Mimpi di Hutan Renceh
Malam itu, hutan Renceh sunyi. Di kejauhan terdengar suara serangga, bersahut-sahutan dengan desir angin yang menyapu pucuk-pucuk pohon. Jaka Tingkir dan Kyai Ageng Sela memilih bermalam di sebuah lahan yang baru saja dibuka. Tanahnya masih basah, sisa hujan sore. Aroma dedaunan yang ditebang bercampur dengan bau tanah liat yang lembap, menghadirkan kesunyian yang nyaris suci.
Jaka Tingkir tidur di dekat kaki gurunya. Di atas langit, bintang-bintang tampak redup, seolah sedang bersekongkol dengan gelap malam untuk menyimpan rahasia. Kyai Ageng Sela berbaring sambil memejamkan mata, tubuhnya lelah oleh perjalanan, tetapi hatinya tetap berdzikir, tenggelam dalam doa yang tak pernah putus.
Dalam lelapnya, Kyai Ageng Sela bermimpi. Ia melihat pemuda yang tidur di dekatnya, Jaka Tingkir, berjalan ke dalam hutan membawa sebilah parang besar. Dengan gerakan mantap, pemuda itu menebang pohon-pohon raksasa yang menjulang tinggi. Dalam sekejap, hutan yang lebat berubah menjadi lahan luas yang bersih, seakan siap menampung sesuatu yang agung.
Tiba-tiba, Kyai Ageng Sela terbangun. Nafasnya tersengal, matanya mencari-cari Jaka Tingkir. Namun, pemuda itu masih tertidur pulas di sisinya. Ia termenung, memikirkan makna mimpi itu. Baginya, mimpi bukan sekadar bunga tidur. Di dunia Jawa, mimpi sering dianggap sebagai tandha, sebuah pertanda gaib yang menyimpan pesan masa depan.
Pagi menjelang. Kabut tipis masih menggantung di antara batang-batang pohon ketika Kyai Ageng Sela membangunkan Jaka Tingkir. Dengan tatapan serius, ia bertanya:
"Nak, apakah semalam engkau masuk hutan? Apakah engkau menebang pohon-pohon?"
Jaka Tingkir menggeleng, senyumnya samar. "Tidak, Guru. Semalam saya tidur di sini, di kaki Guru."
Jawaban itu membuat Kyai Ageng Sela terdiam. Hatinya bergetar. Ia tahu, mimpinya bukan mimpi biasa. Ia menatap pemuda itu dalam-dalam, seakan hendak menembus lapisan jiwa yang tersembunyi. Lalu ia bertanya lagi:
"Kalau begitu, pernahkah engkau bermimpi yang aneh, Nak? Sesuatu yang masih engkau ingat sampai sekarang?"
Jaka Tingkir menghela napas, lalu menjawab pelan:
"Pernah, Guru. Waktu saya berziarah ke Gunung Telamaya, saya bermimpi bulan jatuh menimpa saya. Saat itu saya terbangun, dan mimpi itu selalu saya ingat."
Mendengar itu, Kyai Ageng Sela terperanjat. Bulan adalah lambang kemuliaan, sinar yang menuntun kegelapan, tanda kekuasaan. Dalam pemahaman orang Jawa, mimpi itu bukan sekadar isyarat keberuntungan. Itu adalah wangsit, panggilan takdir yang tak bisa ditolak.
Kyai Ageng Sela menarik napas panjang. Dengan suara berat namun penuh keyakinan, ia berkata:
"Anakku, jangan engkau tanyakan arti mimpimu. Itu mimpi yang sangat baik, bahkan yang terbaik dari semua mimpi. Sebagai gurumu, aku hanya bisa memberi satu nasihat: pergilah ke Demak. Masuklah dalam pengabdian kepada Sultan. Di sana, mungkin takdirmu akan terungkap."
Jaka Tingkir menunduk hormat. Ia tahu, kata-kata itu bukan sekadar petuah, melainkan pintu yang akan membawanya ke perjalanan baru.
Di titik ini, cerita bukan hanya tentang seorang pemuda yang ingin mengabdi. Ini adalah kisah tentang takdir yang memanggil lewat tanda-tanda, sesuatu yang mungkin kita anggap mistis, tetapi dalam tradisi Jawa, ia adalah bagian dari cara semesta berkomunikasi. Refleksi ini menarik: di era modern yang serba rasional, kita kerap melupakan bahwa hidup juga dipenuhi simbol, intuisi, dan bisikan batin.
Mimpi Jaka Tingkir di Telamaya bisa kita baca sebagai metafora. Bulan jatuh ke pangkuannya bukan hanya pertanda ia akan berkuasa, tetapi juga ujian: mampukah ia memikul sinar itu tanpa membiarkan dirinya terbakar oleh ambisi?
Jalan Menuju Takdir
Perintah gurunya membuat langkah Jaka Tingkir mantap. Ia tahu, pengabdian di Demak bukan perkara mudah. Ia bukan siapa-siapa di mata kerajaan itu. Ia hanya seorang anak yatim yang hidup dalam bayang-bayang tragedi. Ayahnya dihukum mati karena dianggap berkhianat, dan kini ia justru akan mengabdi kepada kerajaan yang menjatuhkan hukuman itu.
Tetapi inilah yang menarik: sejarah sering kali bergerak melalui jalur yang penuh ironi. Dalam ironi itu, kita belajar bahwa hidup bukan hitam putih. Dendam tidak selalu dijawab dengan dendam; kadang, ia dijawab dengan pengabdian---dan dari situlah lahir kebesaran.
Sebelum berangkat, Jaka Tingkir kembali menempuh laku prihatin. Ia memperkuat batinnya dengan puasa, tapa, dan doa. Ia sadar, jalan ini bukan sekadar jalan duniawi. Ia akan masuk ke lingkaran kekuasaan, dan kekuasaan adalah medan yang licin, tempat orang bisa tergelincir oleh keserakahan atau tersapu oleh arus intrik.
Dengan restu Kyai Ageng Sela, ia pun melangkah. Hutan-hutan yang dulu menjadi tempat ia bertapa kini ia tinggalkan. Jalan setapak yang sunyi digantikan oleh jalan menuju kota---menuju Demak, pusat kekuasaan yang ramai dengan pedagang, ulama, dan prajurit.
Bersambung
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI