Makna Gunungan dan Filosofi Grebeg
Setelah semua bregada tampil, tibalah saat yang paling ditunggu: keluarnya gunungan. Ada beberapa jenis: Gunungan Kakung, Putri, Gepak, dan lain-lain. Bentuknya seperti gunung kecil dari hasil bumi: sayuran, kacang panjang, cabai, ketupat, jajanan tradisional, hingga telur tersusun rapi. Puncaknya dihiasi kacang dan hasil pertanian lain, melambangkan kemakmuran dan keberkahan.
Gunungan diarak oleh abdi dalem pria dengan baju lurik merah dan celana biru, serta ikat kepala khas keraton. Mereka berjalan mantap, memikul gunungan di atas tandu, seolah mengemban amanah Sultan untuk dibagikan kepada rakyat.
Gunungan bukan sekadar hiasan. Ia simbol kemakmuran, syukur kepada Tuhan, dan harapan agar semua rakyat mendapat berkah. Setelah doa, gunungan dibawa ke Masjid Gedhe Kauman, lalu dibagikan kepada masyarakat. Perebutannya diyakini membawa berkah.
Di masjid Gedhe dan Pura Pakualaman, orang berebut cabai, ketupat, atau daun pisang dari gunungan. Wajah mereka sumringah, tak peduli panas. Ada keyakinan yang tak bisa diukur logika modern: sepotong daun dari gunungan bisa membawa keselamatan.
Refleksi: Tradisi di Tengah Riuh Zaman
Di tengah riuh penonton dan derap kaki prajurit, saya termenung. Tradisi ini sudah ratusan tahun berlangsung. Ia lahir dari nilai spiritual, menyatu dengan budaya, bertahan di tengah gempuran modernitas.
Saya membayangkan, bagaimana jika suatu hari tradisi ini hilang? Apa jadinya Yogyakarta tanpa Grebeg? Apa jadinya kita tanpa akar?
Bregada prajurit bukan sekadar barisan berseragam indah. Mereka simbol keteraturan, keberanian, identitas. Dan ketika saya melihat Langen Kusuma, saya merasa ada pesan kuat: perempuan bukan sekadar pendukung, tetapi juga penjaga peradaban. Mereka berjalan anggun, cantik, tetapi berwibawa---pesan yang relevan di zaman ini.