Langen Kusuma: Keanggunan yang Kembali Hidup
Bregada perempuan ini mengenakan pakaian hijau tua dengan jarik batik, dilengkapi stagen merah di pinggang, serta tameng bulat berhias motif kuning-hitam. Setiap prajurit memegang tombak, rambut tersanggul rapi, menampilkan kesan anggun namun tegas.
Di belakang mereka, dua payung kebesaran (songsong) merah-putih dan merah-keemasan, simbol kebesaran keraton. Kehadiran pasukan wanita ini menambah kekayaan visual prosesi, menunjukkan bahwa tradisi ini bukan hanya milik pria, tetapi juga perempuan.
Mereka muncul seperti bayangan masa lalu yang hidup kembali. Bregada Langen Kusuma, pasukan perempuan yang konon ada di masa Sultan Hamengkubuwono I, lalu hilang, kini kembali. Pesannya jelas: perempuan juga penjaga adat.
Busana mereka bukan sekadar kebaya. Kebaya prajurit dengan jarik batik klasik, selendang tersampir, sanggul berhias melati. Setiap langkah pelan, ritmis, tetapi penuh wibawa. Tidak ada senyum berlebihan, hanya sorot mata mantap.
Saya bergumam pelan, "Berjalan anggun, cantik, tapi berwibawa." Mereka membawa tombak kecil, bukan aksesori, melainkan simbol kekuatan. Di tengah keramaian, mereka menjadi magnet. Semua kamera mengarah pada mereka, tetapi mereka tetap fokus, seperti prajurit sejati.
Kenapa pasukan ini dihidupkan kembali? Dari catatan yang saya baca, tujuannya melestarikan sejarah dan menunjukkan peran strategis perempuan dalam budaya Jawa---bukan pelengkap, tetapi penjaga nilai.
Di Antara Gagah dan Jenaka: Barisan Pelawak
Namun Grebeg Maulid tidak selalu serius. Di antara prajurit gagah, muncul barisan pelawak. Mereka berpakaian nyentrik, ada yang berkumis ala Bagong, ada yang membawa payung lusuh sambil bergaya seperti komandan. Sebagian wajah dihiasi bedak dan gincu tebal.
Tawa pecah di antara penonton. Anak-anak berlarian sambil menunjuk mereka. Saya ikut tersenyum. Tradisi ini memang sakral, tetapi ada ruang untuk humor. Sejak dulu, pelawak dihadirkan untuk menghibur rakyat---kebesaran tak harus kaku.