita tentang kesederhanaan, kejujuran, dan penghargaan pada kerja keras orang lain. Dari poster tentang sebutir nasi, hingga ibu penjual yang tetap ramah melayani meski usia tak lagi muda, semuanya seperti pelajaran kecil tentang hidup yang terbungkus dalam pengalaman kuliner.

Emping: dokpri 
Emping: dokpri 


Lalu bagaimana dengan asal usul Tambak Segaran Solo? Nama Tambak Segaran menyimpan jejak masa lalu yang tenang namun sarat cerita. Dahulu, kawasan ini bukan sekadar permukiman, melainkan hamparan tanah berawa dengan kolam-kolam alami yang dipenuhi air jernih. Orang Jawa menyebutnya "tambak" untuk rawa atau kolam, dan "segaran" yang berarti kesegaran, kejernihan air yang menyejukkan pandangan. Maka, Tambak Segaran pun dikenal sebagai tempat di mana air mengalir jernih, memberi kehidupan bagi sekitar.
Seiring waktu, wilayah itu tidak hanya dikenal karena bentang alamnya, tetapi juga karena letaknya yang strategis. Berada dekat dengan jalur perniagaan dan keraton Kasunanan, Tambak Segaran menjadi simpul pertemuan orang-orang dari berbagai penjuru. Pedagang dari luar Solo singgah, perantau bermukim, dan sebagian besar dari mereka membawa serta profesi serta tradisi yang kelak menghidupkan denyut kawasan ini.
Di antara para perantau itu, ada yang datang dengan membawa kambing, ada pula yang berbekal keahlian memanggang daging di atas bara. Dari sinilah, aroma sate pelan-pelan menjadi bagian dari denyut nadi Tambak Segaran. Konon, sejak lama kampung ini tak pernah sepi dari bau arang yang terbakar, dari suara riuh para penjual yang menyiapkan sate, tongseng, maupun gulai.
Kini, meski wajah Solo banyak berubah, nama Tambak Segaran masih hidup. Bukan lagi sekadar penanda sebuah tempat berair jernih, melainkan lambang sebuah warisan kuliner dan keramahan, yang lahir dari pertemuan orang-orang sederhana di tepian keraton.
Dan siapa sangka, saya malah menemukan Tambak Segaran bukan di Solo, melainkan di Yogyakarta.

Kami pergi  dengan perut kenyang, hati hangat, dan oleh-oleh emping di tas. Kadang, kebahagiaan memang sesederhana itu: menemukan rasa yang pas, suasana yang tulus, dan harga yang tidak membuat kita berpikir dua kali untuk kembali.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun